Covid-19 Dorong Xenophobia dengan Kebencian Rasial

Mengait-ngaitkan pandemi virus corona (Covid-19) dengan negara, bangsa, agama dan ras menyuburkan mitos, kebencian dan rasialisme
Covid-19 dan serangan xenophobia (Foto: euronews.com/Copyright Image by Free-Photos from Pixabay).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Ada penolakan terhadap mayat yang terkait dengan virus corona (Covid-19) terjadi di beberapa daerah. Ada pula lembaga agama yang mengaitkan Covid-19 dengan maksiat. Pada skala yang lebih besar banyak kalangan mulai dari kepala negara sampai politisi di dunia mengaitkan Covid-19 dengan negara, bangsa dan ras.

Data terakhir, 1 April 2020, pukul 12.00 WIB kasus kumulatif Covid-19 di Indonesia sebanyak 1.677 dengan 157 kematian dan 103 sembuh serta 1.417 dirawat.

Terkait dengan dugaan tertular Covid-19 adalah langkah yang arif kalau pemerintah, melalui Gugus Tugas Penanganan Corona, tidak menyebut "positif Covid-19" sebagai hasil rapid test atau tes di masa jendela, tapi disebut sebagai reaktif (positif) dan non-reaktif (negatif). Hasil tes dengan PCR pun sebaiknya disebut reaktif dan non-reaktif.

1. Hasil Rapid Test Disebut Non-reaktif dan Reaktif

Soalnya, rapid test harus dilakukan dua kali sehingga hasil rapid test pertama tidak menentukan status tertular atau tidak. Hal ini penting karena mayat pasien ODP (Orang dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien dalam Pengawasan) ditolak masyarakat. Padahal hasil tes Covid-19 mereka belum final sebagai negatif atau positif.

Seperti yang dialami jenazah seorang pasien PDP Covid-19 yang diisolasi di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan. Pasien PDP, AR, 52 tahun, warga Gowa, ditolak warga Kecamatan Manggala, Makassar, dimakamkan di wilayah itu, 29 Maret 2020. Padahal hasil tes belum valid positif corona.

Hal itu terjadi karena semua warga yang menjalani tes Covid-19, terutama dengan rapid test, hasilnya selalu disebut positif dan negatif. Padahal, hasil positif pun harus dites lagi beberapa hari kemudian. Begitu juga dengan hasil tes negatif tetap harus jalan tes kedua karena hasil tes negatif dengan rapid test tidak jaminan. Ini terjadi karena yang dicari reagen rapid test bukan virus (Covid-19) tapi antibodi terhadap Covid-19. Antibodi baru muncul beberapa hari setelah tertular. Itulah sebabnya isolasi atau karantina terkait dengan Covid-19 berlangsung selama 14 hari.

Untuk menekan kemarahan warga dan mengurangi stigma (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) sebaiknya hasil tes Covid-19 disebut reaktif dan non-reaktif. Soal hasil itu positif atau negatif jadi urusan administrasi pada catatan medis (medical record) pasien.

Baca juga: Publikasi Identitas Covid-19 Suburkan Stigmatisasi

Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) sendiri sudah mengingatkan bahwa stigma akan memperparah pandemi Covid-19. Kekhawatiran WHO ini sudah terbukti ketika warga di Sulawesi Selatan melarang jenazah PDP dimakamkan di wilayah mereka. Ini akan membuat warga yang berisiko tertular virus corona, misalnya, pernah kontak dengan pasien positif Covid-19, mengikuti pertemuan massal atau baru pulang dari daerah atau negara dengan pandemi corona takut melapor ke fasilitas kesehatan.

2. Menyebut-nyebut Asal Virus Bisa Menyuburkan Xenophobia

Kebencian masyarakat juga terjadi karena penularan virus corona dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Seperti publikasi kasus pertama dan kedua, disebut Pasien 01 dan 02, Covid-19 di Indonesia dikaitkan dengan kegiatan yang diperkirakan jadi tempat mereka tertular yaitu lantai dansa. Ini sangat merugikan penanggulangan Covid-19 karena di sebuah rumah ibadah di Jakarta Timur, misalnya, agamawan yang berbicara mengaitkan kegiatan berdansa dengan Pasien 01 dan 02 dengan menyebutkan penyebabnya karena dansa. Kegiatan ini dilakukan dengan yang bukan muhrim sehingga maksiat.

Padahal, penularan Covid-19 bukan karena sifat kontak langsung (close contact) tapi karena pada kegiatan tsb. ada yang positif Covid-19 dan dia tidak memakai masker. Hal ini bisa saja terjadi karena, misalnya, belum ada gejala yang dikenal sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala). Bahkan, MUI Pamekasan, Madura, Jawa Timur, mengatakan agar menjauhi maksiat terkait dengan Covid-19.

Baca juga: Tidak Ada Kaitan Maksiat dengan Penularan Corona

Padahal, fakta menunjukkan penyebaran virus corona terjadi pada berbagai kegiatan keagamaan di banyak negara. Ini membuktikan penularan virus corona bukan karena sifat kontak, tapi lagi-lagi karena kondisi saat kontak terjadi yaitu dalam kegiatan itu ada yang positif Covid-19. Yang positif Covid-19 tsb. tidak memakai masker.

Sebagian media, baik media massa dan media online, pun dengan ringan tangan selalu menyebut-nyebut Covid-19 sebagai ‘virus asal China’. Ada juga yang menyebut virus yang berasal dari China, dll. Ini mendorong kebencian terhadap bangsa, negara dan ras yang pada akhirnya bisa menimbulkan kekerasan verbal dan non-verbal (fisik) terhadap ras tertentu.

Selain itu menyebut-nyebut asal virus pun bisa juga menyuburkan xenophobia yaitu ketakutan terhadap orang atau bangsa asing yang terjadi secara irasional yang bermuara pada rasialisme yaitu prasangka berdasarkan keturunan, bangsa dan ras. Pada akhirnya xenophobia ini pun akan mendorong stigma dan diskriminasi yang bisa bermuara pada kekerasan verbal dan non-verbal.

Dengan pandemi Covid-19 yang sudah mendunia yang perlu disebarluaskan adalah cara-cara melindungi diri agar tidak tertular virus corona, misalnya selalu menjaga jarak fisik dengan siapa saja dan di mana saja serta kapan saja. Memakai masker jika berada di kerumunan. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di tagar.id

Berita terkait
WHO Sebut Wabah Covid-19 Menyebar ke Seluruh Dunia
Wabah virus corona, Covid-19, disebut oleh WHO sudah menyebar ke seluruh dunia dengan Italia dan Iran sekarang ada di garis depan penyebaran virus
Sia-sia Lockdown Daerah Tanpa Tes Massal Covid-19
Tes massal penduduk di satu wilayah untuk menemukan kasus positif virus corona (Covid-19) lebih efektif daripada lockdown atau isolasi wilayah
Empat Klaster Penularan Virus Corona di Jawa Barat
Ada empat klaster penularan virus corona (Covid-19) di wilayah Jawa Barat karena ada peserta kegiatan tsb. yang terdeteksi positif Covid-19
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.