Oleh: Syaiful W. Harahap*
Ketika muncul penyakit yang disebabkan virus yang belum terdiagnosis penyebabnya di Wuhan, China, banyak negara yang anggap enteng. Ketika otoritas China melaporkan penemuan virus baru di Wuhan ke Organisasi Kesehatan Dunia PBB, WHO, tanggal 31 Desember 2019 dunia bergeming (diam saja).
Bahkan, ketika otoritas China mengumumkan bahwa virus tsb. yang kemudian dipublikasi oleh WHO sebagai Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah virus yang menular dari-manusia-ke-manusia dunia tetap adem ayem.
Bahkan, banyak kalangan yang memperkirakan ‘neraka’ pandemi atau wabah akan berkecamuk di China selanjutnya menyeberang ke Korea Selatan (Korsel). Harap maklum Korsel adalah salah satu negara tujuan utama pelancong asal China daratan.
Memang, di awal Januari 2020 puluhan ribu warga Wuhan melancong ke Korsel merayakan Tahun Baru Imlek. Tapi, pemerintah Negeri Ginseng itu sudah pasang kuda-kuda. Mulai tanggal 2 Januari 2020 sudah ada tes swab dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) di 633 outlet, bahkan ada dalam bentuk drive through, dengan skala nasional di Korsel. Warga pun sudah mengikuti petunjuk pemerintah yaitu pakai masker, jaga jarak dan tetap di rumah. Padahal, kasus pertama Covid-19 di Korsel terdeteksi tanggal 20 Januari 2020 pada seorang anggota jemaat rumah ibadat.
Maka, yang warga Korsel yang berhubungan langsung dengan puluhan ribu pelancong asal Wuhan itu hanya orang-orang yang terkait langsung dengan kegiatan pariwisata, seperti karyawan angkutan umum, karyawan hotel dan restoran. Sedangkan warga lain yang tidak berkepentingan langsung tetap di rumah. Tidaklah mengherankan kalau kemudian sampai tanggal 5 Juni 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Korsel dilaporkan 11.629. Korsel ada di peringkat ke-52 dunia dari 121 negara dan teritori yang sudah melaporkan kasus Covid-19.
Sebaliknya, banyak negara yang anggap remeh. Salah satu diantaranya adalah Brasil, sebuah negara di Amerika Latin (Selatan) yang terkenal dengan sepak bola dan tari samba (sebagai simbol Brasil melalui karnaval, tarian ini diiringi musik dengan genre musik yang berakar dari Afrika).
Ketika dunia mulai kalang-kabut menghadapi pandemi Covid-19, Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, justru membusungkan dada dengan mengatakan bahwa virus corona tidak lebih buruk dari virus flu karena itu hanya ‘flu ringan’. Bahkan, Presiden Bolsonaro memecat menteri kesehatan yang menerapkan lockdown. Presiden Jaro dukung tuntutan warga untuk membuka lockdown dengan ikut unjuk rasa.
Namun, fakta berbicara lain. Kasus demi kasus membawa Negeri Samba itu ke puncak pandemi Covid-19 global dengan menggeser negara-negara Eropa, seperti Italia, Spanyol, Inggris, Rusia, dll. Sekarang dengan kasus 606.085 dan 33.781kematian serta 266.132 sembuh membawa Brasil ke peringkat ke-2 dunia jauh di atas negara-negara Eropa dengan kasus 200.000-an sampai 400.000-an.
Di awal-awal pandemi laporan kasus memang kecil, tapi tanggal 6 Mei 2020 Brasil mulai terhenyak ketika terdeteksi 11.896 kasus baru. Selanjutnya kasus baru dilaporkan terus bertambah dengan kasus terbanyak tanggal 30 Mei 2020 dengan laporan kasus baru sebanyak 30.102.
Grafik kasus baru mulai turun dan terendah tanggal 1 Juni 2020 dengan kasus 14.556, tapi hari-hari berikutnya grafik kasus baru naik lagi sehingga mengokohkan posisi Brasil sebagai runner up jumlah kasus Covid-19 global di belakang Amerika Serikat.
Kasus Covid-19 di Brasil mendorong Amerika Latin sebagai episentrum baru Covid-19 di dunia. Kasus Brasil ini perlu jadi cermin bagi negara-negara yang semula meremehkan pandemi Covid-19 dengan pernyataan yang nyeleneh dan grafik kasus baru landai di awal-awal pandemi. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di tagar.id