Cinta Tanpa Batas Para Peduli Autis di Bali

Saya minta gelas, anak saya memberikan gelas, itu saya anggap anak saya lulus S2, kata Jogester, ayah dari anak kembar autis di Bali.
Agung Widiada (ketiga dari kiri) dan anak-anak autis dalam syukuran di Yayasan Sehati di Denpasar Utara, Bali, Senin, 12 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Nila Sofianty)

Denpasar, Bali - Ketut Jogaster Susenapathy adalah ayah dari anak kembar autis. Dua anak kembarnya itu kini berusia 23 tahun, satu di antaranya dititipkan di yayasan, karena kalau disatukan, mereka akan saling merugikan.

Tagar menemuinya di Yayasan Sehati, Denpasar Utara, Bali, Senin, 12 Agustus 2019. Jogester bercerita banyak tentang anak kembarnya itu.

"Saat saya meminta anak saya mengambilkan gelas, dan yang dia berikan ke saya sebuah gelas, saya tetap bersyukur, saya anggap anak saya sudah lulus S2, itulah proses hidup anak saya," kata Jogester.

Anugerah terindah pasangan adalah saat anak-anak lahir ke dunia. Semua orangtua pasti bahagia to the moon and back, tak terkira saat melihat seorang bayi baru dilahirkan dengan penampakan sempurna, berpanca indera lengkap, berambut tebal, berkulit halus selembut sutera dan senyuman polosnya.

Pasti pikiran jadi melayang-layang, akan jadi apa sang penerus generasi kelak puluhan tahun kemudian, untuk melengkapi kebahagiaan orang tua. Jadi presiden kah? Pelukis kah? Guru kah? Gitaris kah? Pebisnis kah? Atau jadi the next Taufik Hidayat, pebulutangkis kebanggaan Indonesia?

Begitu juga mungkin yang ada dalam benak seorang lelaki separuh baya bernama Ketut Jogaster Susenapathy, ayah dari sepasang anak kembar laki-laki, 23 tahun lalu saat bayi kembarnya lahir. Ada janji cinta tanpa batas dari orang tua yang dia ucapkan dalam hati saat melihat sang bayi lahir.

Cinta tanpa batas itu ia buktikan hingga saat ini saat sang anak kembar sudah berumur 23 tahun, meski sang anak mengidap autis dan harus menjalani terapi dan pendampingan setiap waktu selama puluhan tahun hingga sekarang.

Meski angan-angannya akan sebuah cita-cita tinggi untuk sang anak luruh bersama kepasrahannya pada takdir hidup, Jogester tak kehilangan cinta tanpa batasnya. 

Ia tetap bahagia melihat dua anak kembarnya tumbuh besar meski memiliki keterbatasan dan berkebutuhan khusus. Apalagi autis yang diderita sang anak termasuk kategori dalam karena hingga usia mereka hampir seperempat abad masih belajar untuk lancar bicara. 

Dan cinta tanpa batasnya harus ia sempurnakan lagi dengan memperluas kesabarannya seluas samudera.

Anak kembar saya unik, jika disatukan saling memberi dampak buruk pada perkembangan mereka, jadi terpaksa yang satu harus tinggal di yayasan.

***

Jogester lama bersedih saat salah satu dari anak kembarnya harus dipisahkan, tinggal di yayasan karena pertimbangan jika disatukan, kedua anaknya akan saling bergantung dan berdampak buruk pada proses perkembangan keduanya. Ia tak tega melepasnya. Tapi ia sadar setiap orang tua bertanggung jawab akan kemandirian anak-anak.

"Anak kembar saya unik, jika disatukan saling memberi dampak buruk pada perkembangan mereka, jadi terpaksa yang satu harus tinggal di yayasan. Saat itu saya tak tega dan merasa kehilangan. Tapi saya berpikir jika pun anak saya normal, di usia nya itu mungkin dia kuliah di ITB, UGM atau kuliah di kota lain dan harus kos. Saya anggap anak saya kos saja," tuturnya sambil tersenyum menerawang.

Bahkan ia tak hanya memberikan cintanya pada kedua anak kembarnya saja, ia meluaskan cinta tanpa batasnya kepada anak-anak autis lain dengan bertahun-tahun men-support dan menjadi pembina sebuah yayasan penitipan anak autis di tengah Kota Denpasar, tepatnya di Jalan Ken Arok No 2, Peguyangan, Denpasar Utara.

Di sini ia menitipkan satu dari anak kembarnya agar hidup mandiri sesuai kapasitas anaknya sebagai penderita autis. Mandiri buat seorang anak berusia 23 tahun, bahkan ada anak asuhan yang berusia 30 tahun, normalnya memang di usia segitu sudah berdiri di atas kaki sendiri dari segi jasmani rohani juga bahkan finansial. 

Tapi buat anaknya, Jogester menciutkan definisi kemandirian seorang anak dengan lebih sederhana. Contohnya bisa melipat selimut saat bangun tidur, mandi dan buang air dengan benar atau menyapa tamu dan mau salim tanda menghormati tamu.

"Saya sudah sering berdiskusi dengan istri, kami dititipi anak autis, jika saya atau istri saya meninggal lebih dulu, mau bagaimana dan ke siapa kami memasrahkan anak-anak. Saya pun berkali-kali bilang ke Bu Putu gurunya di sini mungkin lebih baik di sini saja jika ada apa-apa nanti dengan saya dan istri. Mudah-mudahan anak-anak saya akan mandiri dan tidak menyusahkan orang lain jika nanti saatnya saya pergi," tutur Jogester. Kadang suaranya terbata-bata.

Jogester juga mengaku senang dengan kemandirian soal rohani pada anak-anak berbeda agama yang coba diberikan yayasan dengan belajar ritual agama masing masing. 

"Di sini ada juga guru beragama Islam yang mengajarkan anak-anak, sementara agama lain juga begitu, seperti membuat canang dan lainnya," kata Jogester.

Tak semua keluarga yang memiliki anak autis itu berasal dari keluarga mampu yang bisa membayar sekolah dan menjalani terapis.

***

Baik Jogester maupun sang guru autis, Putu Puspawati saling mengungkap rasa hormat akan besarnya kepedulian orang-orang akan penderita autis.

Bu guru Puspa yang mengasuh dan menjadi ketua Yayasan Sehati Bali, tempat belasan anak diasuh dan dididik kemandirian pun tak kurang kurangnya menebar cinta tanpa batas.

Berawal pada 2015, ia membentuk kelompok kecil mengasuh anak autis dari keterampilannya yang ia peroleh di sebuah sekolah autis, hingga pada 2019 ia memperoleh pengesahan membentuk Yayasan Sehati Bali yang berlokasi di rumah tinggalnya yang sengaja ia dedikasikan untuk merawat anak-anak autis.

"Tak semua keluarga yang memiliki anak autis itu berasal dari keluarga mampu yang bisa membayar sekolah dan menjalani terapis. Apa jadinya jika anak-anak kurang mampu menderita autis. Karenanya kami bersyukur anak-anak di sini di-support oleh keluarga seperti Pak Joges sehingga aktivitas kami bisa terus berjalan meski harus tertatih-tatih membentuk yayasan ini dengan subsidi silang," tutur Puspa yang saat ini memiliki 14 anak didik yang rutin datang dan menginap.

Keterbatasan tempat dan dana membuat kami tak berani menerima banyak anak autis, lanjut Puspa. Sebab mengasuh dan mendidik anak autis jauh berbeda dengan anak normal. 

"Harus ada pendampingan intensif pada masing-masing anak, karena tingkat autis anak berbeda-beda, mudahnya dikategorikan tipis, sedang dan tebal sehingga penangan pada tiap anak berbeda. Padahal di sini hanya punya 4 orang guru, belum lagi kebutuhan media pembelajaran bagi anak autis yang juga sangat penting," tuturnya.

Untuk itu ke depan ia berharap ada perhatian dari para pihak seperti pemerintah ataupun dinas terkait untuk memudahkan yayasan membina anak-anak autis. 

"Untung saja kami masih bisa subsidi silang, ada orang tua gak bisa bayar uang pangkal atau gimana kan tetap harus diterima. Mau ke mana lagi mereka, kasihan anak-anak," katanya.

***

Puspa bersyukur masih ada orang-orang yang peduli seperti Jogester yang tak hanya mau menjadi Pembina Yayasan tapi juga men-support kebutuhan makan anak-anak dengan memberikan bahan makanan untuk yayasan sehingga bisa memberikan bentuk lain kemandirian anak dengan belajar cooking class secara rutin. 

"Kami sadar masih perlu sarana dan prasarana untuk anak-anak di sini, bisa berupa kurikulum, selimut atau sarana prasarana lain juga media pembelajaran. Bahkan selimut seprai pun bisa menjadi sarana anak-anak untuk belajar kemandirian," tuturnya.

Pada awal pembentukan yayasan ia mengalami kendala menyiapkan persyaratan dan penyediaan aset. Proses yang dilalui bukan tanpa aral melintang. Sehingga ia bersyukur dipertemukan dengan orang baik yang begitu peduli dengan sesama.

"Saat itu saya bertemu Pak Agung Widiada, beliau tahu kesulitan dan kendala saya. Selain tokoh Puri, Pak Agung juga politikus. Saya harap bisa mencari solusi keterbatasan kami pengurus yayasan. Saat itu Pak Agung langsung menyerahkan kartu namanya dan bilang, pergunakan nama saya untuk kebaikan," kata Puspa.

Jadilah ia merasa harus semakin banyak bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang peduli bagaimana cara menebar kebaikan.

Rasa syukur itu juga yang ia ungkapkan saat bersama-sama dengan anak didiknya penderita autis yang berusia 6-30 tahun menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil merayakan syukuran dari Agung Widiada, di rumah yayasannya karena bisa terus mengabdi untuk melatih kemandirian anak-anak autis.

Saya kagum pada orang-orang seperti Pak Joges dan Bu Puspa, mereka punya kemuliaan hati.

***

Pun rasa syukur sederhana itu juga yang coba dibagi oleh Anak Agung Gede Widiada, tokoh Puri Peguyangan yang segera dilantik kedua kalinya sebagai wakil rakyat Partai NasDem di DPRD Denpasar. 

"Turut bahagia dengan legalitas yayasan yang secara hukum selesai sehingga bisa menjadi semangat mengabdikan diri kepada kemanusiaan untuk lebih baik lagi. Kita Hidup semua ada sisi kemanusiaan meski semuanya ada dampak politiknya. Mungkin dengan mengusahakan Perda atau bantuan dana. Saya kagum pada orang-orang seperti Pak Joges dan Bu Puspa, mereka punya kemuliaan hati," ujar Agung Widiada.

Menurut Agung, meski sibuk dengan urusan politik tapi semangat pengabdian untuk kemanusiaan harus tetap dijaga dan dipelihara. Siapa pun bisa turut membantu, asal ada niat untuk mengabdi. 

"Ke depan yayasan masih butuh perhatian peningkatan sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, terapi dan peningkatan kurikulum juga sangat penting," ujarnya.

Ditambahkannya lagi, ia menilai keterbatasan tempat juga perlu diperhatikan, karena lokasi yang sangat mepet di pinggir jalan tanpa halaman untuk tempat bermain anak-anak juga memberi rasa kekhawatiran tersendiri dari segi keamanan.

Agung pun sempat mencoba membantu menenangkan saat seorang anak asuhan Puspa yang selalu panik dan berusaha lari setiap kali mendengar perintah sederhana guru atau pendampingan. 

"Ke depan mungkin soal tempat akan kita pikirkan lagi," ujarnya.

Yang harus diupayakan juga menurut Agung soal kerja sosial ini adalah membuat semua happy menghadapi hidup. 

"Orang tua happy meski dititipi amanah anak berkebutuhan khusus, anak-anak juga happy belajar demi kemandirian hidup sekaligus pengelola yayasan dan guru-guru bisa happy dalam mengabdi pada kemanusiaan. Ini PR buat kita semua dan kita perlu kekuatan untuk kebaikan dan kemanusiaan," ujar Agung Widiada. []

Berita terkait
Turis Mengamuk di Bali, Konjen Australia Buka Suara
Konjen Australia di Bali, Anthea Griffin mengaku memaklumi hujatan dari warganet atas insiden mengamuknya turis asal negeri Kangguru Nicholas Carr.
Kronologi Bule Australia Mengamuk di Bali
Bule Australia bernama Nicholas Carr (NC) yang melakukan penganiayaan dan pengerusakan di Kuta, Badung, Bali, masih menyita perhatian masyarakat.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.