Jakarta - Pada sekitar tahun 1897 kelistrikan di Indonesia dibangun oleh Belanda dengan nama Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM), yang merupakan perusahaan yang berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co.
Perusahaan ini berpusat di Amsterdam, Belanda. Sementara di Batavia, NIEM membangun PLTU di Gambir di tepi Sungai Ciliwung. PLTU berkekuatan 3200+3000+1350 kW tersebut merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Hindia Belanda dan memasok kebutuhan listrik di Batavia dan sekitarnya.
Saat itu, listrik digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit tenaga lisrik untuk keperluan sendiri.
Masa Pendudukan Jepang
Seiring dengan menyerahnya Belanda kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II pada 1942 mengakibatkan terjadi peralihan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut oleh Jepang.
Urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani lembaga bentukan Jepang yang bernama Djawa Denki Djigjo Kosja.
Kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo.
Kelistrikan dibagi dalam wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat dengan nama Seibu Djawa Denki Djigjo Sja yang berpusat di Jakarta, di Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja dan berpusat di Semarang, dan di Jawa Timur diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja yang berpusat di Surabaya.
Indonesia Merdeka
Hingga pada 1945, setelah Indonesia merdeka, urusan kelistrikan kembali mengalami masa transisi.
Pemerintah Republik Indonesia pada 25 Oktober 1945 pemerintah membentuk Djawatan Listrik dan Gas Bumi di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang bertugas untuk mengelola kelistrikan di Indonesia yang baru saja merdeka. Saat itu kapasitas pembangkit tenaga listrik sebesar 157,5 MW.
Listrik menjadi pekerjaan rumah yang besar saat itu, karena belum banyaknya sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengelolanya. Terlebih, sebagian besar pembangkit rusak parah karena salah urus pada masa pendidikan tentara Jepang.
Selanjutnya, pada 1 januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas kembali diubah menjadi Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang bergerak di bidang listrik, dan gas yang dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1965.
Saat itu juga diresmikan dua perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1972, status Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.
Sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.
Anak Usaha PLN
- PT Pelayanan Listrik Nasional Batam (PT PLN Batam), berkedudukan di Batam, Kepulauan Riau
- PT Pelayanan Listrik Nasional Tarakan (PT PLN Tarakan), berkedudukan di Tarakan, Kalimantan Utara
- PT Indonesia Power (PT IP), berkedudukan di Jakarta
- PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB), berkedudukan di Surabaya
- PT Indonesia Comnets Plus (PT ICON+), berkedudukan di Jakarta
- PT PLN Batubara, berkedudukan di Jakarta
- PT Pengembangan Listrik Nasional Geothermal (PT PLN-G), berkedudukan di Jakarta
- PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT PLN-E), berkedudukan di Jakarta
- PT Pelayaran Bahtera Adhiguna, berkedudukan di Jakarta
- PT Haleyora Power, berkedudukan di Jakarta
- Majapahit Holding BV, berkedudukan di Amsterdam, Belanda
- PT Geo Dipa Energi, berkedudukan di Jakarta. []