Jakarta - Perusahaan-perusahaan di China diduga mengguakan tenaga kerja etnik Uighur untuk memproduksi alat-alat kesehatan pencegahan penularan virus Corona atau Covid-19, salah satunya masker.
Meneruskan catatan The New York Times, sejumlah perusahaan di China terindikasi menerapkan program perburuhan kontroversial terhadap Uighur untuk memenuhi permintaan Personal Protective Equipment (PPE) sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS), di masa pandemi Covid-19.
Melalui program yang disponsori oleh pemerintah China, etnik Uighur dan etnik minoritas lainnya dikirim ke industri pabrik dan layanan. Para pekerja diwajibkan untuk belajar bahasa Mandarin dan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada negara, lewat upacara pengibaran bendera yang diadakan setiap minggunya.
Menurut para ahli, program tersebut cenderung membuat para buruh bekerja di luar kehendak mereka atau kerja paksa. Seperti yang dikatakan Direktur Hak Asasi Manusia Pusat Kajian Strategis dan Internasional Amy K. Lehr, program tersebut bisa disebut sebagai praktik kerja paksa di bawah hukum internasional.
"Ada kuota koersif, ini yang menyebabkan orang dimasukkan ke dalam pekerjaan pabrik ketika mereka tidak mau," kata Amy.
Berdasarkan data dari China’s National Medical Products Administration, sebelum pandemi Covid-19 mewabah di China, terdapat empat perusahaan di Xinjiang yang memproduksi alat perlengkapan medis.
Namun, pada 30 Juni 2020 jumlahnya bertambah menjadi 51 perusahaan. China berdalih program tersebut sebagai inovasi pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan.
"Penduduk lokal bangkit dari kemiskinan melalui pekerjaan dan menjalani kehidupan yang memuaskan," ujar juru bicara Kedutaan Besar China di AS. []