China Langgar Kedaulatan RI di Laut Natuna Utara

Lagi-lagi China langgar kedaulatan RI di perairan Laut Natuna Utara yang sudah diakui oleh UNCLOS PBB dan masuk wilayah ZEE Indonesia
Peta wilayah NKRI terbaru yang menunjukkan Laut Natuna Utara masih perairan RI dalam batas wilayah laut ZEE Indonesia (Foto: indonesia.go.id)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Konflik di Laut China Selatan terus berkepanjangan antara China dan beberapa negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Salah satu di antaranya adalah Indonesia. Sebagai negara berdaulat Indonesia menolak klaim China tentang nine-dash line (sembilan titik yang dihubungkan dengan garis merah putus-putus) karena garis itu masuk ke wilayah perairan kedaulatan RI di Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

ZEE Indonesia berada dalam radius 200 mil laut dari garis pantai surut sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) PBB tahun 1982.

Nine-dash line sendiri tidak dikenal oleh UNCLOS PBB 1982 sehingga garis itu melanggar kedaulatan perairan RI karena mencaplok perairan sah Indonesia.

1. Nine-dash Line Tidak Diakui UNCLOS PBB

Beijing sendiri dikabarkan keberatan atas keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan nama Laut Natuna Utara sebagai nama perairan laut di utara Kepulauan Natuna. Sedangkan perairan laut di wilayah tengah dan selatan Kepulauan Natuna dinamai dengan Laut Natuna.

Batas perairan laut Laut Natuna Utara sesuai dengan ZEE Indonesia yang sudah diakui oleh PBB, dalam hal ini  UNCLOS. Dikabarkan Indonesia menyampaikan protes keras terhadap pemerintah China atas pelanggaran di ZEE, termasuk kegiatan penangkapan ikan ilegal serta pelanggaran kedaulatan oleh penjaga pantai (coast guard) China di perairan Kepulauan Natuna.

Seperti dilaporkan VOA Indonesia (31 Desember 2019), Kementerian Luar Negeri, Senin siang, 30 Desember 2019, memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk menyampaikan protes keras dan juga nota diplomatik protes atas peristiwa pelanggaran di ZEE, termasuk kegiatan penangkapan ikan ilegal serta pelanggaran kedaulatan oleh penjaga pantai China di perairan Kepulauan Natuna.

Disebutkan bahwa Indonesia tidak akan pernah mengakui sembilan titik (nine-dash line) yang disebut China sebagai batas kontinen perairan China di Laut China Selatan. Soalnya, garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016. China memakai rumus nine-dash line (sembilan garis putus) yaitu titik imajiner di laut yang dijadikan China sebagai garis teritorial di Laut China Selatan secara sepihak yang justru tidak diakui UNCLOS.

Dengan nine-dash line yang dibuat China banyak wilayah perairan laut negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Filipina yang dicaplok China.

2. Penangkapan Ikan Tradisional Harus dengan Perjanjian Bilateral

Di gambar di bawah ini garis merah putus-putus nine-dash line yang dibuat China secara sepihak yang menerjang perairan banyak negara dan ZEE Indonesia.

ilus2 opini 31 des 19Garis nine-dash line (warna merah putus-putus) yang dibuat China sepihak mencaplok perairan Laut Natuna Utara (Foto: elitereaders.com)

Sedangkan batas kontinen yang diatur oleh UNCLOS, dalam gambar ditandai dengan garis biru. Garis imajiner yang dipakai China sepihak (garis merah putus-putus) jelas mencaplok wilayah perairan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Klaim sepihak China itu pun menerjang perairan Laut Natuna Utara yang secara hukum masuk perairan Indonesia.

China berkelit bahwa wilayah yang dicaplok nine-dash line merupakan kawasan penangkapan ikan tradisional (traditional fishing ground) China. Dalam kamus UNCLOS sendiri tidak dikenal traditional fishing ground.

Maka, lagi-lagi China menetapkan kawasan penangkapan ikan tradisional secara sepihak karena dalam UNCLOS 1982 hak tsb. (Traditional Fishing Rights) diberikan kepada nelayan tradisional sebuah negara di perairan kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. 

ndonesia tidak pernah membuat perjanjian bilateral dengan China untuk memberikan hak penangkapan ikan secara tradisional kepada nelayan tradisional China di perairan Kepulauan Natuna, dalam hal ini Laut Natuna Utara.

Nota kesepahaman tentang hak penangkapan ikan tradisional pernah dilakukan Indonesia dengan Malaysia. Sedangkan dengan China tidak pernah. Lagi pula nelayan China yang menangkap ikan di Laut Natuna Utara bukan nelayan tradisional karena mereka memakai kapal dan peralatan jaring modern.

Perjanjian dengan Malaysia menyangkut nelayan tradisional adalah kapal di bawah 10 GT (gross tonage) dan hanya memakai pancing untuk menangkap ikan. Melalui perjanjian ini kalau ada nelayan dari kedua negara yang tersesat masuk wilayah negara yang lain, maka kapal nelayan tsb. tidak ditangkap tapi mendorongnya kembali ke laut wilayah negara nelayan tsb. Perjanjinan ini tertuang dalam Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Law Enforcement Agencies. Ditandatangani di Bali (29 Januari 2012).

Penangkapan ikan oleh nelayan China dengan dalih traditional fishing ground dan wilayah nine-dash line merupakan pelanggaran hukum nasional Indonesia karena ada penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak teregulasi (Illegal, Unreported, and Unregulated/IUU). Ini justru bisa dikategorikan sebagai sponsor terorisme internasional.

3. Presiden Jokowi Berjanji Pertahankan Kedaulatan Maritim Indonesia

Celakanya, sikap negara-negara ASEAN tidak bulat dalam menghadapi klaim sepihak China. Bahkan, setelah keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional PBB yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan ternyata ASEAN hanya mengeluarkan pernyataan datar yaitu meminta semua pihak menahan diri dalam sengketa Laut China Selatan.

Pernyataan ASEAN itu justru tidak menyelesaikan masalah karena Beijing ’dapat angin’ dari sikap yang tidak bulat ini. Ada dugaan sikap ASEAN terpecah karena lobi Kamboja yang memang merupakan negara sekutu Beijing.

Tapi, terlepas dari sikap ASEAN yang tidak bulat itu sudah saatnya Indonesia memperkuat posisi di Laut China Selatan untuk mempertahankan laut di Natuna agar tidak masuk dalam cengkeraman Beijing. Kita sudah kehilangan muka di Bumi ini ketika Pulau Sipadan dan Ligitan (keduanya di Kaltim), 17 Desember 2002, lepas dari pangkuan Ibu Periwi ’terbang’ ke Malaysia. Ini terjadi hanya karena kecerobohan pemerintah yang membiarkan dua pulau itu dikuasai Malaysia secara de facto yang berakhir di Mahkamah Internasional sebagai milik Malaysia secara de jure.

Karena yang diakui dunia secara hukum adalah garis biru yang ditetapkan oleh UNCLOS dan ZEE Indonesia sudah diakui dunia, maka Indonesia wajib mempertahankan kedaulatan maritim di wilayah yang diklaim China sebagai wilayah perairannya berdasarkan nine-dash line yang dibikin China sepihak.

Dalam pidato pelantikan pasangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla di DPR RI, 20 Oktober 2014, Presiden Jokowi dengan tegas mengatakan akan mempertahankan kedaulatan maritim Indonesia, maka tidak ada lagi alasan untuk takluk kepada provokasi asing di wilayah maritim Indonesia. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
PM Jepang Minta Aga Jaga Kestabilan di Laut China Selatan
PM Jepang, Shinzo Abe mengatakan kepada PM China, Li Keqiang, tak ada peningkatan hubungan bilateral tanpa kestabilan di Laut China Selatan
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.