Yogyakarta - Waktu menjelang Subuh pada akhir Maret 2020 di sebuah ruas jalan di Kompleks Malioboro Yogyakarta. Tampak seorang ojek online (ojol) kelelahan, tertidur di atas jok motor miliknya. Cukup dingin udara saat itu.
Hujan yang mengguyur pada malam hari menyisakan kesunyian di sudut-sudut Kota Gudeg. Suasananya lengang, juga di tempat si ojol menunggu order sambil tertidur itu. Hanya sesekali pengguna jalan yang melintas di ruas Jalan Pasar Kembang, sisi selatan Stasiun Tugu Yogyakarta.
Si ojol itu sedang ngalong. Istilah ngalong, tentu sudah sangat familiar di kalangan ojol. Ngalong berasal dari kata kalong, nama sejenis kelelawar, yang biasa mencari makan di malam hari. Begitu pun si ojol yang mencari atau menunggu order customer, dari malam sampai menjelang matahari terbit.
Dulu, sebelum pandemi Corona melanda Yogyakarta, banyak kalangan ojol yang ngalong. Kini jumlahnya sedikit, hanya satu dua yang ngalong. Dan mereka tidak bergerombol seperti sebelumnya. Jika ketahuan bergerombol di tempat nongkrong, mereka dibubarkan oleh kepolisian atau pamong praja.
Mereka menyiasati dengan tidak berkerumun, agar tidak digaruk dan tetap bisa mencari nafkah. Mereka menyadari jasanya menjadi garda depan dalam transportasi dan jasa antar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah pandemi wabah virus Corona. Hal itu yang menjadi dasar pegangan teguh bagi para ojek online (ojol) di Yogyakarta yang tetap bekerja tidak mengenal lelah.
Muncul pertanyaan apakah para ojol yang masih berkeliaran tidak takut virus Corona? Takut, gelisah dan khawatir yang mereka rasakan tentang wabah tersebut tak sebanding dengan ketakutan keluarga dan anak-anaknya yang tidak makan. Hatinya menjerit setelah cobaan yang bertubi-tubi menimpa para ojol.
Ora Obah Ora Mamah
Pemerintah mengimbau rakyat untuk tidak berkeliaran di luar, meminta para pekerja bekerja dari rumah atau dalam bahasa yang sedang tren Work From Home (WFH), sampai dengan para pelajar menggunakan sistem belajar online atau daring.
Kamu dapat berapa? Jarak tempuhnya jauh atau pendek-pendek.
Namun itu tidak berlaku bagi ojol jika ingin tetap mendapatkan penghasilan. Mereka yang hidup di jalanan, harus tetap bekerja. Dalam Bahasa Jawa ora obah ora mamah, yang artinya jika tidak bergerak atau bekerja maka tidak bisa makan.
Para ojol menyadari hal itu. Mereka tetap bekerja, meski mereka tahu penghasilan yang didapat juga tidak akan sebanding dengan penantiannya yang tak mengenal waktu pagi, siang, sore dan malam hari. Termasuk ojol yang suka ngalong sekali pun.
Driver ojol bernama Gatot Indra, 48 tahun menceritakan kisah perjuangan para ojol di tengah virus Corona agar optimis mendapat orderan meskipun sulit tutup poin seperti biasanya.
Hampir setiap malam, para ojol mengalong atau bermalam di depan Hotel Neo yang berada di Jalan Pasar Kembang, Sosromenduran, Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Bukan baru kali ini mereka mengalong bersama, mereka melakukannya sejak 2016.
Apa yang ojol lakukan? Menunggu penumpang kereta api yang turun di Stasiun Tugu Yogyakarta. Mereka berjejer di atas motornya standar dua dan menunggu orderan masuk. Mereka tetap menjaga jarak, tidak saling berdekatan, seperti anjuran pemerintah.
Sembari menunggu, para ojol bisa merebahkan badannya dan sedikit berbagi cerita tentang pekerjaanya hari itu. Meskipun tidur hanya beralasan motor, namun para ojol tahu menjaga kemungkinan kebutuhan yang perlu dibawa saat ngalong. Misalnya jaket atau kain yang bisa mereka bawa dari rumah.
"Di sana cari orderan dari Stasiun Tugu karena cukup strategis. Obrolannya paling koe entuk piro? jarakmu sepiro tempuh long trip atau pendek-pendek (Kamu dapat berapa? Jarak tempuhnya jauh atau pendek-pendek)," kata Indra kepada Wartawan di sela-sela kerjanya pada, Rabu, 1 April 2020.
Bapak tujuh anak ini menceritakan, bahwa rekan-rekan ojol yang ngalong bisa mencapai 30 orang. Mereka berada di satu kawasan namun berpencar. Mereka mengadu nasib di bawah langit dan dinginnya angin malam.
Di singgung bagaimana dengan imbauan pemerintah agar untuk tidak melakukan perkumpulan, Indra mengaku mereka tetap mengikuti aturan pemerintah. Misalnya menjaga jarak, membawa alat pelindung diri seperti hand sanitizer dan juga masker.
Indra menyampaikan, para ojol punya etika dalam bekerja. Kalau kondisi badan sedang tidak fit, pastinya tidak akan memaksakan untuk tetap bekerja atau on bid apalagi dalam kondisi seperti sekarang.
Ada pengalaman unik yang dia ceritakan bahwa sebelumnya, para ojol itu tidak diberi izin oleh Satpam hotel di mana mereka bermalam. Namun karena para ngeyel akhirnya pihak hotel memberikan izin lokasi ngetem. Meskipun sudah mengantongi izin tersebut mereka selalu menjaga ketertiban dan kebersihan wilayah.
Akhirnya rekan ojol ngeyel tetep di depan hotel. "Terus akhirnya lama-lama dibolehin tapi tertib dan jaga kebersihan. Bermalam di sana bisa sampai jam 5 pagi terus pindah cari tempat lain," katanya.
Sepi Order dan Nasib Cicilan Motor
Sejak merebaknya wabah virus Corona di Indonesia, termasuk Yogyakarta, para ojol sudah tidak lagi tutup poin. Jangankan tutup poin, dalam sehari pun bisa saja mereka tidak mendapatkan orderan sama sekali.
Penghasilan yang biasanya mencapai Rp 200 ribu sehari, kini susah didapat. Ibaratnya berkerja hanya dihabiskan dengan mengecas baterai handphone. Jika satu hari para ojol belum juga mendapatkan orderan, mereka masih bisa makan. Namun bagaimana jika sampai berhari-hari dengan kondisi yang sama. Ojol bisa nangis prihatin sampai tidak ingin pulang ke rumah.
Terlebih lagi para ojol yang memiliki hutang atau cicilan biaya motor yang harus dibayar. Normalnya tren pengguna jasa ojek online adalah para pelajar. Terlebih setelah ada kebijakan belajar secara daring atau online. Dalam kurun waktu dua minggu terakhir sudah banyak mahasiswa atau pelajar yang pulang ke kampung halamannya.
Saya masih ada satu cicilan motor yang perlu saya bayarkan.
Belum lagi masalah gang kampung yang menutup akses jalan atau lockdown, juga bisa mempengaruhi pekerjaan mereka. "Jangan tanya penghasilan karena saat ini sudah turun drastis. Tapi kita tetap menjalani pekerjaan dengan senang hati dan tawakal," ucapnya.
Sepinya orderan hingga kebingungan melunasi cicilan yang perlu dibayarkan. Hal itu sangat dirasakan seorang driver ojol Gojek asal Kotagede, Yogyakarta, Dannies Mutiara Adi, 28 tahun. Di tengah wabah Corona saat ini dirinya hanya meraup pendapatan sekitar Rp 40-70 ribu.
"Saya masih ada satu cicilan motor yang perlu saya bayarkan. Sebelumnya pembayaran berjalan normal. Namun saat Covid-19 ini datang saya bingung harus mencari tambahan dari mana. Dalam sehari saja saya hanya meraup Rp 40-70 ribu," kata Dannies.
Dia menjelaskan sejak pukul 07.00 WIB, sudah menyalakan aplikasi Gojek miliknya. Ia pun mengaku selama empat jam menyalakan aplikasi, baru mendapat satu order trip penumpang.
"Saat ini layanan antar jemput penumpang sangat jarang. Empat jam saya menyalakan aplikasi hari ini (Selasa), baru satu yang saya dapat. Tapi adanya wabah ini malah orderan berupa GoFood dan GoSend paling sering kami temui," katanya.
Dannies tidak bisa mencapai target dan tutup poin selama wabah ini berlangsung. Sehingga untuk membayarkan cicilan motor, ia menjual satu buah handphone miliknya agar bisa melunasi tanggungan itu. []
Baca Juga:
- Kajari Bantul Zuhandi Sembuh Corona Berbagi Cerita
- Berbagi Peduli Dampak Corona di Yogyakarta
- Imbauan untuk Ojol Saat Wabah Corona di Yogyakarta