TAGAR.id, Jakarta - Baru-baru ini, Rusia mengumumkan bahwa mereka akan menguji coba senjata nuklir bernama ‘Satan 2’ atau juga dijuluki sebagai ‘Setan 2’ yang disebut mampu menghantam Amerika dan Eropa.
Senjata nuklir ini diklaim akan menjadi senjata bersejarah sekaligus senjata super bagi negara Rusia dan direncanakan akan diuji coba pada saat musim gugur.
Nuklir tersebut akan dikerahkan ke wilayah Krasnoyarsk di Siberia, sekitar 1.800 mil dari Moskow, Rusia. Sebelumnya, pada Kamis, 21 April 2022, Rusia juga telah mencoba nuklir ‘Vayevoda’ buatan Soviet.
Selama ini, senjata tersebut terus mengalami penundaan peluncuran akibat masalah teknis dan kurangnya dana. Namun, peluncurannya pada Kamis lalu memicu kekhawatiran baru akan perang nuklir.
Beberapa minggu lalu, Putin mengatakan bahwa akan ada konsekuensi yang tidak dapat diprediksi jika Amerika dan anggota NATO terus mengirimkan bantuan senjata militer ke Ukraina.
Putin meminta mereka untuk berhenti melakukannya, jika tidak ingin menerima konsekuensi tersebut.
Namun, Jerman menolak untuk mengirimkan bantuan senjata militer berat ke Ukraina, seperti tank dan Howitzer. Sedangkan, sekutu Barat mengirimkannya dalam jumlah banyak. Akibatnya, Jerman dikritik
Menurut Kanselir Jerman, Olaf Scholz, NATO harus menghindari konfrontasi militer langsung dengan Rusia yang dapat menyebabkan perang dunia ketiga.
Schlolz menjelaskan, pihaknya tidak ingin mengirimkan senjata militer seperti tank ke Ukraina karena hal itu akan memicu perang nuklir.
Schols juga mengatakan bahwa tidak ada buku peraturan yang menyebutkan bahwa Jerman dianggap sebagai pihak dalam perang di Ukraina.
“Itulah mengapa semakin penting bagi kita untuk mempertimbangkan setiap langkah yang diambil dengan sangat hati-hati dan berkoordinasi erat satu sama lain. Menghindari konfrontasi NATO dengan Rusia adalah prioritas utama bagi saya,” kata Scholz dilansir dari Reuters.
Sementara itu, dalam pernyataan secara terpisah, Scholz membela keputusannya untuk tidak segera mengakhiri impor gas dari Rusia. Hal ini pun sempat memicu berbagai perdebatan di kalangan negara-negara Barat.
“Saya sama sekali tidak melihat bagaimana embargo gas dapat mengakhiri perang,” ujar Scholz dilansir dari Reuters.
“Kedua, Anda bertindak seolah-olah ini tentang uang. Tapi ini tentang menghindari krisis ekonomi yang dramatis, hilangnya jutaan pekerjaan, dan pabrik yang tidak akan pernah lagi membuka pintu mereka,” lanjutnya.
Scholz juga mengatakan bahwa hal ini akan memiliki konsekuensi yang cukup besar, tidak hanya bagi Jerman tetapi juga bagi Eropa dimana mereka harus berpartisipasi menggelontorkan biaya untuk rekonstruksi Ukraina di masa depan. []
Baca Juga
PBB Sebut Rusia Melanggar Kedaulatan Ukraina
Reaksi Dunia Atas Tindakan Rusia Terhadap Ukraina
Warga Ukraina di Amerika Unjuk Rasa
Anggota Kongres Amerika Desak Biden Menghukum Putin