Cara Pembuat Tahu Hadapi Penurunan Omzet saat Pandemi

Seorang pembuat tahu di kawasan Jakarta Timur mengaku omzetnya menurun hingga 50 persen sejak pandemi. Dia beternak lele untuk menambah penghasilan
Slamet, seorang pengusaha pabrik tahu di Jakarta Timur, sedang mengawasi api dari kayu bakar, Kamis, 10 Desember 2020 (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Jakarta – Lidah api menjilat-jilat di dalam tungku berbahan bakar kayu. Warna merahnya terlihat gagah dan percaya diri menerangi ruangan remang di pabrik pembuatan tahu di kawasan Jakarta Timur. Sesekali bunga api terpercik dari bara kayu bakar yang menyala.

Dengan tubuh berkeringat, Slamet, pemilik usaha pabrik tahu tersebut berjongkok mengawasi api dari kayu yang menyala agar tak mati. Uap dan asap panas dari api itu dialirkannya menuju panci besar berisi kacang kedelai yang terletak beberapa meter dari tungku.

Batang-batang pipa yang digunakan sebagai alat penyalur uap panas dari tungku menuju panci tampak berkerak dan seperti berkarat. Uap panas dari akan merebus kedelai hingga ampasnya mengapung.

Slamet menjelaskan, bahan bakar untuk merebus kedelai bisa saja diganti dengan gas atau lainnya. Tapi dia lebih suka menggunakan kayu, dengan pertimbangan harga yang lebih murah, yakni Rp 30 ribu per gerobak. Selain itu desain tungkunya memang dibuat untuk bahan bakar kayu.

Cuma udah terlanjurnya pakai kayu, emang lebih irit sih dibilang kalau pakai kayu.

Sebelum direbus dengan uap panas, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk membuat tahu. Biasanya dalam sekali pembuatan Slamet menggunakan kacang kedelai sebanyak 1,5 kuintal atau 150 kilogram.

Proses Pembuatan Tahu

Tahap paling awal dari pembuatan tahu adalah mencuci bersih dan merendam kedelai di dalam air hingga empat jam. Selanjutnya kedelai digiling halus untuk memisahkan kacang dengan kulit atau ampas.

Cerita Tahu (2)Salah satu karyawan Slamet, tengah membawa papan tahu yang telah dicetak (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Agar ampas yang tersisa benar-benar hilang dan menjadi empuk, kedelai direbus hingga muncul gelembung-gelembung kecil dan ampasnya mengambang.

Selanjutnya, kedelai disiram sebanyak dua kali, setelah itu, saring kedelai dengan kain untuk mempermudah proses pemisahan ampas dan sari kedelai. Ampass tahu akan tinggal di kain penyaring, sementara sari kedelai akan jatuh ke dalam bak di bawah kain.

Setelah disaring, saari kedelai diberi bibit atau biang tahu sebanyak 3 ember, lalu di-press atau dicetak di atas papan, dengan ukuran 70x70cm.Terakhir, tahu dipotong sesuai permintaan pembeli.

Pabrik tahu milik Slamet berdiri sejak 2013 dan memroduksi dua jenis tahu, yakni tahu cokelat dan tahu putih. Untuk membuat tahu cokelat, tahu masih harus digoreng setelah dicetak.

Slamet mempekerjakan empat karyawan untuk membantunya membuat tahu. Salah satunya adalah Rendi, 23 tahun, yang berasal dari Cianjur, Jawa Barat.

Kata Rendi, untuk memproduksi tahu dibutuhkan dua tangki air, satu drum bibit tahu, dan segerobak kayu bakar. Proses pembuatan dari awal hingga akhir membutuhkan waktu hingga 12 jam.

Start bangun setengah tujuh pagi paling nanti hingga kelar goreng sampai jam 7 lagi,” ujar Rendi, yang telah tiga tahun bekerja pada Slamet.

Meski proses pembuatan tahu cokelat lebih panjang, harganya justru lebih murah jika dibandingkan dengan tahu putih. Sepapan tahu cokelat dijual seharga Rp 25 ribu, sementara untuk tahu putih Rp 30 ribu. Sepapan tahu bisa dipotong sesuai pesanan. “Kadang-kadang tergantung pesanan sih, kalau yang buat pedagang di jalan ada yang 140 ada yang 160 tergantung permintaan,” kata Rendi. Sementara, penjual sayur biasanya menjual seharga Rp 5 ribu berisi 10 potong tahu.

Dia menambahkan, Slamet hanya membuat tahu sesuai pesanan, sehingga tidak menjualnya ke pasar-pasar tradisional.

Cerita Tahu (3)Slamet saat sedang menggiling kacang kedelai (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Tahu buatan Slamet bisa bertahan selama tiga hari sejak pembuatan bila dimasukkan ke dalam kulkas, “Yang penting tahunya ditambahkan air saja, jangan dikeringin deh direndam pake air garam itu kuat hingga tiga hari untuk tahu putih, sedangkan tahu coklat dua hari.”

Pandemi dan Ternak Lele

Dampak pandemi Covid-19 cukup dirasakan oleh Slamet dan karyawannya. Produksi dan penjualan tahu menurun hingga 50 persen.

“Biasanya kayu numpuk nih, Mbak sampai sini, cuma sekarang sepi. Apalagi kemarin saat protokol kesehatan yang bilang nggak boleh keluar. Jadikan nggak ada yang ngirimin kayu. Cuma kita tetap aja maksain produksi karena juga makanan.”

Banyaknya perantau yang pulang kampung saat pandemi menjadi salah satu penyebab menurunnya omzet sebab pesanan pun menurun. Akibatnya, pendapatan tidak sesuai dengan biaya produksi seperti membayar karyawan. Terlebih jika produksinya di bawah 1,5 kuintal.

“Jadi jatohnya percuma selain buang bahan bakar juga buang modal untuk memproduksinya bila jumlahnya hanya sedikit,” tutur Rendi.

Selain itu, harga bahan baku pun melambung tinggi. Biasanya kedelai dibeli seharga Rp 780.000 hingga Rp 790.000 sekarang mencapai Rp 830.000 untuk 100 kg atau 1 kuintalnya. Namun hal itu tidak membuat harga tahu naik,

“Selagi masih ada lebihnya walaupun sedikit kita tetapkan diharga normal. Tapi jika suatu saat udah mepet apa boleh buat, harus menaikkan harga,” tambahnya.

Sebelum pandemi, dalam sehari pabrik ini bisa menghabiskan enam karung kedelai, sekarang hanya tiga karung atau setara dengan 1,5 kuintal.

Saat awal pandemi dan bulan puasa ia mulai mengurangi produksi. Ia mendengar bukan hanya satu atau dua pabrik yang gulung tikar. “Tetangga ada yang gulung tikar dia masih punya kontrakan jadi masih ada pemasukan lah,” kata dia.

Ceriita Tahu (4)Slamet sedang mengangkut air yang mengalir dari pipa ke ember (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Dampak penurunan omzet akibat pandemi membuat Slamet dan karyawannya memutar otak untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mereka pun beternak lele untuk menutupi biaya produksi, gaji karyawan, dan kebutuhan hidup.

Biasanya lele dijual kepada para pedagang di pasar seharga Rp 19.500 per kilogram, dengan kapasitas tujuh ekor per kilonya. Usaha lele ini, kata Rendi, menjadi tanggung jawab bersama. “Lagi zaman susah begini intinya saling ngerti satu sama lain lah,” ujarnya.

Bibit lele dibelinya melalui penjual dalam jaringan (daring) dalam bentuk larva sebesar jarum. Sisitem pembeliannya, si penjual selalu melebihkan jumlah bibit sebanyak 10 persen. Misalnya pesanan 5 ribu ekor, akan dilebihkan sebanyak 500 ekor, dengan pertimbangan ada yang mati di perjalanan.

“Intinya kesepakatan dengan penjual biar sama-sama tidak rugi. Sebagai pembeli juga kita tidak mau kalau barangnya banyak yang mati maka dari dia dilebihi,” ucapnya saat menunjukkan kolam lele.

Sudah dua kali ia membeli benih lele untuk diternakkan. Yang pertama membeli 25.000 ekor dan kedua 8.000 ekor. Awalnya mereka hanya menggunakan wadah terpal. Dalam sehari ada sekitar 20 ekor lele yang mati.

Tidak seperti sebagian peternak lele yang menggunakan bangkai atau jerohan sebagai pakan, Slamet dan karyawannya menggunakan pellet sebagai pakan lele. Tujuannya untuk mengurangi bau tak sedap yang muncul dari air tempat pemeliharaan lele.

“Tercium amisnya bila ternak lele,” ucapnya.

Cerita Tahu (5)Slamet seusai menunjukkan kolam lele miliknya. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Saat lele berukuran agak besar, mereka akan memisahkan ikan-ikan itu berdasarkan ukuran yang sama. “Soalnya kalau dari kecil hingga gede digabungin terus, saat panen nggak bisa bareng karena pasti ada saja yang ketinggalan makanya sepintar-pintarnya kita memisahkan sesuai ukurannya,” dia menambahkan.

Hari itu, Kamis, 10 Desember 2020, lele-lele peliharaan Slamet tepat berusia dua minggu. Artinya sekitar dua bulan mendatang lele tersebut bisa dipanen. Sebab lele sudah dipanen pada usia 2,5 bulan hingga 3 bulan.

Saat panen, biasanya pedagang akan datang ke peternakan lele untuk melakukan survei. Setelah itu dia akan membeli lele dan langsung membawanya ke pasar. Rendi mengaku tidak mengetahui harga jual dari pedagang pengepul ke pedagang eceran. Tapi, biasanya pedagang eceran menjualnya Rp 25 ribu per kilogram,

“Sekali ngambil per kuintal, misalnya saat panen mau satu atau dua kuintal akan dibayar langsung. Jadi tidak ditargetkan misalnya sehari harus 50 kg, sepanennya saja,” ucapnya. []


(Sarah Rahmadhani Syifa)

Berita terkait
Perjalanan Hidup Pedagang Abu Gosok 13 Anak di Bekasi
Seorang pedagang abu gosok di Bekasi, Wagiono, mengisahkan perjalanan hidupnya. Wagiono mengaku pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama.
Ambil Risiko Demi Hak Pilih Warga Karatina Mandiri di Sleman
Relawan Satgas Covid-19 di Desa Nogotirto, Kabupaten Sleman, mendatangi rumah warga yang karantina mandiri agar mereka bisa memilih di pilkada.
Sinar Mentari dan Kenyal Manisnya Sari Kelapa di Bogor
Produsen sari kelapa atau nata de coco di Bogor bisa menjual satu ton lembaran sari kelapa per minggu saat bulan Ramadan tiba.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.