Sinar Mentari dan Kenyal Manisnya Sari Kelapa di Bogor

Produsen sari kelapa atau nata de coco di Bogor bisa menjual satu ton lembaran sari kelapa per minggu saat bulan Ramadan tiba.
Ely Lisnawati, 46 tahun, pemilik usaha pembuatan Nata de Coco, di Kampung Cikempong, Kelurahan Pakan Sari, Kecamatan Cibinong, Bogor. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Bogor - Matahari enggan menampakkan dirinya siang itu, Rabu, 9 Desember 2020. Dia seperti bersembunyi di balik awan hitam, menghangatkan diri dari dinginnya udara Bogor. Sementara, butiran air hujan seperti berlomba mencapai tanah, mengiringi setiap langkah kaki. Bekas alas kaki meninggalkan jejak di sepanjang jalan setapak.

Aroma wangi sari kelapa atau nata de coco terbawa oleh embusan angin, keluar dari bangunan semipermanen di Kampung Cikempong, Kelurahan Pakansari, Cibinong. Dindingnya terbuat dari fiber plastik warna hitam, susunan bilah bambu, dan kain terpal. Batang kayu yang menopang bagian atap menjadi tumpuan bangunan itu.

Sesekali angin kencang bertiup, menimbulkan suara riuh dari atap bangunan, seperti hendak menerbangkan atap yang terbuat dari seng. Pada pintu bangunan yang terbuat dari bambu terdapat gembok yang mencengkeram rantai berkarat. Itu satu-satunya pengaman pintu utama bangunan.

Seorang wanita berhijab dan berkaus biru berjalan ke arah pintu bambu. Ely Lisnawati, wanita berusia 46 tahun itu membuka gembok dan mempersilakan masuk. Wajahnya ramah dihiasi senyum yang tersungging di bibir.

Suasana di dalam bangunan terasa pengap dan lembab karena hujan. Celah kecil pada dinding bambu menjadi satu-satunya lubang sirkulasi udara. Celah itu dan lubang-lubang kecil di atap seng menjadi tempat masuknya cahaya matahari saat cuaca cerah.

Cerita Nata de Coco (2)Sebuah dandang berisi air kelapa yang akan dimasak untuk dijadikan nata de coco. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Bergantung pada Matahari

Bangunan itu merupakan tempat Ely dan suaminya, Supeno, 55 tahun, memroduksi sari kelapa. Keduanya memulai menjadi produsen sari kelapa sejak tahun 2000, setelah sang suami belajar cara membuat sari kelapa dari seorang rekannya.

Berbekal modal awal Rp 50 juta yang sebagian dibantu oleh saudaranya, keduanya membeli peralatan yang dibutuhkan, seperti alat potong, nampan, dandang besar, gentong, gayung, koran, dan karet.

Keduanya tidak langsung memroduksi sari kelapa, melainkan sekadar membeli lembaran sari kelapa yang sudah jadi dan memeotong-motongnya berbentuk kotak-kotak kecil, lalu menjualnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Supeno mulai membuat sari kelapa sendiri. Sari kelapa buatannya dikenal oleh masyarakat dengan promosi dari mulut ke mulut. Kini sari kelapa buatannya semakin banyak dicari oleh pabrik-pabrik besar. Biasanya mereka memesan sari kelapa berbentuk lembaran. Sekali pengiriman bisa mencapai satu ton sari kelapa.

Sekarang sudah jadi produsen pertama. Bagian pemotongan ada di pihak kedua.

Ely menambahkan, kualitas sari kelapa ditentukan oleh bahan utamanya, yaitu air kelapa murni. Untuk menjamin kualitas air kelapa, dia sudah memiliki pengepul khusus di beberapa pasar. “Harus murni air kelapa, kalau sudah tercampur air gak bisa terpakai” kata Ely.

Dalam seminggu pengepul mengantarkan air kelapa sebanyak tiga kali, masing-masing 60 jerigen. Setiap 60 jerigen dapat menghasilkan sekitar 3 ribu nampan nata de coco. Harga per jerigen berkapasitas 28 liter adalah Rp 10 ribu.

Bahan lain adalah gula , cuka biang, dan amonium sulfat (ZA). Ketiga bahan tambahan ini nantinya dicampur untuk proses fermentasi sari kelapa. Air endapan tersebut harus diistirahatkan minimal lima hingga enam hari.

Cerita Nata de Coco (3)Air endapan yang berasal dari campuran gula, cuka biang, dan amonium sulfat (ZA). (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Produksi sari kelapa sangat tergantung pada cuaca dan kebersihan. Jika tidak terkena terik matahari langsung, biasanya proses fermentasi banyak yang gagal. Begitu juga jika nampan yang digunakan tidak dicuci bersih, berpengaruh pada proses fermentasi. Sisa sabun yang masih menempel pada nampan akan membuat nata de coco berjamur.

“Harus bersih pokoknya, kadang sabun cuci ditambahkan garam biar makin bersih,” ujar Ely.

Kala musim hujan datang, Ely merasa cukup kesulitan memroduksi sari kelapa. “Nampan harus steril, pengeringan harus kena terik matahari, kalo lagi hujan paling nampannya digarang, tapi hasilnya gak maksimal.”

Proses Produksi

Proses pembuatan sari kelapa diawali dengan memasak air kelapa selama dua jam. Setelah dimasak, air kelapa dipindahkan ke dalam gentong untuk didinginkan. Setelah tidak terlalu panas, Air kelapa dituangkan ke nampan dengan takaran sepertiga dari ketebalan nampan sebagai proses cetak.

Nampan-nampan yang telah terisi kelapa ditutup rapat dengan koran. Lalu didiamkan selama sehari semalam, kemudian diberi air endapan yang berasal dari fermentasi gula, cuka biang dan amonium sulfat (ZA).

Proses fermentasi nata de coco berlangsung selama satu minggu. Kertas penutup fermentasi sari kelapa tidak boleh dibuka sampai siap panen. Kalau udara sedang dingin atau sedang musim hujan, waktu fermentasi ditambahkan satu hari.

Sari kelapa buatannya hanya tahan 24 jam di suhu ruangan karena tidak menggunakan bahan pengawet. Oleh karena itu, dia masih belum bisa melakukan pengiriman jarak jauh.

Cerita Nata de Coco (4)Fermentasi air kelapa disusun rapi pada rak kayu yang diurutkan berdasarkan hari. Untuk hari pertama, rak berada di paling belakang, dan rak yang di depan berisikan sari kelapa siap panen. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Dalam memroduksi sari kelapa, wanita kelahiran Tasikmalaya ini, mempekerjakan dua pegawai. Sebab proses pembuatan tak bisa dilakukan oleh dirinya dan suaminya saja.

“Prosesnya cukup lama, belum lagi harus cuci ribuan nampan,” katanya sembari tertawa.

Kendala lain adalah sulitnya mendapatkan koran untuk penutup nampan. Dia harus bersaing dengan pelaku usaha lain yang membutuhkan kertas Koran, seperti penjual ikan pindang dan pembuat petasan. Untuk mendapatkan surat kabar bekas, Ely biasa membeli sebanyak dua hingga tiga kuintal dengan harga Rp 6 ribu per kilonya.

Sebenarnya ada alternatif lain pengganti surat kabar bekas, yaitu buku LKS (lembar kerja siswa) bekas. Namun, harga per kilonya cukup mahal yakni Rp 9 ribu.

Koran bekas yang telah digunakan sebagai penutup nampan tak dia buang sia-sia. Dia menjual kembali koran bekas tersebut seharga seribu rupiah per kilonya.

“Mereka nerima aja walaupun kertasnya lembab, mungkin kan buat daur ulang lagi” katanya.

Sari kelapa buatannya dipasarkan ke pabrik dan warung-warung sekitar rumah. Produk yang dikirim ke pabrik biasanya masih bentuk mentah, yakni berupa lembaran putih yang nantinya diproses kembali di pabrik. Namun, harga penjualan ke pabrik sudah ditentukan oleh pihak pabrik. Biasanya per kilo terjual seharga Rp 1.600.

“Kalau musim hujan, biasanya pihak pabrik nurunin harga,” ujar Ely.

Produk yang masih berbentuk lembaran kenyal, belum siap untuk dikonsumsi, harus diolah lagi. Caranya dipotong, dicuci hingga bersih, direbus, dipress semalaman sampai kempis. Cara press dengan dimasukkan ke dalam karung dan ditindih bak berisi air. Setelah direndam kembali sambil diaduk dan selalu mengganti airnya agar mengembang.

Sari kelapa yang dijual di warung dibanderol dengan harga Rp 1.600 untuk ukuran plastik kecil, dan Rp 7.500 untuk ukuran 700 ml. Nata de coco yang biasa dijual ke warung sudah siap konsumsi. Produk yang dijual ada tiga rasa, yaitu rasa original, rasa pandan dan pisang ambon. Untuk rasa original hanya menggunakan air gula saja, sedangkan cita rasa pandan dan pisang ambon berasal dari pasta.

“Kalau di sini kan masih kampung, harga pasaran gak bisa terlalu mahal,” ujarnya.

Penjualan sari kelapa meningkat saat bulan Ramadan tiba. Dia bisa menjual 100 bungkus nata de coco ke warung di dekat rumahnya. Sedangkan ke pabrik, dia bisa menjual satu ton lembaran sari kelapa dalam seminggu. Omzetnya bisa mencapai Rp 13 juta per bulan.

Cerita Nata de Coco (5)Nata de coco yang masih berbentuk lembaran, belum siap untuk dikonsumsi. Produk yang berada dalam tong besar ini mampu bertahan selama 1 bulan. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Mengenai kabar yang pernah beredar bahwa produk nata de coco tidak aman untuk dikonsumsi karena mengandung bahan berbahaya. Menurut ibu dari 3 anak ini, hal tersebut tidak benar. Maksud dari bahan berbahaya itu biasanya zat pengawet yang terkandung di dalam sari kelapa.

“Kalau saya istilahnya hanya petani saja, saya hanya bikin bahan bakunya saja, murni tanpa campuran bahan bahan pengawet,” ujarnya sembari menunjukkan hasil sari kelapa.

Selain tanpa pengawet, sari kelapa buatannya juga tanpa pemanis buatan, prosesnya pun alami dan masih tradisional tanpa bantuan mesin. 

Saat ditanya mengenai pengaruh pandemi Covid-19. Ely merasa tidak ada pengaruh drastis saat pandemi Covid. Hanya pada awal awal PSBB, dia berhenti produksi karena semua pabrik tutup. Namun, sekarang sudah kembali normal.

Rasa sari kelapa buatannya yang enak dan bebas bahan pengawet tersebut diakui oleh seorang pelanggannya, Sri. “Nata de Coco buatan Bu Elly udah terkenal enak, teksturnya gak keras kayak produk yang sudah bermerek” ujar Sri.

Sementara, seorang karyawan Ely, justru memuji kebaikan hati majikannya tersebut, yang dinilainya lebih bijak dan manusiawi dalam memimpin. “Saya sudah berkali-kali kerja di pabrik sari kelapa, tapi paling nyaman kerja di sini, kadang ada pabrik yang gak ngasih waktu ibadah,” ujarnya. []

(Nabila Tsania)

Berita terkait
Ambil Risiko Demi Hak Pilih Warga Karatina Mandiri di Sleman
Relawan Satgas Covid-19 di Desa Nogotirto, Kabupaten Sleman, mendatangi rumah warga yang karantina mandiri agar mereka bisa memilih di pilkada.
Perajin Batu Bata Berkejaran dengan Banjir dan Hujan
Menjadi perajin batu bata merupakan pekerjaan sebagian Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap. Ini kendala mereka.
Setelah Perahu Doni Monardo Melaju Cepat Membelah Segara Anakan
Perahu Doni Monardo itu melaju cepat membelah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, sesekali perahu melambat saat berpapasan dengan sampan nelayan.
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.