Calon Gagal, Prabowo Ditinggal?

Tifatul bahkan mengungkit ‘kesetiaan’ PKS yang menemani Gerindra berada dalam garis oposisi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.
Benarkah PKS akan meninggalkan Prabowo? Kesetiaan itu ada batasnya, bukan? (Foto: Ant/Indrianto Eko Suwarso)

Jakarta, (Tagar 12/7/2018) – Penantang Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang mulai sibuk menghitung kekuatan.

Berhitung kekuatan tentunya termasuk mencari jodoh yang sesuai dan ‘sakti’ untuk bermitra dan dianggap mampu mengalahkan  Jokowi yang elektabilitasnya semakin meninggi dalam berbagai lembaga survei independen.

Pasangan banyak disodorkan, tapi yang dianggap mampu mendongkrak suara bukanlah hal yang mudah untuk dipilih. Salah mengambil partner, jelas suara yang diraih akan jeblok. Bak jodoh, perlu bibit, bebet, dan bobot yang baik.

Ancaman dari Teman
Memilih wakil untuk kontestasi lima tahunan ini tak mudah, memang. Apalagi ditingkahi syarat dari masing-masing calon pasangan yang tersedia. Sebagaimana adagium politik, tak ada makan siang gratisan, maka partai yang akan diajak Gerindra berkoalisi pasti mengajukan syaratnya.

PKS misalnya. Jauh hari telah menyiapkan sembilan kader terbaiknya untuk dijadikan pendamping Prabowo memimpin negeri ini sebagai Wakil Presiden. Kini, PKS tak sekadar menyodorkan calon, partai ini pun mulai mengeluarkan ancamannya.

Sembilan kader PKS itu adalah Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Mohamad Sohibul Iman, Salim Segaf Al Jufrie, Tifatul Sembiring, Al Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.

PKS tampak serius dengan kesembilan kader yang disodorkannya itu sebagai prasyarat berteman dan berjuang bareng menuju RI Satu. Paling tidak, ancaman pecah kongsi sempat dilontarkan Tifatul Sembiring jika Prabowo tak mengambil kader PKS sebagai wakilnya nanti.

Di Kompleks Parlemen, Senayan, mantan Menteri Komunikasi dan Informasi era Presiden SBY itu berucap, "Cawapres harus dari PKS. Itu nggak bisa ditawar. Kami nggak mau jadi penggembira saja dalam pilpres ini. Kalau kami disuruh dukung-dukung saja, mungkin nggak? Mungkin kami lebih baik jalan masing-masing saja," katanya sengit, Selasa (10/7).

Menyadari posisi ‘sulit’ Prabowo untuk menentukan wakilnya, PKS pun mulai bermain mata dengan partai lain. Demokrat menjadi partai yang kian intens didekatinya. Semua dilakukan demi menjadikan kursi Wakil Presiden sebagai jatahnya.

Tifatul berpendapat, pemilu legislatif dan eksekutif (Presiden dan Wakilnya) yang berbarengan tahun depan menjadi penting untuk mengangkat peraihan suara partai. Dengan kata lain, figur kadernya yang menjadi calon Wakil Presiden, siapa pun calon Presidennya, akan mampu mendongkrak suara PKS, yang saat ini diketahui tengah dilanda konflik internal.

Anies Menyalip, Gatot Bergerilya
Di PKS, memang santer ada perpecahan soal siapa yang akan menjadi pendamping Prabowo nantinya. Selain kesembilan kadernya, kini mulai ada suara menjagokan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk maju sebagai partner Prabowo. Tak sekadar wakil, Anies pun disuarakan sebagai calon Presiden.

Dikutip dari Antara, Direktur Pencapresan DPP PKS, Suhud Alynudin, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (8/7) bahkan menyatakan, partai koalisi menyetujui jika Anies Baswedan maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2019, bukan sebagai calon wakil presiden.

"Wacana Anies Baswedan sebagai cawapres Prabowo Subianto sangat kecil kemungkinan terealisasi. Partai koalisi lebih setuju mengusung Anies sebagai capres, bukan cawapres," tulisnya. "Pengorbanan umat dan rakyat Jakarta terlalu besar jika Anies hanya cawapres," lanjut Suhud lagi.

Tifatul memang bersuara keras soal kadernya yang disorongkan menemani Prabowo di Pilpres nanti. Pasalnya, pada Pilpres 2014 lalu, PKS telah merelakan Prabowo memilih wakil dari PAN, Hatta Rajasa menemani Letnan Jenderal Purnawirawan itu bertarung berebut RI Satu. Tifatul bahkan mengungkit ‘kesetiaan’ PKS yang menemani Gerindra berada dalam garis oposisi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.

“PAN juga sudah dikasih kesempatan, 2014 mereka cawapres, capres Prabowo, tapi yang setia sampai sini kan PKS?" ungkitnya. 

Satu yang perlu dicermati, gerak politik mantan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, yang konon punya 'gizi' berlebih untuk mendukung ambisinya menjadi Presiden RI. Konon, Gatot aktif melobi banyak partai politik. Itukah sebab PKS dan PAN tak kunjung mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto? Sekali lagi, politik itu sangat cair.

Sejak fotonya beredar di depan gedung Trump Plaza, milik Presiden Amerika, Donald Trump, pengamat politik mulai membaca langkah-langkah agresif yang dilakukan Gatot. Kenapa Amerika? hanya Gatot yang bisa menjawab.

Di sisi lain, PAN pun mulai menyuarakan calonnya sendiri. Ada dua calon dari partai pimpinan Zulkifli Hasan ini. Sang politisi senior yang menjadi Ketua Dewan Pembina PAN, Amien Rais, yang masih penasaran mencicipi jabatan eksekutif tertinggi di negeri ini, dan Pak Zul (Zulkifli Hasan) sendiri yang digadang-gadang maju sebagai calon Presiden. 

Benarkah PKS akan meninggalkan Prabowo? Kesetiaan itu ada batasnya, bukan? (rif)

Berita terkait