Untuk Indonesia

Bunuh Diri, Laku Kebudayaan, dan Koloni Keluarga

Beberapa artis Korea tewas dengan dugaan bunuh diri. Kenapa orang seperti mudah menghabisi nyawanya sendiri.
Ilustrasi Bunuh Diri.

Oleh: F Daus AR

Mengapa kasus bunuh diri kerap mengundang khalayak untuk terlibat, mencari tahu musababnya? Yang terbaru, misalnya, selebritas Korea Selatan, Goo Hara. Sebelumnya, masih lekat diingatan: Sulli f(x), yang juga ditengarai menghabisi nyawanya sendiri.

Kabar mengenai bunuh diri bukan lagi sesuatu yang baru. Praktik mengakhiri nyawa sendiri sudah merentang sejak lama. Motifnya beragam, mulai dari keyakinan eskatologis sampai perlawanan politik. Banyak sekali kasus yang bisa diajukan sebagai contoh.

Di tahun 1993, sebuah sekte di Texas, Amerika Serikat yang dipimpin oleh David Koresh telah lama menyiapkan rencana agar para pengikutnya terlibat dalam proses bunuh diri massal. Upaya itu sempat melibatkan petugas yang berupa mencegah tindakan Koresh dan pengikutnya segera. Namun, Koresh telanjur meyakininya sebagai perintah “Tuhan” dan, dia sendiri menembak kepalanya.

Menengok ke masa lalu, pada peradaban Mesir kuna, bunuh diri malah dianggap tindakan heroik. Para pemberontak yang saat itu gagal membunuh Raja Ramses III diberi pilihan oleh penguasa Mesir untuk bunuh diri atau menjalani hukuman. Para pemberontak memilih bunuh diri.

Dalam Padmaavat, film produksi India dirilis pada 2018, mengangkat kembali praktik jauhar yang dipimpin oleh Rani Padmavati, ratu Rajput. Tindakan itu merupakan bentuk perlawanan dengan bakar diri massal. Dalam keyakinan Hindu, jauhar merupakan tindakan untuk menolak perbudakan setelah kalah perang.

bunuh diri bisa disebut sebagai laku kebudayaan yang pernah dijalani umat manusia.

Melalui literatur, tradisi jauhar di barat laut India berkaitan erat dengan sati bagi perempuan yang barus saja ditinggal mati suaminya. Status perempuan yang menjadi janda akan melakukan sukarela untuk dikremasi di atas tumpukan bekas suaminya. 

Kaushik Roy, penulis buku Hinduism and the Ethics of Warfare in South Asia, From Antiquity to the Present menyebutkan, bila jauhar hanya terjadi ketika peperangan terjadi antara kerajaan Muslim dan Hindu dan sebaliknya tidak berlaku antarperang sesama kerajaan Hindu di Rajput.

Menilik asumsi di atas, bunuh diri bisa disebut sebagai laku kebudayaan yang pernah dijalani umat manusia. Cerminan demikian berkembang berdasarkan pada situasi di masa lalu. Seiring laju zaman, corak kebudayaan manusia juga berubah, ditengarai oleh kuasa ilmu pengetahuan dalam melakukan pembacaan pencapaian manusia di masa lalu. Tradisi bakar diri massal sebagai respons kebudayaan dan keyakinan asketis perlahan mulai ditinggalkan.

Namun, sekelumit nasib manusia yang mengakhiri hidupnya tak terhapuskan. Pemicunya tumbuh dari manusia dan lingkungannya sendiri. Sejumlah kasus bunuh diri yang kita dengar hari ini mengarahkan pada situasi pelik dan tragis dalam menjalani hidup.

Lalu, bagaimana sikap kita melihat fenomena bunuh diri yang masih kerap terjadi ini? Bisakah itu dikembalikan pada yang bersangkutan karena tak kuasa menguasai diri dan berdamai – menjalani situasi pelik yang tengah dihadapi.

Setiap 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri se Dunia. Dian Pitawati, dokter spesialis kejiwaan, dikutip dari liputan6.com, mengungkapkan: “…perlu mengenali diri sendiri. Kita ini orangnya seperti apa. Cukup mampu atau enggak menghadapi tantangan hidup. Apakah kita (tipe orang) cenderung tertutup dan menarik diri. Apakah kita orang yang berjuang atau suka menghindari tantangan," ungkapnya.

Menjadi pertanyaan, apakah manusia tidak memiliki rasa mencintai diri. Mensyukuri hidup yang telah dijalani. Pertanyaan semacam ini melampaui lapisan generasi. Manusia purba dalam diskursus sosiologi menunjukkan keakraban antar sesama melalui koloni. Ada kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang diakrabi sebagai anggota.

Erich Fromm dalam bukunya, Akar Kekerasan: Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia (Pustaka Pelajar: 2001) menjelaskan kalau manusia dibekali sarana pencegahan agar tidak berbuat destruktif. Analisis ini menitikberatkan pada perilaku manusia untuk menghabisi manusia yang lain.

Fromm mengungkapkan walau manusia tidak dibekali alat perusak yang melekat di tubuhnya, seperti cakar pada harimau, tetapi tindakan manusia bisa brutal bila mendapat dukungan alat di luar dirinya. Misalnya, saja, pisau bisa dipakai untuk membunuh. Itulah mengapa, manusia perlu mengakrabi manusia agar muncul empati.

Jika ditarik ke dalam pola tindakan manusia membunuh dirinya sendiri, maka sarana mengakrabi diri selaku manusia tetaplah menjadi media pemutus destruktif itu. Peranan keluarga menjadi paling dekat. Keluarga sebagai koloni dalam manusia modern akan menjadi ruang mengenal kembali “kedirian” atas masalah yang menghimpit. []

Penulis: narablog 

Berita terkait
Aida Saskia, Biduan Dangdut Bikin Prank Bunuh Diri
Penyanyi Dangdut Aida Saskia dilarikan ke rumah sakit usai melakukan percobaan bunuh diri demi membuat konten prank di Instagram.
Sanksi Maskapai Sebelum Kopilot Wings Air Bunuh Diri
Corporate Communications Strategic of Wings Air Danang Mandala tak menyangkal bahwa pihaknya telah memberikan sanksi kepada pilot Nicolaus.
Pembunuh Wanita di Makassar Pacarnya Sendiri
Misteri kematian wanita yang terbungkus seprei di sungai Jeneberang kota Makassar akhirnya terungkap, ternyata wanita asal NTT itu dibunuh pacarnya
0
Ini Dia 10 Parpol Pendatang Baru yang Terdaftar di Sipol KPU
Sebanyak 22 partai politik (parpol) telah mengajukan permohonan pembukaan akun atau akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).