Budaya Batak Bukan "Dijual" untuk Pariwisata

Pembangunan di Tanah Batak, khususnya kawasan Danau Toba, seringkali tak menyentuh kondisi sosial dan budaya.
Suryati Simanjuntak (berdiri). (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan - Aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Suryati Simanjuntak, mengatakan, pembangunan di Tanah Batak, khususnya kawasan Danau Toba, seringkali tak menyentuh kondisi sosial dan budaya (kearifan lokal).

"Orang Batak yang di perantauan selalu memberi cap buruk kepada orang Batak di kampung. Mereka selalu melabeli orang Batak di kampung jorok, suka menipu dan label buruk lainnya. Padahal, itu hanya segelintir, bukan semua orang Batak begitu," katanya saat diundang menjadi salah satu pembicara dialog publik GMKI Cabang Medan, di Jalan Iskandar Muda, Medan, Kamis 8 Agustus 2019.

Diskusi publik bertema "Menagih Janji Pemerintah Mencabut Ijin Perusahaan Perusak Danau Toba" juga menghadirkan narasumber Wilmar Simanjorang (Penggiat Lingkungan Kawasan Danau Toba), Erika Pardede (Dosen UHN), Manambus Pasaribu (Bakumsu).

Semula, Gubsu Edy Rahmayadi diundang, namun tak hadir dan diwakili Siti Bayu Nasution dari Badan Lingkungan Hidup Pemprovsu.

Menurut aktivis yang sering membaur bersama dengan masyarakat, stereotipe dari orang perantau itu sering memunculkan persepsi bahwa orang Batak tidak siap menghadapi pembangunan yang akan dijalankan pemerintah. Termasuk salah satunya pengembangan pariwisata.

Dari kacamatanya, karakter yang dibangun terhadap orang Batak oleh orang Batak (perantau) sendiri, kemudian dianggap menjadi satu ketidakmampuan untuk mengikuti program pariwisata yang selalu didengungkan pemerintah.

Padahal, katanya, budaya Batak tak harus selalu untuk "dijual" demi pariwisata.

Budaya Batak, katanya, bukan untuk dijual, tapi dilakoni, dihidupi sebagai nilai. Tapi, orang Batak yang di perantauan dengan bangganya mengatakan orang Batak supaya berubah dengan tujuan supaya turis datang.

"Biarlah turis datang, karena budaya kita. Bukan jadi kita harus belajar menari-nari supaya turis senang," katanya pada diskusi yang dihadiri puluhan mahasiswa yang tergabung dalam GMKI Medan itu.

Menurutnya, itu semacam upaya pemaksaan kepada orang Batak agar berubah menyesuaikan apa yang dibutuhkan pariwisata.

Tak Harus Mengikuti Bali

Bukan tidak mampu menjadi destinasi wisata super destination, seperti yang didengungkan pemerintah terhadap Danau Toba. Tapi, pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba, kata Suryati, harus sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Bukan selalu mesti seperti keinginan pusat.

Contohnya, tak harus selalu seperti Bali. "Pemerintah selalu bilang akan membangun 10 Bali baru, termasuk Danau Toba, tapi apakah yang di Bali selalu cocok dengan Toba?" katanya.

Ia justru mempertanyakan apa yang baik di Bali yang mau dipindahkan ke Danau Toba. Sementara di destinasi wisata itu saat ini juga terdapat masalah yang dihadapi masyarakat, mulai dari masalah kepemilikan tanah, kesulitan air dan sampah.

Hal ini juga seperti yang terjadi dengan komodo di Nusa Tenggara Timur, yang sudah mulai punah, ternyata karena sampah yang begitu banyak akibat pariwisata.

Menurut pandangannya, pariwisata di Danau Toba tak bisa ada kesan memaksakan.

Belum lagi saat ini masalah yang dihadapi Danau Toba, yaitu ekosistem. Masalah ini sulit sekali diselesaikan. Ternyata akar permasalahannya ialah akibat adanya peraturan yang seolah membelit sendiri.

"Sering kali pejabat pemerintah menyampaikan statemen tanpa bisa dieksekusi. Mereka sering bilang, kami tahu itu rusak, tapi kami tidak bisa bertindak karena ada penanaman modal asing," terangnya.

Menurutnya, bangsa ini sedang dirundung oleh adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.

"Meskipun kita tahu itu akan rusak, tapi kita tidak bisa berbuat karena peraturan, padahal peraturan itu kita yang buat. Mengapa persoalan ini sangat rumit, karena pengambil kebijakan melihat sesuatunya dari uang. Tidak akan ada artinya tidak ada uang. Semua dinilai dengan uang. Makanya secapek apapun kita teriak-teriak saat ini, tidak ada kesepahaman dalam melihat posisi rakyat," terangnya. []

Berita terkait
Kondisi Ekosistem Danau Toba Sedang Menuju Kehancuran
Saat ini ekosistem Danau Toba mengalami gangguan (disturbance), sehingga jasa ekosistem yang diperoleh tidak lagi maksimum.
Gubsu Baiknya Penjarakan Perusak Danau Toba, Bukan GMKI
Pengurus Pusat GMKI merespons tindakan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi yang melaporkan massa aksi GMKI Medan ke kepolisian.
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara