Boris Johnson, PM Inggris yang Akan Wujudkan Brexit

PM Inggris, Boris Johnson, hari ini berencana mengumumkan Inggris keluar dari Uni Eropa yang akan disiarkan pada pukul 22:00 GMT
Boris Johnson (Foto: instagram@borisjohnsonuk)

Jakarta – Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, segera umumkan kepastian terkait hengkangnya Inggris dari Uni Eropa (UE) melalui sebuah siaran yang akan ditayangkan pada Jumat, 31 Januari 2020 pukul 22:00 GMT. Dilema Brexit (Britania Exit) yang mulai muncul pasca pengumuman hasil referendum pada tahun 2016 lalu ini kini akan segera terealisasi. Boris telah memastikan, per tanggal 1 Februari 2020, Inggris sudah tidak lagi menjadi anggota dari Uni Eropa.

Dalam pernyataannya, Boris menggambarkan, putusnya hubungan Inggris dengan 27 negara dalam naungan UE bukanlah sebuah akhir, melainkan suatu awal yang baru bagi Inggris untuk bersatu dan menuju ke tingkat yang lebih tinggi.

1. Brexit Telah Dijadwalkan Pada 31 Maret 2019

“Ini adalah saat ketika fajar menyingsing dan tirai naik (menyambut) babak baru. Sebuah momen pembaruan dan perubahan nasional yang nyata,” lanjutnya.“Hal terpenting untuk dikatakan malam ini adalah ini bukanlah akhir, melainkan suatu awal,” ujar Boris dilansir dari BBC. “Ini adalah saat ketika fajar menyingsing dan tirai naik (menyambut) babak baru. Sebuah momen pembaruan dan perubahan nasional yang nyata,” lanjutnya.

“Ini adalah awal era baru di mana kami tidak lagi menerima kalau kesempatan hidup Anda, keluarga Anda, bergantung pada negara bagian mana tempat Anda tumbuh. Ini adalah saat di mana kita mulai bersatu dan naik tingkat,” jelas Boris.

Baik Inggris maupun UE akan menyepakati suatu perubahan-perubahan kebijakan yang akan terjadi selama “masa transisi” selama 11 bulan ke depan hingga 21 Desember 2020.

Awalnya, Brexit telah dijadwalkan pada 31 Maret 2019. Namun, berulang kali mengalami penundaan ketika anggota parlemen menolak perjanjian yang telah dicapai oleh UE dan perdana menteri Inggris sebelumnya, Theresa May.

Atas kegagalannya mencapai kesepakatan negosiasi Brexit dengan UE, Theresa May memutuskan pengunduran dirinya pada Mei 2019 disertai desakan anggota parlemen. Usai pengunduran diri Theresa dari jabatannya saat itu, muncul dua nama yang diusung untuk mengisi kekosongan kursi perdana menteri yakni, Boris Johnson dan Jeremy Hunt. Hasil jajak pendapat parlemen mempercayakan posisi perdana menteri di tangan Boris Johnson.

Pasca resmi dilantik oleh Ratu Elizabeth II pada 24 Juli 2019 lalu, tak butuh waktu lama, Boris langsung mengumumkan susunan kabinetnya. Mayoritas kabinetnya, diisi oleh tokoh-tokoh pendukung Brexit. Selain itu, ia juga mencopot sekitar 17 menteri dari kabinet sebelumnya khususnya yang menolak terjadinya “No-Deal Brexit”.

Selain didominasi pendukung Brexit, kabinet Boris juga banyak diisi tokoh-tokoh keturunan minoritas serta politisi perempuan. Bahkan, Boris menempatkan dua di antaranya untuk menempati posisi “The Great Office of State (empat posisi senior dalam pemerintahan Inggris)” seperti, Sajid Javid politisi keturunan Asia-Inggris sebagai Menteri Keuangan, dan Priti Sushil Patel politisi perempuan keturunan India sebagai Menteri Dalam Negeri.

Dalam pidatonya Boris menegaskan, bersama kabinetnya, ia akan menyelesaikan persoalan Brexit yang mandek. Ia juga akan segera menyepakati kesepakatan baru yang lebih baik hanya dalam waktu 99 hari.

“Dalam waktu 99 hari kami akan memecahkannya (persoalan Brexit). Masyarakat Inggris sudah cukup lama menunggu,” ujar Boris, dilansir dari The Atlantic.

Sayang, keinginan Boris mewujudkan cita-cita masyarakat tak berjalan mulus. Pasalnya, anggota parlemen dan beberapa “pengkhianat” partainya berhasil meloloskan legislasi untuk mencegah terjadinya No-deal Brexit. Hal tersebut membuat Boris harus mengajukan permohonan penundaan Brexit ke Ibu kota UE hingga 31 Januari 2020 mendatang (hari ini).

Pada pemilu pada Desember 2019 lalu, Boris sebagai perwakilan Partai Konservatif kembali mencalonkan diri sebagai perdana menteri Inggris dan bersaing dengan Jeremy Corbyn perwakilan dari Partai Buruh untuk memperebutkan kursi di Downing Street 10 (kantor perdana menteri Inggris). Saat itu, Boris kembali mengumbar janji kepada masyarakat Inggris terkait kepastian Brexit dengan menggaungkan slogan “Get Brexit Done”.

Hasil pemilu menyatakan Partai Konservatif meraih suara mayoritas di parlemen dengan memenangkan 364 kursi dari 650 kursi parlemen. Alhasil, Boris kembali mendapat kepercayaan masyarakat Inggris untuk melanjutkan cita-cita Brexit yang sempat terhenti.

boris2Boris Johnson (Foto: instagram @borisjohnsonuk)

2. Pernah Jadi Wartawan

Jauh sebelum berkarir di dunia politik, pria bernama lengkap Alexander Boris Pfeffel Johnson ini pernah berkecimpung di bidang jurnalisme. Ia pernah menjadi jurnalis untuk surat kabar harian Inggris, The Times. Karirnya bersama The Times tak berlangsung lama, Boris dipecat karena ketahuan mengarang kutipan terkait orientasi seksual Raja Edward II.

Selepas dari The Times, Boris kemudian menjadi koresponden untuk surat kabar Inggris lainnya, The Daily Telegraph, pada 1989. Kemudian pada 1999, ia bekerja sebagai Editor di majalah mingguan Inggris, The Spectator, majalah yang fokus pada isu-isu politik, budaya, dan kejadian-kejadian update yang tengah terjadi.

Dalam suatu laporan koresponden Uni Eropa dari surat kabar Inggris, The Independent pada 1995, Boris dikenal sebagai orang yang suka mengada-ada oleh para pejabat di Brussels.

“Dia suka mengada-ada, mereka mengklaim, dan tulisan-tulisannya dipenuhi dengan materi sayap kanan untuk meluncurkan perang suci melawan plot Brussels untuk menguasai dunia,” tulis The Independent.

3. Masuk Partai

Pada pemilu tahun 2001, Boris terpilih sebagai anggota “House of Commons” atau “Dewan Rakyat”, sebuah majelis rendah dalam parlemen Inggris.

Di bawah pimpinan Michael Howard, ia diserahi jabatan sebagai menteri kesenian di kabinet bayangan (sebuah badan yang dibentuk oleh pihak oposisi dengan struktur yang menyerupai kabinet pemerintah guna mencermati dan membuat tandingan dari kebijakan-kebijakan serta program yang dicanangkan pemerintah) oleh Partai Konservatif.

boris3Ilustrasi (Foto: theinsiderstories.com)

Pada 2005, saat David Cameron terpilih sebagai pemimpin Partai Konservatif, Boris kembali dipercaya sebagai menteri pendidikan kabinet bayangan dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai editor di majalah The Spectator.

Sekitar 2007, Boris terpilih sebagai kandidat dari Partai Konservatif untuk bersaing dalam pemilihan walikota London pada 2008. Boris terpilih sebagai walikota London dengan perolehan suara terbanyak yakni lebih dari satu juta suara. Pada 2014, Boris kembali terpilih sebagai walikota London untuk kedua kalinya.

Melalui akun instagramnya, @borisjohnsonuk, pria yang sering tampil dengan rambut acak-acakan ini mengunggah sebuah video melalui instastory terkait pengumuman Brexit yang akan dilakukan hari ini.

Today is the day. The UK is leaving the UE today,” unggah instastory Boris Johnson.

Berita terkait
Jokowi Tak Perlu Takut Hadapi Gugatan Uni Eropa
Langkah Presiden Jokowi menyiapkan pengacara terbaik untuk menghadapi gugatan Uni Eropa harus mendapat dukungan bersama.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)