Boneka Hapus Air Mata Amelia dari Trauma Wamena

Diberikan boneka, Amelia merasa bahagia, bisa menghapus air mata. Dia merupakan pengungsi dari Wamena, Papua yang pindah ke Sulawesi.
Amelia (baju biru) memegang mainan yang dia dapatkan dari aparat kepolisian di Makassar pada 5 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Makassar - Siang 5 Oktober 2019, cuaca di Landasan Udara Sultan Hanasanuddin, Kabupaten Maros, Makassar, diterpa panas terik. Tepat pukul 13.15 WITA sebuah pesawat hercules berwarna hijau jenis A-1314 yang membawa 50 pengungsi asal Wamena, Papua, mendarat dengan mulus di Tanah Sulawesi.

Pintu besi pesawat perlahan mulai diturunkan. Tampak dari kejauhan, sejumlah orang yang didominasi anak-anak tak sabar lagi untuk sesegera mungkin menginjak daratan, jenuh mengudara berjam-jam dari Jayapura

Kemudian, mereka diarahkan menuju tenda penampungan sementara yang berjarak 300 meter dari tempat terparkirnya pesawat. Setelah berjalan lima menit, sejumlah warga korban kerusuhan Wamena ini rehat sejenak di kursi yang telah disediakan.

Tak lama berselang, sejumlah relawan hadir. Berbekal makanan dan minuman mereka langsung berbaur dengan wajah-wajah pengungsi yang masih terlihat trauma. 

Selanjutnya, sejumlah aparat kepolisian di sini dengan wajah ramah berkunjung ke tenda, membawa hadiah berupa mainan dan boneka yang diberikan kepada bocah pengungsi dari Bumi Cenderawasih. 

Hari ini pulang bersama dua adik dan tante. Kalau ibu sudah pulang lebih dulu, Sementara ayah masih berada di Wamena.

Pembagian dipimpin Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polisi Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Dicky Sondani.

Salah seorang pengungsi kerusuhan Wamena, Amelia terlihat begitu girang ketika menggenggam boneka. Senyumnya seketika mengembang, menyirnakan raut sedih di wajahnya. 

Bagi siswi yang saat ini duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Inpres Kago Wamena ini, peristiwa kerusuhan September kemarin benar-benar membuatnya takut. Dia mengucap, tempatnya menimba ilmu di Wamena dirusak massa, sehingga Amelia terpaksa harus mengungsi ke sini.

Perempuan berusia 11 tahun ini tidak menduga disambut sangat ramah di Makassar. Matanya berbinar-binar, gelak tawa tak bisa lagi ia tutupi. 

“Kita bersyukur ada hadiah boneka dari bapak polisi. Setidaknya kami bisa ada teman bermain kalau sudah sampai di kampung halaman tempat tujuan,” ujarnya.

Pengungsi Wamena di MakassarSeorang ibu bersama kedua anaknya yang merupakan pengungsi Wamena memegang mainan dari polisi di Makassar pada 5 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriasnyah).

Pemilik nama lengkap Amelia Bangapangiruan ini memandang menghadiahi boneka dan mainan kepada bocah korban kerusuhan adalah perbuatan terpuji, agar anak-anak tidak menengok kejadian kelam yang telah mereka lalui.  

“Saya di Wamena ada boneka, tapi tidak sempat membawa pulang ke Sulawesi, karena tidak sempat lagi untuk mengemas barang-barang yang ada. Hanya pakaian yang ada di badan saja yang dibawa pulang,” tuturnya.

Dia mendarat di Sulawesi Selatan bersama Anggun, 8 tahun dan Kevin, 4 tahun. Mereka adalah adik kandung Amelia. Jadi, hari itu dia tidak didampingi dua orang terkasih. 

“Saya hari ini pulang bersama dua adik dan tante, kalau ibu sudah pulang lebih dulu, 4 Oktober 2019. Sementara ayah masih berada di Wamena,” ujarnya.

Tidak Ingin Putus Sekolah

Pengungsi Wamena di MakassarSeorang ibu bersama kedua anaknya, korban kerusuhan Wamena memegang mainan dari polisi Makassar pada 5 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Perempuan berambut ikal ini bersikeras tidak ingin putus sekolah. Dia mengungkapkan ketidaksabaran untuk segera melanjutkan pendidikan setelah menginjak kampung halaman orang tuanya di Tanah Toraja

Terlebih, saat ini Amelia sudah berada di tingkat akhir. Selanjutnya, dia akan mengenakan seragam putih biru. Selama beberapa detik, kepalanya menengadah menatap langit biru Makassar, mulutnya memanjatkan doa.

“Kalau saya masih ingin tetap bersekolah,” ucapnya lirih.

Pekerjaan yang sangat mulia, kita bisa membagikan ilmu kepada banyak orang, dan menjadikan orang itu bermanfaat pada kemudian hari.

Amelia mengaku sejak lahir belum pernah menginjak kampung halaman ibundanya di Toraja. Wajahnya kembali murung. Dia tiba-tiba saja teringat tidak sempat membawa seragam sekolah dan buku pelajaran. Semuanya dia tinggal di Wamena.

Dia berharap betul dapat beradaptasi dengan cepat di sekolahnya yang baru dan mata pelajaran yang nantinya diterima tidak jauh berbeda dengan yang ia dapati saat menggali ilmu di Bumi Cenderawasih. 

Kepada Tagar, sambil tersenyum malu Amelia mengungkapkan cita-citanya kelak nanti ingin menjadi seorang guru. Dia ingin ilmu yang diserapnya bisa dibagikan kepada orang lain. 

"Itu adalah pekerjaan yang sangat mulia, kita bisa membagikan ilmu kepada banyak orang dan menjadikan orang itu juga bermanfaat pada kemudian hari,” tuturnya.

Selama menimba ilmu di Wamena, Amelia paling suka mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Doanya adalah suatu saat nanti bisa menjadi guru Biologi. 

Sebab, dalam pelajaran itu Amelia dapat melakukan banyak praktikum dan mempelajari anatomi tubuh manusia secara mendalam.

Amelia berujar, di sekolahnya yang lama dia tidak tergolong siswi yang pandai. Tetapi dia selalu berusaha untuk bisa meraih hasil terbaik setiap ada kegiatan ulangan semester.

“Saya paling tinggi masuk dalam 10 besar peraih peringkat atau rangking dari total 40 orang teman saya di kelas,” kata dia.

Upaya Trauma Healing

Pengungsi Wamena di MakassarAparat kepolisian dan anak-anak pengungsi kerusuhan Wamena di Makassar pada 5 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Aparat kepolisian secara begantian mendatangi sejumlah anak. Mereka membagikan robot-robotan untuk laki-laki dan boneka bagi anak perempuan.

“Kita sengaja memberikan mainan ini kepada anak-anak korban kerusuhan Wamena yang tiba hari ini. Setidaknya bisa memberikan mainan yang bisa menjadi temannya saat kembali ke kampung halamannya,” ujar Dicky kepada sejumlah pewarta yang berada di Landasan Udara Hasanuddin.

Masa anak-anak adalah hal yang paling indah, maka dari itu kami membawakan boneka ini untuk menjadi teman bermain.

Menurut Dicky, pembagian ini tidak terlepas dari upaya pihak kepolisian untuk melakukan trauma healing kepada sejumlah anak-anak korban kerusuhan Wamena. 

Terlebih masa anak-anak sudah bisa mengingat beragam peristiwa, salah satu yang tidak baik adalah soal kejadian kelam saat pecahnya kerusuhan 23 September 2019 lalu.

Dia memandang, masa pertumbuhan, alangkah baiknya tidak boleh mengingat hal-hal yang tragis. "Masa anak-anak adalah hal yang paling indah, maka dari itu kami membawakan boneka ini untuk menjadi teman bermain,” ucap Dicky.

Hari itu Dicky sengaja berbaur dengan anak-anak dan mempersilakan mereka memilih mainan yang diinginkan. Dia mengaku turut bahagia bisa melihat di depan mata senyum lebar para bocah yang diberikan mainan dan boneka.

Hal tersebut memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, karena pihaknya menginginkan anak-anak yang tiba di Landasan Udara (Lanud) Hasanuddin tidak lagi termenung.

“Kita harus tetap membuat anak-anak yang tiba di Lanud Hasanuddin bisa tersenyum, meski kita tahu kejadian di sana sulit,” tuturnya.

Respons Orangtua Anak Wamena

Pengungsi WamenaSejumlah pengungsi turun dari pesawat di Makassar pada 5 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Salah satu orangtua anak pengungsi Wamena, Muhammad Amin menilai kegiatan pemberian mainan dan boneka kepada anak-anak adalah hal positif. Di sisi lain bocah bisa mendapatkan kesenangan, karena mainannya tertinggal di Wamena. 

Sudah pasti, kata dia, pengungsi tidak membawa benda-benda berharga. Yang jelas, bisa membawa pakaian salin saja sudah patut disyukuri.

“Kita bersyukur ada hadiah dari aparat kepolisian untuk anak-anak pengungsi, biar anak-anak tidak terlalu ingat tentang peristiwa mencekam di Wamena,” kata Muhammad.

Kalau bisa setiap ada pengungsi yang datang dan membawa anak bisa diberikan mainan atau boneka sebagai teman bermain.

Dia coba mengembalikan ingatannya selama beberapa waktu lalu. Muhammad sempat melihat anak-anak yang berada di pengungsian Jayapura sangat membutuhkan hiburan.

“Kalau bisa setiap ada pengungsi yang datang dan membawa anak bisa diberikan mainan atau boneka sebagai teman bermain saat berada di kampung halamannya,” kata dia.

Pria yang berprofesi sebagai buruh bangunan ini menambahkan, selain pemberian boneka, dia juga mengharapkan semua daerah yang ada pengungsinya, khususnya anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dapat diberi kemudahan untuk kembali menempuh pendidikan.

“Yang utama itu sebenarnya adalah pendidikan dari anak-anak yang sudah sekolah, semoga di tempat asalnya nanti bisa kembali bersekolah agar bisa mencapai cita-citanya,” ujar dia.

Muhammad sangat berharap tragedi Wamena tidak terulang dan kondisi keamanan di sana dapat kembali aman tentram seperti sediakala.

“Saya pribadi ingin konflik yang terjadi di sana bisa selesai dengan tuntas, tidak ada lagi yang terjadi pada kemudian hari,” kata pria yang mengungsi dari Wamena, Papua itu. []

Berita terkait
Hamil 9 Bulan Lari di Antara Panah Terbang di Wamena
Netty Oppungsunggu seorang guru SMP di Wamena, Papua, tiba di kampung halamannya di Sumatera Utara. Kini dia tengah menunggu proses bersalin.
Hartini Membawa Parang Saat Kerusuhan di Wamena Papua
Nasib salah satu pengungsi asal Wamena, Papua yang dilarikan ke Makassar, hingga saat ini masih trauma. Kini dia berniat ke Pulau Kalimantan.
Tragis, Maria Alami Keguguran Saat Kerusuhan di Wamena
Kerusuhan di Wamena, Papua menyisakan kisah memilukan bagi pasangan suami istri Maria Kristiani dan Aji Santoso. Bakal bayi pasutri ini gugur.