Untuk Indonesia

Biarkan Prabowo dan Mantan Koalisi Jadi Oposisi

Tulisan opini Eko Kuntadhi tentang Prabowo atau Gerindra, PAN dan PKS baiknya tetap jadi oposisi, tidak bergabung koalisi Jokowi.
Calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan) berjabat tangan usai memberikan keterangan pers terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di kediaman Prabowo, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2019). Prabowo-Sandi menyatakan menghormati dan menerima putusan MK yang menolak gugatannya. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Prabowo dan Sandiaga Uno, secara resmi membubarkan koalisi adil makmur. Partai-partai pendukungnya seperti dibebaskan dari belenggu. Mereka kini seperti merpati, bebas mau terbang ke mana pun.

Sebetulnya jauh sebelum keputusan dibubarkan Koalisi Prabosan, kita sudah tahu partai-partai itu bergerak mencari selamat sendiri-sendiri. Partai Demokrat sudah lebih dulu merapat ke Jokowi. Agus Harimurti Yudhoyono berkali-kali menunjukkan komunikasi politik yang intens dengan kubu Jokowi.

Demikian juga PAN. Tanda-tanda PAN balik badan sudah terasa sejak KPU mengumumkan hasil perhitungan suara. Bahkan jauh dari itu, sejak hasil hitung cepat memenangkan Jokowi-Amin ketua PAN seperti melenggang meninggalkan Prabowo.

Belakangan Sekjen PPP Asrul Sani memberi sinyal bahwa Gerindra bisa diterima sebagai mitra koalisi Jokowi-Amin. Sementara Gerindra sekarang juga cenderung tidak bersikap hitam-putih. Artinya Partai Gerindra belum secara jelas menentukan apakah akan menjadi oposisi nantinya.

Saya membaca kecenderungan Gerindra bakal merapat ke Jokowi makin besar. Pada demo depan di Gedung MK, seorang orator Marwan Batubara bahkan berani mengancam. "Kalau Prabowo merapat ke Jokowi, maka dia mengkhianati kita," ujarnya.

Dalam politik, gak masalah partai yang kalah merengek minta jatah juga. Ini bagus-bagus saja untuk menjaga stabilitas di perlemen nantinya. Dukungan penuh partai pada pemerintahan Jokowi di periode kedua, diharapkan akan memudahkan konsolidasi.

Pembangunan ekonomi butuh stabilitas politik. Stabilitas itu dapat ditempuh dengan jalan kompromi. Ujung kompromi adalah bagi-bagi kekuasaan. Itu biasa.

Tapi benarkah jika koalisi makin gemuk pemerintahan bisa lebih efektif? Belum tentu. Pada periode kemarin secara resmi PAN melamar masuk koalisi. Mereka dapat jatah kursi menteri.

Apa yang terjadi? Di luar orang-orang PAN bahkan termasuk pentolannya seperti Amien Rais mulutnya tetap busuk menyudutkan Presiden. Artinya di dalam atau di luar pemerintahan Jokowi, kelakuan Amien Rais sama saja. Tidak mencerminkan komitmennya membangun pemerintahan bersama.

Biarkan saja Gerindra, PAN dan PKS tetap di luar. Itu konsekuensi dari pilihan koalisi mereka. Selain butuh pemerintahan yang kuat, kita juga butuh oposisi yang waras.

Atau ingat pada zaman SBY. Waktu itu PKS dan Golkar berada dalam koalisi pemerintahan SBY-Boediono. Tapi dalam menghadapi kasus Century justru kedua partai itulah yang paling ngotot menyerang SBY di parlemen. Politisi PKS dan Golkar menjadi motor yang menampar wajah SBY di parlemen.

Padahal maunya SBY, koalisi gemuk itu agar pemerintahannya bisa berjalan efektif. Nyatanya gak jaminan juga.

Yang mau lebih baru, ketika awal pemerintahan Jokowi periode pertama kemarin. Jelas sekali para politisi PDIP sebagian bersuara mirip oposan. Kita tahu, saat itu mereka bergerak untuk semakin meningkatkan bargaining-nya. Tapi ya, di depan publik sangat terasa.

Pada budaya politik yang masih belum akil balig ini, terkadang jadi bagian dari pemegang kekuasaan atau jadi oposisi bisa gak jauh berbeda. Kepentingan-kepentingan jangka pendek bisa mengalahkan ikatan itu.

Saya sih, tidak terlalu masalah apabila Gerindra, PAN atau Demokrat dapat peluang untuk bergabung di pemerintahan Jokowi. Meski, gak gampang juga. Setidaknya partai-partai koalisi yang sudah berjuang memenangkan Jokowi-Amin pasti gak suka. Jatah menterinya harus dibagi ke orang.

Kedua, apakah bisa ada jaminan masuknya parpol yang tadinya berseteru ke pemerintahan akan membuat kebijakan pemerintah lebih solid dan gonjang-ganjing politik kempes? Kayaknya gak ada yang bisa menjamin.

Ketiga, jika azas di parlemen adalah demokratis yang sebagian mengandalkan suara terbanyak, partai koalisi Indonesia Maju kayaknya sudah lebih dari cukup. Jumlah mereka lebih dari setengahnya.

Keempat, kita juga perlu mengajarkan bahwa dalam politik jadi oposisi itu juga punya tempat terhormat. Tentu saja jika mekanisme oposisinya dijalankan dengan rasional dan logika yang bisa diterima. Bukan asal jeplak dan asal kritis.

Biarkan saja Gerindra, PAN dan PKS tetap di luar. Itu konsekuensi dari pilihan koalisi mereka. Selain butuh pemerintahan yang kuat, kita juga butuh oposisi yang waras.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.