Jakarta - Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Menurut buku "Effectengids" yang dikeluarkan Vereniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, transaksi efek telah berlangsung sejak 1880 namun dilakukan tanpa organisasi resmi sehingga catatan tentang transaksi tersebut tidak lengkap.
Pada tahun 1878 terbentuk perusahaan untuk perdagangan komunitas dan sekuritas, yakni Dunlop & Koff, cikal bakal PT. Perdanas. Bursa efek pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1912 di Batavia pada masa penjajahan Belanda. Saat itu, Bursa didirikan untuk kepentingan Hindia Belanda (VOC).
Tepatnya tanggal 14 Desember Amsterdamse Effectenbueurs membuka cabang bursa efek pertama di Batavia (Jakarta). Dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Namanya adalah Asosiasi Perdagangan Efek. Pasar ini terletak di Batavia (Jakarta) dengan efek yang diperjualbelikan berupa saham dan juga obligasi.
- Baca Juga: Dear Investor, Ini Cara Mudah Beli Saham Bukalapak
- Baca Juga: Simak 4 Tata Cara dalam Berinvestasi Saham
Dalam buku yang dirilis oleh Vereeniging Voor Den Effectenhandel berjudul “Effectengids” dikatakan jika perdagangan efek di Indonesia telah berlangsung sejak 1880, selain itu perdagangan efek tersebut dilakukan bukan dari organisasi resmi sehingga catatan transaksi tidak lengkap. Pada tahun 1878 terbentuk perusahaan untuk perdagangan Komunitas dan Sekuritas, yakni Dunlop & Koff, cikal bakal PT Perdanas.
Selanjutnya, transaksi saham pada perdagangan efek pertama kali tercatat pada tahun 1892, yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan di Batavia yaitu Cultuur Maatschappij Goalpara. Perusahaan tersebut menjual 400 saham dengan harga 500 gulden per saham yang beredar.
Empat tahun kemudian, Het Centrum juga merilis prospektus penjualan saham yang memiliki nilai hingga 105 ribu gulden dengan harga per lembar sahamnya sebesar 100 gulden. Setelah transaksi-transaksi tersebut, pemerintah Hindia Belanda, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan bursa efek di Batavia pada tahun 1912.
Ketika itu bursa efek didirikan untuk kepentingan pemerintah kolonial, sebagai penguasa perdagangan di Asia. VOC membuka bursa efek juga untuk mencari modal dalam pembangunan perkebunan massal di Indonesia.
Hanya berselang dua tahun, Bursa Efek terpaksa ditutup pada tahun 1914 karena adanya Perang Dunia I. Pada tahun 1925 Bursa Efek kembali dibuka sekaligus membentuk dua bursa efek baru di Indonesia, yaitu Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Semarang.
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Bursa Efek Jakarta dibuka kembali dibuka oleh Presiden Soekarno pada 3 Juni 1952. Hingga pada akhirnya keberadaan Bursa Efek kembali tidak aktif ketika ada program nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1956 sampai 1977.
- Baca Juga: Bagaimanakah Cara Kerja Saham?
- Baca Juga: Ikuti 4 Cara Ini Agar Cepat Untung dalam Bermain Saham!
Pada masa itu, pasar modal tumbuh secara bertahap, dan bahkan menjadi tidak aktif untuk jangka waktu tertentu karena berbagai kondisi, seperti Perang Dunia I dan II, peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia, dll.
Pemerintah Indonesia mengaktifkan kembali pasar modalnya pada tahun 1977, dan berkembang pesat sejak saat itu, seiring dengan dukungan insentif dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Jumlah investor pasar modal setiap tahunnya juga terus mengalami peningkatan. Seperti yang dikutip dalam Laman web BEI menunjukkan bahwa sebelumnya pada 2018 jumlah investor pasar modal adalah 1,6 juta.
Lalu di tahun 2019 pertumbuhan investor pasar modal mencapai 53 % sehingga jumlah investor yang tercatat dalam pasar modal menjadi 2,4 juta. Pada Mei 2020, jumlah investor mencapai 2,8 juta atau telah tumbuh sebesar 13 % dari akhir 2019. Angka tersebut menunjukkan bahwa adanya pandemi Covid-19 tidak menurunkan jumlah investor di Indonesia.
(Putri Fatimah)