Batam Gaduh, Pungli PPDB 2018 Coreng Wajah Pendidikan

Batam gaduh, pungli PPDB 2018 coreng wajah pendidikan. Polisi menyita uang hingga ratusan juta rupiah. Tampak tumpukan uang pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000 di sebuah ruangan rumah B.
Guru memeriksa berkas murid baru saat daftar ulang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Murid baru diterima melalui sistem zonasi atau area domisili terdekat dengan sekolah sedangkan sisanya melalui nilai murni atau jalur SKTM. (Foto: Ant/Heru Salim)

Batam, (Tagar 15/7/2018) - Dua perempuan ikut diamankan bersama B. Identitas keduanya belum bisa diverifikasi. Ada yang menyebutnya guru di SMP Negeri 10, ada juga yang menyatakan keduanya anggota komite.

Kegaduhan tiba-tiba terjadi di sebuah rumah di Perumahan Nusa Jaya, Sei Panas pada Sabtu (14/7) malam. Sejumlah polisi nampak berjaga-jaga penuh dengan kewaspadaan.

Seorang pria digiring keluar dengan pengawalan menuju Markas Polresta Barelang, Batam Kepulauan Riau.

Pria itu diketahui berinisial B, Ketua Komite SMP Negeri 10 Batam, yang terjaring dalam operasi tangkap tangan dalam kasus pungutan liar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018.

Aparat kepolisian belum memberikan keterangan resmi mengenai OTT itu. Namun disebut-sebut, saat B ditangkap di rumahnya. Polisi menyita uang hingga ratusan juta rupiah. Hal itu nampak dari foto yang menggambarkan tumpukan uang pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000 di sebuah ruangan rumah B.

Dua perempuan ikut diamankan dalam OTT itu bersama B. Namun, identitas keduanya belum bisa diverifikasi. Ada yang menyebutnya sebagai guru di SMP Negeri 10, ada juga yang menyatakan keduanya adalah anggota komite.

Pelaksanaan PPDB yang awalnya diklaim berjalan relatif lancar, tiba-tiba tercoreng.
Padahal Wali Kota Batam Muhammad Rudi berulang kali mengingatkan seluruh panitia pelaksanaan PPDB untuk tidak "bermain api", dan menjalankan tugasnya dengan jujur.

Dia menegaskan, pelaksana PPDB dilarang memberlakukan pungutan liar dalam bentuk apa pun, meski permintaan siswa untuk bersekolah negeri sangat tinggi.

"Saya tegaskan, bapak ibu tak boleh ada pungutan termasuk yang masuk lewat' belakang' melalui oknum-oknum tertentu. Kemarin saya sudah ke Polda untuk membahas masalah ini. Kalau ada akan saya ambil tindakan tegas," kata Wali Kota dalam pertemuan dengan masyarakat, awal pekan ini.

Peringatan yang sama disampaikan kepada masyarakat, agar tidak memberikan uang dalam bentuk apa pun kepada panitia dengan tujuan agar anaknya diterima di sekolah negeri.

"Begitu juga bapak-ibu yang mungkin membayar untuk masuk lewat belakang kalau ketahuan anaknya saya batalkan masuk ke sekolah negeri," tegas Rudi.

Mengetahui adanya komite sekolah yang kedapatan OTT, Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad ikut menyesalkan.

"Ini kasus yang cukup serius. Padahal sudah berkali-kali kami mengingatkan di setiap pertemuan. Pak Wali juga menegaskan masalah ini," kata dia.

Langgar Permen

Awalnya, pelaksanaan PPDB Batam berjalan baik. Seleksi siswa yang diterima melalui jalur prestasi, tidak menuai protes. Begitu pula dengan penerapan sistem zonasi.

Namun, karena jumlah peminat sekolah negeri melebihi kapasitas, maka banyak menuai protes warga. Apalagi, sebaran sekolah di pemukiman tidak merata. Ada sekolah dekat pemukiman yang peminatnya membludak, melebihi kuota yang ditentukan. Sebaliknya, ada pula sekolah yang kekurangan siswa karena lokasinya memang relatif jauh dari pemukiman.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam Hendri Arulan mencatat, jumlah siswa yang tidak tertampung SD Negeri 596 orang dan SMP sebanyak 1.607 orang.

Banyaknya protes warga membuat Pemerintah Kota Batam harus berpikir keras. Wali Kota beserta Wakil Wali Kota Amsakar Achmad langsung ikut turun ke sekolah-sekolah untuk menemui calon orangtua siswa.

Wali Kota juga berulang kali memimpin rapat untuk memberikan solusi terbaik. Satu di antaranya adalah menambah jumlah siswa dalam kelas, agar semakin banyak yang dapat tertampung.

"Karena banyak orangtua minta diterima di sekolah negeri, jumlah anak perkelas dipadatkan menjadi 37 hingga 40 anak," ujar Wali Kota Batam saat menemui calon orangtua siswa di SDN 001 Batam.

Kebijakan itu tentu saja melanggar Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang membatasi jumlah siswa didik untuk satu rombongan belajar. Dalam peraturan itu, siswa SD paling banyak 28 orang dalam satu kelas, SMP paling banyak 32 siswa dan SMA paling banyak 36 siswa.

Kebijakan Pemkot Batam itu pun langsung menuai penyesalan dari anggota DPD RI daerah pemilihan Kepri, yang pernah menjabat Ketua Dewan Pendidikan Kota Batam, Hardi Selamat Hood.

"Kebijakan satu kelas hingga 45 orang itu melanggar keputusan Menteri, kalau mau melanggar, aturan zonasi juga bisa dilanggar. Padahal bukan itu persoalannya," kata Hardi melalui sambungan telepon.

Keputusan Menteri Pendidikan yang membatasi satu kelas hanya diisi maksimal 36 orang siswa sesungguhnya untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar.

Dan menurut dia, berdasarkan teori kesehatan, bila satu kelas diisi banyak orang, maka pasokan oksigen akan terbatas. Dan bila pasokan oksigen terbatas, maka akan membuat daya tangkap siswa lemah.

"Masalahnya bukan satu kelas dipadatkan. Tapi, siswa harus leluasa belajar," kata pria yang pernah menjabat Ketua Dewan Pendidikan Kota Batam itu.

Selain itu, belajar saling berdekatan juga dapat membuat siswa tidak percaya diri. Duduk saling berdekatan membuat konsentrasi terpecah dengan melihat kawan di sebelah kiri dan kanan.

Menurut dia, ada banyak efek psikologis yang mengharuskan jumlah siswa dalam kelas harus normal, tidak hanya maslaah daya tampung.

"Masalah jiwa guru juga, karena sulit mengontrol. Apalagi dengan Kurikulum 13 yang mementingkan jumlah ideal dalam kelas. Kalau jumlahnya 40 bisa kompromi. Tapi kalau 50, ini sekolah massal tidak baik ke depan," kata dia.

Solusi Lain

Menambah jumlah siswa dalam satu rombongan belajar bukanlah satu-satunya solusi yang ditawarkan Pemkot Batam untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Wali Kota juga berkomitmen membangun sekolah baru.

Wali Kota menilai, kebijakan menambah kuota dan rombongan belajar tak cukup menampung calon siswa yansehingga diperlukan pendirian sekolah baru.

Sayang, pendirian bangunan sekolah baru tidak bisa langsung atau instan, sehingga siswa harus menumpang di sekolah yang sudah ada.

Pemkot juga belum akan menambah jumlah tenaga pengajar, melainkan memberdayakan guru yang ada untuk mengajar di sekolah baru.

"Jadi mereka akan lembur sampai sore," kata dia.

Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam, Hernowo menyatakan pemerintah merencanakan menambah dua unit sekolah baru (USB) yang akan dibangun di Seibeduk dan Sagulung. Dua sekolah dengan kapasitas masing-masing lima kelas tersebut diharapkan mampu hingga 400 murid.

Sekolah baru di Seibeduk yaitu SMPN 58 Batam untuk sementara menumpang di SDN 007 Seibeduk. Dan di Sagulung SMPN 59 Batam, yang sementara menggunakan ruang kelas di SDN 019 Sagulung.

Sementara itu, Wali Kota Batam Amsakar Achmad juga menciptakan jurus baru untuk memecahkan masalah itu, yaitu dengan meminta sekolah swasta memberi kemudahan biaya bagi siswa baru miskin yang tidak tertampung di sekolah negeri.

"Anak-anak kita harus sekolah. Kami ingin solusi yang kompherensif," kata Amsakar.

Sedikit sama dengan solusi yang ditawarkan Amsakar, Hardi menyarankan agar pemda memberikan subsidi kepada sekolah swasta, agar bisa memberikan pendidikan yang terjangkau sekaligus berkualitas.

"Ini untuk mengatasi masalah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Agar masyarakat mau bersekolah di swasta," kata Hardi.

Swasta Semestinya, daya tampung sekolah memadai, jika masyarakat mau menyekolahkan anaknya di swasta. Sayangnya, banyak warga masyarakat yang tidak senang bersekolah di swasta.

Menurut Hardi, ada beberapa hal yang mengakibatkan masyarakat enggan menyekolahkan anaknya di swasta, di antaranya biaya yang mahal dan kualitas pendidikan yang tidak baik dibanding negeri. Karena itu, kata dia, pemerintah harus merangkul swasta, termasuk memberikan subsidi sekaligus pengawasan kualitas yang ketat kepada sekolah-sekolah swasta tertentu.

"Dan ada ‘mindset’ (pola berpikir) kalau negeri itu lebih baik. Karena itu 'mindset' ini harus diubah. Pemda bekerja sama dengan swasta. Berikan kemudahan bagi masyarakat untuk bersekolah di sawsta. Anak yang tidak mampu digratiskan," kata dia.

Senator asal Kepri tidak menyepakati dengan pemikiran, warga miskin lebih berhak bersekolah di negeri. Karena sesungguhnya bersekolah di negeri adalah hak semua warga negara, tidak hanya warga miskin.

Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

"Ini bukan persoalan mampu, karena ini hak warga negara. Orang mampu bayar pajak, orang tidak mampu tidak bayar pajak, apakah itu adil," kata dia.

Sekolah bukan hanya persoalan mampu membayar, namun kualitas pendidikan dan kenyamanan lingkungan.

Dia menilai carut marut pelaksanaan PPDB akibat minimnya sarana dan prasarana pendidikan.

"Akibat tidak diperhatikannya sekolah swasta untuk men-'support' sekolah negeri. Ini sangat tidak baik bagi pendidikan dasar," kata dia. (Yunianti Jannatun Naim/ant/yps)

Berita terkait