TAGAR.id – Asia Tenggara bersiap hadapi potensi tarif oleh Amerika Serikat (AS) setelah Donald Trump terpilih kembali jadi Presiden AS. Apakah ini meningkatkan risiko ekonomi atau justru membawa peluang tak terduga bagi kawasan? David Hutt melaporkannya untuk DW.
Para pemimpin Asia Tenggara satu persatu memberikan ucapan selamat kepada Donald Trump atas kemenangannya sebagai Presiden AS. Namun, ada kegugupan dalam mengantisipasi apakah akan ada tarif tambahan oleh AS dan apakah tindakan proteksionisnya hanyalah strategi kampanye atau akan benar-benar dijalankan.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. berharap aliansi yang tak tergoyahkan antara kedua sekutu akan terus "menjadi kekuatan untuk kebaikan, yang membuka jalan menuju kemakmuran dan persahabatan di kawasan tersebut, dan kedua sisi Pasifik."
Sementara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengucapkan selamat kepada Trump atas "kemenangan dan kebangkitan politik yang luar biasa." Hun Manet, Perdana Menteri Kamboja, mengatakan ia "yakin bahwa peran AS yang sangat diperlukan dalam mempromosikan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran akan semakin diperkuat."
Kekhawatiran perdagangan negara di Asia Tenggara
Selama kampanye pemilihan umum AS, sebagian besar warga Asia Tenggara memperhatikan dengan saksama janji kampanye Donald Trump untuk mengenakan tarif menyeluruh sebesar 10%-20% pada impor dari semua negara. Ini adalah rencana yang mengkhawatirkan bagi kawasan yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.
"Asia Tenggara memiliki pengalaman sebelumnya dalam menghadapi Trump dan pemerintahannya, yang berarti mereka lebih siap menghadapi pemerintahan Trump kedua," kata Le Hong Hiep, peneliti senior di Program Studi Vietnam di ISEAS - Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada DW.
"Meski kemenangannya terkesan mengecewakan bagi beberapa negara, itu bukanlah hal yang mengejutkan," imbuh Hiep. "Mereka akan cepat beradaptasi dengan realitas baru dan melindungi kepentingan mereka."
Bridget Welsh, peneliti kehormatan di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia, mengatakan kepada DW bahwa masa jabatan kedua Trump akan membawa dampak berbeda bagi tiap negara. Hal ini karena beberapa negara sepenuhnya berfokus pada aspek perdagangan.
Bagi negara lain, seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam, akan ada "peningkatan risiko keamanan," karena hubungan pertahanan AS sangat penting bagi keamanan mereka di tengah meningkatnya kekuatan ekonomi dan militer China.
Zachary Abuza, profesor di National War College di Washington, mengatakan kepada DW bahwa kemenangan Trump dirasakan kurang berdampak bagi Asia Tenggara dibandingkan dengan Eropa atau Asia Timur Laut.
Namun, para analis mengatakan bahwa wajar apabila Vietnam merasa sangat khawatir. Negara ini adalah eksportir terbesar di kawasan Asia Tenggara ke Amerika Serikat dan, setelah Singapura, negara yang paling bergantung pada perdagangan untuk pertumbuhan ekonomi.
Selama masa jabatan pertamanya, Trump awalnya memiliki hubungan baik dengan Vietnam. Namun, hubungan memburuk pada tahun 2019 karena Trump semakin frustrasi dengan negara-negara yang menikmati surplus perdagangan besar dengan AS.
Tahun itu, Trump menyebut Vietnam sebagai "pelaku terburuk" perdagangan AS di dunia, lebih buruk dari China, karena surplus perdagangan negara itu dengan Amerika mencapai sekitar 54 miliar dolar AS tahun itu.
Pada bulan-bulan terakhirnya, pemerintahan Trump pertama memulai proses formal untuk memberikan sanksi kepada Vietnam atas tuduhan manipulasi mata uang, pemerintahan Biden membatalkan proses ini.
Hampir setiap negara Asia Tenggara lainnya juga merupakan eksportir netto ke AS, jadi mereka juga akan menghadapi konsekuensi jika Trump meneruskan ancamannya untuk mengenakan tarif 10%-20% pada impor semua barang dari semua negara, di samping tarif 60% yang dikenakannya pada semua impor China.
Hubungan AS-China dan dampaknya bagi Asia Tenggara
Seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Laos, menganggap Amerika Serikat sebagai salah satu dari tiga pasar ekspor teratas mereka.
Oxford Economics, sebuah firma penasihat, baru-baru ini memperkirakan bahwa tarif yang diusulkan Trump dapat menyebabkan penurunan ekspor sebesar 3% dari negara Asia selain China. Dampak perdagangan ini dapat seimbangkan apabila Trump kembali terlibat dalam perang dagang yang lebih keras terhadap China.
"Asia Tenggara akan mengalami penurunan PDB dan perdagangan sebagai bagian dari PDB jika Trump mewujudkan obsesinya terhadap tarif," Frederick Kleim, peneliti di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Singapura, mengatakan kepada DW. "Dan Asia Tenggara juga dapat melihat sejumlah potensi keuntungan."
Beberapa pakar memperkirakan bahwa ancaman tarif 60% Trump terhadap impor dari China dapat memicu lonjakan divestasi perusahaan global dari China, seperti yang terjadi pada 2018.
Analis yang diwawancarai DW sepakat bahwa meskipun Trump adalah presiden yang lebih "transaksional" dibandingkan para pendahulunya, diplomasi semacam itu adalah hal yang normal di Asia Tenggara.
Karena sebagian besar negara Asia Tenggara adalah negara yang sepenuhnya otokratis atau, bisa disebut, negara demokrasi yang gagal, banyak pemimpin di kawasan tersebut mungkin menyambut baik kebijakan luar negeri AS.
"Negara-negara Asia Tenggara, pada umumnya, berpikir dalam hal kepentingan nasional, seperti Trump," kata Kleim. (dw.com/id). []
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris