Aplikasi Telegram dan Modus Baru Teroris Bom Medan

Pengamat terorisme dari jurnal Intelijen, Stanislaus Riyanta menilai pelaku pengeboman Medan, menggunakan celah kelonggaran aplikasi Telegram.
Ilustrasi - Jaringan teroris ISIS. (foto: independennews.com)

Jakarta - Pengamat terorisme dari jurnal Intelijen, Stanislaus Riyanta berpendapat saat ini para pelaku teroris aktif berkomunikasi menggunakan aplikasi pesan singkat Telegram, dengan alasan sukar dilacak pihak Kepolisian. 

Para teroris selalu berkamuflase, menggunakan trik baru untuk mengecoh polisi siber dan pihak intelijen. Teknologi yang sangat berkembang sekarang ini menurutnya dimanfaatkan betul oleh para teroris yang melek mata terhadap perkembangan teknologi.  

Komunikasi kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS ini biasanya menggunakan aplikasi Telegram. Itu masih susah diidentifikasi.

Terlebih dengan berlakunya Undang-undang (UU) Terorisme nomor 5 tahun 2018 tentang pencegahan dan pelacakan komunikasi. Menurut dia, para teroris yang sebelumnya menggunakan aplikasi WhatsApp, kini harus beralih menggunakan Telegram, agar tidak mudah dilumpuhkan sebelum menyerang. 

"Komunikasi kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ISIS ini biasanya menggunakan aplikasi Telegram. Itu masih susah diidentifikasi atau sulit dilacak sebenarnya, kalau WhatsApp saya kira bisa," katanya kepada Tagar, Rabu, 13 November 2019.

Dia melanjutkan, untuk mengetahui lebih dalam mengenai aplikasi yang sukar sekali dilacak ini, hanya bisa dikonfirmasi kepada Kementerian Informasi dan Informatika (Kemenkominfo).

"Ini harus kita tanya ke Kominfo, memang datanya belum bisa dilacak. Memang sulit untuk disadap kalau Telegram. Kalau menggunakan grup-grup di WhatsApp masih bisa diidentifikasi. Gerakan-gerakan mereka (teroris) akan terpantau," ujarnya.

"Saat ini yang paling dominan Telegram. Itu mereka lakukan melalui Telegram, paling dominan itu," kata dia.

Mengetahui langkah pemerintah kian gencar mempersempit gerakan paham radikal, para teroris tidak mau kehilangan akal. Mereka, kata Stanislaus, mulai mengubah pola menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan ada kemungkinan nantinya bergerak sendiri.

Seperti halnya dengan yang dilakukan teroris di Surabaya, di mana penyerangan dilakukan seorang wanita yang membawa anak kecil, agar penyamarannya saat membawa bom tidak terendus petugas.

"Karena adanya ini, mereka tidak hanya mengubah pola percakapan, tapi juga mengubah pola gerakan yang dulunya kelompok besar menjadi kelompok kecil yang polanya keluarga atau bahkan nanti individu," ucapnya.

Pola Penyerangan di Polrestabes Medan

Bom MedanPolisi berjaga setelah bom bunuh diri meledak di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara (Sumut) sekitar pukul 08.45 WIB, Rabu, 13 November 2019. (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)

Namun, untuk kasus bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, sejauh ini Stanislaus identifikasi sebagai pelaku tunggal. Untuk itu adalah tugas Kepolisian dalam mengungkap motif penyerangan, termasuk soal keberadaan aktor intelektual.

Kecenderungan bahwa dia terafiliasi dengan ISIS sangat kuat, dari polanya yang menjadikan polisi sebagai sasaran.

"Ini memang harus dibuktikan apakah dia bergerak seorang diri saja tanpa afiliasi dan kelompok manapun atau dia memang ditugaskan seorang diri tetapi ada kelompok besar di balik hal itu," katanya.

Menurut dia, tindakan terorisme yang dilakukan seorang pria dengan menggunakan seragam ojek online (ojol) merupakan bentuk balas dendam atas kematian Pimpinan ISIS Abu Bakr al-Baghdadi. 

Stanislaus menyebut Thogut sebagai musuh utama bagi para teroris yang berafiliasi dengan ISIS, menargetkan polisi, rumah ibadah, dan simbol Amerika.

"Kecenderungan bahwa dia terafiliasi dengan ISIS sangat kuat, dari polanya yang menjadikan polisi sebagai sasaran. Ini diduga bentuk aksi balasan kematian Abu Bakr al-Baghdadi terhadap musuh-musuh mereka," ucapnya.

Menurut dia, bomber di Polrestabes Medan menggunakan trik baru agar gerak-geriknya tidak dicurigai, terlebih sudah masuk ke markas kepolisian. 

"Yang di Medan ini malah modus baru menggunakan jaket gojek. Jaket gojek ini upaya untuk mengelabui," kata dia.

Terbukti, aparat keamanan yang berjaga di pos jaga Polrestabes terkecoh, tidak menaruh curiga sedikitpun dengan penampilan yang tergolong umum. 

"Dia menggunakan celah-celah bahwa publik bisa masuk, apalagi itu dengan menggunakan jaket ojol. Itu memudahkan dia untuk dianggap bukan sebagai ancaman atau mengelabui petugas keamanan," ucapnya.

Melihat kejadian seperti ini, Stanislaus meminta aparat keamanan dapat memperketat lagi pengamanan. Pasalnya, target utama ISIS adalah polisi.

"Kalau SOP nya harus diperiksa, ya diperiksa. Apalagi target mereka itu polisi. Polisi itu dianggap musuh yang harus diperangi oleh mereka. Makanya harus hati-hati," ujarnya. []

Berita terkait
Martin Manurung Geram dengan Terorisme Bom di Medan
Anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem meminta Kepolisian dan masyarakat menutup ruang bagi paham radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Dua Wilayah Terkena Bom Bunuh Diri di Sumatera Utara
Dalam rentang waktu setahun, wilayah Sumatera Utara diserang terduga teroris yang melakukan bom bunuh diri. Pertama di Sibolga. Kedua, di Medan.
Identitas Pelaku-Kronologis Bom Bunuh Diri di Medan
Wakapolda Sumatera Utara Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto mengungkap identitas dan kronologis kejadian bom bunuh diri di Polrestabes Medan.