Apakah Kritik Terhadap Piala Dunia Qatar 2022 Bersifat Rasisme?

Kritik terhadap Qatar yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 semakin hari semakin semakin keras terdengar
Pendukung tim Ekuador di Piala Dunia Qatar 2022. (Foto: dw.com/id - Tom Weller/dpa/picture alliance)

TAGAR.id - Ada perbedaan antara mengeritik suatu negara karena kesalahan tertentu dengan menggunakan pernyataan budaya yang meremehkan serta bersifat stereotip yang mengarah ke rasisme. Cathrin Schaer dan Emad Hassan melaporkannya untuk DW.

Tampaknya, kritik terhadap Qatar yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 semakin hari semakin semakin keras terdengar.

Negara kecil yang kaya energi di wilayah Teluk ini dikecam karena perlakuannya terhadap pekerja migran dalam membangun fasilitas Piala Dunia FIFA 2022.

Selain itu, Qatar juga dikritik atas perlakuan terhadap komunitas LGBTQ dan perempuan. 

Ada pula kecurigaan tentang bagaimana awal ceritanya hingga negara itu dianugerahi sebagai penyelenggara Piala Dunia.

Pada saat yang sama, para komentator baik dari dalam maupun luar negara yang berbahasa Arab juga bertanya-tanya mengapa Qatar dikritik begitu keras. Mereka berpendapat bahwa sebagian kritik justru cenderung tidak ada kaitannya dengan masalah kebijakan Qatar dan lebih berkaitan dengan rasisme, orientalisme, bahkan islamofobia.

ban pelangiIlustrasi - FIFA mengancam akan mengeluarkan kartu kuning kepada pemain yang mengenakan armband berwarna-warni (warna pelangi) pada Piala Dunia 2022 di Qatar (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Protes rasisme dan "kemunafikan Eropa"

"Sebagai orang Arab, kita berpikir bahwa jika turnamen ini diselenggarakan di negara non-Arab, kehebohan yang sama tidaklah akan terjadi," tulis novelis asal Suriah, Wafa Alloush, dalam editorial di situs berita berbahasa Arab yang dikelola oleh lembaga penyiar Turki, TRT.

"Ada banyak hal tentang Qatar yang pantas dikritik dan menjadi sorotan," tulis Khaled al-Hroub, profesor asal Qatar, dalam situs web yang berbasis di Inggris, Middle East Eye. "Tapi ada jurang pemisah besar antara mengkritik suatu negara karena kesalahan tertentu dan menggunakan pernyataan budaya yang meremehkan dan bersifat stereotip yang mengarah ke rasisme yang tertanam."

Kolumnis lain di media berbahasa Arab juga mempertanyakan mengapa kritik yang dilontarkan jauh lebih sedikit terhadap Rusia yang menjadi tuan rumah Piala Dunia sepak bola sebelumnya.

Mereka juga mengatakan negara-negara Eropa munafik dalam mengkritik Qatar dan belum benar-benar memperhitungkan sejarah kolonial mereka sendiri di Timur Tengah dan Afrika, serta bagaimana mereka menangani masalah migrasi.

Sentimen semacam itu juga tercermin di media sosial. Di sana, para pengguna berkelakar dengan mengatakan bahwa jika saja tim Jerman berfokus kepada sepak bola alih-alih masalah hak asasi manusia, mereka mungkin tidak akan kalah dari Jepang dalam pertandingan yang lalu.

Semuanya agak berlebihan, ujar Yasser Abdel Aziz, ahli tentang isu-isu media asal Mesir. Dia melihat adanya bias budaya yang kuat dalam beberapa kritik yang berfokus pada perbedaan antara budaya Barat dan Timur Tengah.

Khalifa International StadiumKhalifa International Stadium di Doha, Qatar, (Foto: manchestereveningnews.co.uk/Eddie Keogh - The FA/The FA via Getty Images)

Kapan kritik bisa disebut rasis?

Definisi kamus mengatakan rasisme adalah "keyakinan bahwa ras yang berbeda memiliki karakteristik, kemampuan, atau kualitas yang berbeda" dan bahwa Orientalisme adalah pandangan yang menyimpang tentang perbedaan antara orang dan budaya Arab, dan orang Eropa. Orientalisme juga sering melibatkan perasaan superioritas Eropa atas Timur Tengah.

Memang benar bahwa beberapa liputan media tentang kontes olahraga di Qatar ini telah memasuki ranah tersebut. Sebuah majalah Prancis menerbitkan kartun tim sepak bola Qatar yang berpakaian seperti teroris. Sementara surat kabar Inggris, The Times, menuliskan dalam sebuah keterangannya bahwa Qatar tidak terbiasa melihat perempuan mengenakan pakaian gaya Barat. Keterangan ini salah, dan telah diubah.

Penduduk lokal di Doha juga melaporkan bahwa sejumlah pengunjung bertanya kepada mereka, apakah perempuan perlu mengenakan jilbab. Semua insiden ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang negara dan wilayah itu.

Ada faktor pendukung lain

Andy Spalding, profesor hukum dari University of Richmond di Amerika Serikat (AS), mengatakan dapat dimengerti bahwa Qatar banyak dikritik. Spalding yang juga pemerhati hak asasi manusia (HAM) di mega-event olahraga dan saat ini tengah berada di Qatar, mengatakan ada banyak nuansa yang hilang dari debat ini.

Namun, ia menambahkan bahwa bukan hanya rasisme atau orientalisme yang menyebabkan tingkat kemarahan ini. Hal-hal lain juga menjadi faktor.

"Sebagai akibat dari kontroversi seputar tuan rumah di sejumlah mega-event olahraga baru-baru ini seperti di Cina, Rusia, dan Afrika Selatan, kita melihat penyelenggaraan acara-acara ini di negara-negara non-Barat secara inheren rawan terhadap masalah korupsi dan hak asasi manusia," jelas Spalding.

Namun, faktanya, Spalding mengatakan bahwa Qatar telah berperilaku sangat berbeda dengan negara-negara tuan rumah sebelumnya, seperti Rusia.

"Dalam menanggapi masalah hak asasi manusia, Cina, misalnya, pada dasarnya memberi jari tengah kepada Barat dan mengatakan Anda tidak bisa membuat kami berubah," ujar Spalding.

Namun, di bawah tekanan, Qatar telah mengubah undang-undang perburuhan dan meningkatkan hubungannya dengan badan-badan seperti Organisasi Perburuhan Internasional. "Media Barat sepertinya tidak mau mengakui keberhasilan di bidang ini," lanjut Spalding.

pekerja migran di qatarSeorang pekerja migran tertidur di bangku sebelum shift paginya pada Sabtu, 15 Oktober 2022, di depan Stadion Internasional Khalifa, stadion nasional dan tertua Qatar, yang akan menjadi tuan rumah pertandingan selama Piala Dunia FIFA 2022, di Doha, Qatar. (Foto: voaindonesia.com/AP Photo/Nariman El-Mofty)

FIFA juga perlu berbenah

Padahal menurut Spalding, pengakuan ini penting karena "jika kita ingin membuat olahraga lebih sesuai dengan hak asasi manusia, kita perlu belajar dari hal itu. Jika tidak, kita menghilangkan alat yang ingin kita gunakan di tahun-tahun mendatang di negara-negara seperti, katakanlah, AS."

AS, Kanada, dan Meksiko akan menjadi tuan rumah Piala Dunia berikutnya pada 2026.

Sementara Jens Sejer Andersen, direktur internasional pada inisiatif Play the Game di Institut Studi Olahraga Denmark, setuju bahwa Qatar telah menerima lebih banyak kritik daripada banyak negara lain yang menyelenggarakan acara olahraga besar, dia tidak percaya kemajuan Qatar telah diabaikan. Inisiatif yang didirikan pada tahun 1997 ini mencoba untuk meningkatkan standar etika dalam semua jenis olahraga.

"Meskipun pihak juri masih belum bisa menegakkan reformasi itu, kami menyambut dan menghargai mereka," kata Andersen kepada DW. "Dan kami tidak mengatakan bahwa Qatar tidak berhak menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kami hanya mengatakan bahwa ada lebih banyak yang harus dilakukan dari pihak Qatar, dan tentu saja dari FIFA."

Bahkan, Andersen percaya bahwa FIFA juga berada di balik sebagian besar alasan mengapa Qatar mendapat tekanan yang lebih buruk.

"Jika ada keyakinan bahwa FIFA bersifat lebih transparan, demokratis atau adil, maka saya pikir itu juga akan mempengaruhi cara kita memandang Piala Dunia di Qatar. Sebaliknya, korupsi di FIFA berdampak buruk pada Qatar, bahkan dalam kasus di mana Qatar tidak memiliki andil dalam korupsi," ujarnya. (ae/hp)/dw.com/id. []

Berita terkait
Pemukulan dan Pemenjaraan Terhadap LGBTQ Dilaporkan Terjadi di Qatar Sebelum Piala Dunia
Polisi di Qatar secara sewenang-wenang menahan dan melecehkan anggota-anggota komunitas LGBTQ menjelang Piala Dunia bulan depan