Riset Tunjukkan Rasisme Hambat Tenaga Kerja Asing di Jerman

Ketika demografi kian menua dan sebagian angkatan kerja terampil memasuki usia pensiun, perekonomian Jerman menuntut migrasi tenaga kerja asing
Ilustrasi - Kartu izin tinggal di Jerman (Foto: dw.com/id - Daniel Karmann/dpa/picture-alliance)

TAGAR.id - Apa yang dicari tenaga kerja asing di Jerman? Bagaimana pengalaman mereka selama bekerja di sana? Sebuah riset unik OECD yang melibatkan 30.000 responden memberikan gambaran utuh. Andreas Becker melaporkannya kepada DW.

Ketika demografi kian menua dan sebagian angkatan kerja terampil memasuki usia pensiun, perekonomian Jerman menuntut migrasi tenaga kerja asing. Hal ini direspons pemerintah federal dengan membenahi sistem keimigrasian dan giat menjaring minat kaum profesional dari Asia, Amerika Selatan dan Afrika.

Kemudahan tersebut antara lain ditawarkan pemerintah melalui situs internet, "Make it in Germany", yang sejak sepuluh tahun membantu calon tenaga kerja menemukan jalan menuju Jerman. Sebagian membeberkan pengalamannya dalam riset lembaga penelitian ekonomi Eropa, OECD, yang merangkum motivasi, harapan dan ketakutan calon tenaga kerja dari luar UE.

"Riset ini unik di dunia, di mana kami memantau perkembangan seseorang dalam rentang waktu yang panjang, sejak saat ketika dia baru mulai tertarik bekerja di sebuah negara," kata Thomas Liebig, peneliti OECD.

Sebanyak hampir 30.000 calon tenaga kerja memberikan jawabannya hingga pertengahan 2022. Setengah tahun kemudian, jumlah responden yang masih melapor tercatat sebesar 10.000 orang. Adapun wawancara penutup pada pertengahan 2023 diikuti sekitar 6.000 responden.

Sebagian besar peserta studi berasal dari Turki (13 persen), India (10%) dan Kolombia (9%). Sisanya berasal dari Mesir, Aljazair, Argentina, Meksiko, Rusia dan Filipina.

Populasi JermanIlustrasi - Populasi Jerman (Foto: dw.com/id - Sven Hoppe/dpa/picture alliance)

Berbahasa Jerman dan berkualifikasi tinggi

Menurut hasil riset, sebagian besar peserta studi "tergolong berkualifikasi tinggi, dengan 75 persen mengaku lulusan perguruan tinggi dan sepertiga di antaranya memiliki gelar master atau doktor. Mayoritas peserta, 60 persen, memiliki kemampuan dasar bahasa Jerman dan sepertiga berkemampuan baik."

"Jerman tetap dianggap sebagai negara tujuan yang menarik bagi tenaga kerja berkualifikasi tinggi di luar negeri," begitu kesimpulan studi. Namun, kebanyakan mengeluhkan masa pemrosesan visa yang terlalu lama. Di Turki, sebanyak 30 persen responden mengaku meendapat pengalaman "buruk" atau "sangat buruk" ketika berurusan dengan sistem keimigrasian Jerman. Di Aljazair, jumlahnya 21 persen.

Dalam tempo dua belas bulan antara kedua fase wawancara, hanya sekitar lima persen responden yang berhasil tiba di Jerman. Mereka adalah peserta yang memiliki koneksi dan kemampuan bahasa Jerman yang baik. Separuh responden mendapat upah di atas 4.000 Euro brutto per bulan, 13 persen mendapat 6.000 Euro dan sepuluh persen kurang dari 2.000 Euro.

Sebagian besar (59 persen) mengaku "cukup puas" atau "sangat puas" dengan kehidupan di Jerman. Pengalaman berurusan dengan petugas keimigrasian sebaliknya dinilai "kurang memuaskan" atau "tidak memuaskan" oleh 40 persen responden. Jumlah serupa juga mengaku tidak puas dengan situasi keuangan atau pendapatannya.

presiden Jerman di VietnamPresiden Jerman Frank-Walter Steinmeier disambut hangat di Ho-Chi-Minh City, Vietnam (Foto: dw.com/id - Bernd von Jutrczenka/dpa/picture alliance)

Marak rasisme dan diskriminasi

Kekhawatiran terbesar peserta studi adalah menjadi korban diskriminasi dan rasisme. Tindak rasialis memang menjadi kenyataan pahit yang harus dialami mereka yang berhasil tiba di Jerman.

"Di antara yang berhasil datang ke Jerman, lebih dari separuhnya mengaku didiskriminasi ketika ingin menyewa apartemen atau rumah. Hampir 40 persen responden melaporkan pengalaman diskriminasi dan rasisme di toko-toko, restoran atau di ruang publik," kata Thomas Liebig. "Jumlah tersebut terlampau tinggi," tegasnya.

OECD sebabnya merekomendasikan kepada pemerintah Jerman agar menambah tenaga layanan visa di kedutaan dan keimigrasian. Selain itu, layanan pelajaran Bahasa Jerman di luar negeri juga selayaknya diperluas. Rasisme dan diskriminasi dinilai kian mendesak untuk ditanggulangi.

Menurut laporan migrasi OECD, setidaknya separuh orang asing yang menetap di Jerman berasal dari negara non Uni Eropa. Kelompok kedua terbesar merupakan pengungsi (21 persen), disusul anggota keluarga yang pindah mengikuti kerabatnya di Jerman (15 persen). Adapun tenaga kerja asing hanya mewakili 14 persen alias kelompok terkecil. (rzn/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Rencana AfD Usir Jutaan Migran dari Jerman Picu Debat Sengit
Kelompok ultra kanan dan Neonazi di Jerman dilaporkan melakukan pertemuan membahas rencana deportasi massal jutaan migran
0
Riset Tunjukkan Rasisme Hambat Tenaga Kerja Asing di Jerman
Ketika demografi kian menua dan sebagian angkatan kerja terampil memasuki usia pensiun, perekonomian Jerman menuntut migrasi tenaga kerja asing