Apakah Anak-anak Bahagia Berada di Sekolah?

Apakah anak-anak bahagia berada di sekolah? Apa yang terjadi dengannya selama di sekolah? Sebuah refleksi di Hari Pendidikan Nasional.
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 2/5/2018) - Apakah anak-anak bahagia berada di sekolah? Apa yang terjadi dengannya selama di sekolah? Sebuah refleksi di Hari Pendidikan Nasional.

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan sekolah belum menjadi tempat yang aman bagi anak.

"Sekolah belum menjadi tempat yang aman bagi anak, karena masih banyak terjadi kasus yang mencoreng dunia pendidikan, mulai dari kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis sampai kekerasan seksual di lingkungan sekolah," ujar Retno di Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menyebutkan sebanyak 84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah, kemudian 45 persen siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya.

Selanjutnya 75 persen siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah, 22 persen siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, dan 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah.

Kemudian, berdasarkan data KPAI dalam tri semester pertama 2018, pengaduan di KPAI juga didominasi oleh kekerasan fisik dan anak korban kebijakan (72 persen), sedangkan kekerasan psikis (9 persen), kekerasan pemerasan (empat persen), dan kekerasan seksual (2 persen).

Selain itu, kasus kekerasan seksual oleh guru terhadap peserta didik yang viral di media, meski tidak dilaporkan langsung ke KPAI, tetapi KPAI tetap melakukan pengawasan langsung mencapai 13 persen kasus.

Retno menambahkan terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru terhadap anak didiknya menjadi tren awal 2018.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik ternyata justru bisa menjadi tempat yang membahayakan anak-anak," cetus dia.

Guru sebagai pendidik yang mestinya menjadi pelindung bagi anak, justru bisa menjadi oknum yang membahayakan anak-anak.

Oleh sebab itu, KPAI mendorong KemenPPPA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) bersinergi menciptakan sekolah aman dan nyaman bagi warga sekolah melalui program Sekolah Ramah Anak (SRA).

Program tersebut, kata dia, jangan hanya dipahami sebatas sekolah aman dari kekerasan.

"SRA sesungguhnya adalah sekolah yang aman, nyaman dan bermartabat untuk mengantarkan anak-anak Indonesia yang berkualitas menjadi generasi penerus bangsa yang andal," cetus dia.

Dia mengatakan SRA tidak sekadar nol kekerasan, tetapi sekolah yang mendeklarasikan sebagai Sekolah Ramah Anak harus memiliki kantin yang sehat.

Selama ini, lanjutnya, jajanan di sekolah didominasi oleh karbohidrat, makanan yang mengadung pemanis, penyedap, dan pengawet. Jarang kantin sekolah menyediakan buah dan sayur. Padahal anak dalam tumbuh kembangnya sangat membutuhkan makanan yang sehat dan gizi yang seimbang.

Selain itu dia mengatakan sekolah yang mengikrarkan diri sebagai SRA juga wajib menciptakan lingkungan sekolah yang aman secara fisik, asri dan hijau, memiliki jalur evakuasi bencana, bebas asap rokok, bebas narkoba, dan memiliki nomor pengaduan jika siswa mengalami kekerasan dan ketidaknyamanan lain saat berada di sekolah.

Program SRA, katanya, selama ini diartikan keliru, seolah hanya untuk kepentingan anak, padahal kondisi sekolah yang aman, nyaman, asri, sehat dan nir kekerasan adalah situasi dan kondisi yang akan berdampak positif bagi seluruh warga sekolah, termasuk kepala sekolah, guru dan petugas sekolah lainnya.

"Oleh karena itu para guru di berbagai sekolah seharusnya dibekali psikologi anak agar dapat memahami tumbuh kembang anak sesuai usianya. Juga harus diberi pelatihan manajemen kelas sehingga dapat mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan agresif, dan membangun disiplin positif dalam proses pembelajaran. Karena masih banyak guru yang cenderung mendisiplikan siswa dengan kekerasan, bukan dengan disiplin positif," kata dia.

Selain itu, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan ternyata belum dipahami oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan, padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas.

"Untuk itu, Kemdikbud harus lebih masif lagi dalam mensosialisasikan ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan," tegasnya. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyerukan Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 ini harus menjadi momentum mewujudkan sekolah ramah anak. (ant/af)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.