Untuk Indonesia

Ancaman Terberat Demokrasi

Ancaman terberat demokrasi. Jalan pertama adalah pemaksaan terhadap kelompok minoritas untuk ekstra hati-hati dalam melontarkan pernyataan yang bisa dikategorikan sebagai penistaan agama.
Polisi mengamankan seorang pemuda dari amukan massa saat aksi yang melibatkan dua kubu yang mendeklarasikan #2019 Ganti Presiden dan kubu yang menentang dan menyerukan cinta NKRI, di Jalan Indrapura, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (26/8/2018). Polisi membubarkan dua kelompok massa tersebut karena tidak berizin. (Foto: Ant/Didik Suhartono)

Sekelompok orang dalam gerombolan massa yang membakar rumah Meiliana tak peduli dengan fakta bahwa para tetangga Meiliana, yang salah satunya adalah penjual gas yang mudah terbakar, bisa terdampak oleh pembakaran itu.

Sebelum reformasi 1998, demokrasi di Tanah Air hanyalah sebatas utopia di bibir penguasa, dengan didukung kelembagaan semata tanpa diikuti praksis demokrasi yang substansial.

Pemilu sebagai salah satu jalan melahirkan pemimpin memang terselenggara. Namun sebelum itu, kemerdekaan berserikat yang di dalamnya termasuk kebebasan untuk mendirikan partai politik secara independen tak ditenggang.

Media massa serba ketakutan untuk memberitakan peristiwa yang oleh penguasa dinilai sensitif. Koran, tabloid, atau majalah yang nekat melanggar apa yang dikehendaki penguasa pastilah diberedel.

Pada saat itu ancaman terberat demokrasi datang dari penguasa yang represif, yang membatasi kemerdekaan berbicara dan berserikat.

Di era reformasi, setelah ancaman dari penguasa boleh dibilang sangat minim, demokrasi yang mengandaikan perlindungan terhadap kelompok minoritas mengalami rongrongan dari kelompok mayoritas, dalam arti massa yang memiliki kesamaan pandangan dan perilaku untuk memaksakan kehendak mereka menghadapi kasus-kasus yang melibatkan aspek rasial dan keagamaan.

Belum lama ini kasus rasial keagamaan yang melibatkan seorang warga di Tanjung Balai, Sumatera Utara, mewarnai wacana publik, setelah seorang ibu yang bernama Meiliana divonis penjara dengan tuduhan penistaan agama.

Peristiwa-peristiwa yang oleh bahasa hukum diberi label penistaan agama sebetulnya cukup simpel namun menjadi sangat kompleks setelah gerombolan massa dalam jumlah besar memaksakan diri untuk terlibat di dalamnya.

Psikologi massa dengan mudah tersulut oleh ajakan untuk berbuat destruktif. Nalar tertutup oleh emosi kemarahan.

Sekelompok orang dalam gerombolan massa yang membakar rumah Meiliana tak peduli dengan fakta bahwa para tetangga Meiliana, yang salah satunya adalah penjual gas yang mudah terbakar, bisa terdampak oleh pembakaran itu.

Semakin banyaknya isu kemarahan massa yang dipicu oleh perbuatan yang dirumuskan secara legal sebagai penistaan agama jelas kurang menguntungkan bagi prospek perkembangan demokrasi.

Ada dua jalan yang secara natural ditempuh oleh warga yang terlibat dalam perkara yang berpengaruh terhadap kemajuan demokrasi itu.

Jalan pertama adalah pemaksaan terhadap kelompok minoritas untuk ekstra hati-hati dalam melontarkan pernyataan yang bisa dikategorikan sebagai penistaan agama.

Jalan kedua, yang tampaknya berpotensi untuk mempercepat kemajuan demokrasi, adalah penumbuhan sikap pemaaf, kesukarelaan untuk mengampuni siapa pun, termasuk yang berbeda keyakinan, yang melakukan pelecehan alias penistaan agama. Sikap pemaaf semacam ini sebetulnya bukan hal langka di komunitas agama-agama, entah agama yang dianut oleh mayoritas entah kepercayaan atau iman yang dipeluk oleh kalangan minoritas.

Namun, sikap pemaaf yang dengan mantap dipraktikkan oleh mereka umumnya tak terkait dengan kepentingan politik. Itu sebabnya, pembedaan antara agama yang bermuatan spiritualitas dan yang bermuatan kepentingan politik cukup penting.

Pada titik inilah apa yang pernah digaungkan tokoh Muslim Nurcholish Madjid (mendiang) bahwa Islam yes, partai Islam no punya relevansi hingga kini.

Pertanyaan yang perlu diajukan terkait dengan fenomena mudahnya kemarahan kelompok massa tertentu adalah: faktor apakah yang melatarbelakangi maraknya amuk massa itu?

Merujuk pada teori yang disodorkan sejarawan politik Crane Brinton saat menelaah meletusnya revolusi Prancis, yang diuraikan dalam The Shaping of Modern Mind, bangkitnya kemarahan massa itu dipicu dua hal yang simultan: yakni kemiskinan dan pernyataan tokoh publik.

Apakah teori Brinton itu masih berlaku untuk konteks masa kini, terutama untuk kasus-kasus kemarahan massa yang berlangsung belakangan di Tanah Air, agaknya perlu dibuktikan lewat penelitian sosiologis.

Secara umum, kemiskinan memang dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sering dikorelasikan dengan kasus-kasus politik yang mencederai demokrasi. Ingat tentang teori bahwa salah satu yang menyuburkan komunisme adalah tingkat kemiskinan parah warga? Jika demikian masalahnya, demokrasi yang mengandaikan toleransi untuk mendukung perkembangannya, tugas pemerintahlah untuk mengatasi problem kemiskinan itu.

Yang ironis, sering kali kaum oposisi di banyak negara yang warganya banyak dirundung kemiskinan, justru mengeksplotasi fenomena sosial ini sebagai jalan meraih kekuasaan.

Pada momentum itulah berbagai jargon kampanye ditiupkan untuk mempersuasi massa.

Di beberapa negara bagian di India, sebagaimana pernah diulas oleh Majalah Time, adanya politikus yang memerintah dengan memanfaatkan sentimen Hiduisme sebagai kelompok mayoritas bahkan menjadi kelaziman.

Potensi ancaman dari kelompok mayoritas intoleran terhadap demokrasi di kawasan-kawasan yang menjadi kantong kemiskinan tampaknya hanya bisa diperkecil atau diminimalisasi lewat program-program kesejahteraan sosial, tak bisa hanya lewat imbauan moral spiritual kaum elite.

Dalam pesan profetik di kalangan Muslim bahwa kemiskinan yang bisa membawa umat ke dalam kekufuran tampaknya bolehlah dibaca atau ditafsir dalam konteks demokrasi ini.

Membakar rumah warga yang dituduh menista agama, membakar rumah ibadah kelompok yang dianggap musuh, atau melukai kaum yang lemah bukanlah bagian dari tuntutan religius.

Semakin kentara bahwa demokrasi juga menghendaki warga yang pemaaf terutama ketika menyangkut isu keagamaan yang sesungguhnya lebih banyak bersentuhan dengan perkara privat.

Lebih dari itu, sikap pemaaf juga harus dimaknai sebagai perilaku untuk tidak memperpanjang perkara yang dirumuskan sebagai penistaan agama ke wilayah politik dan hukum.

Bila imperatif semacam itu sulit diwujudkan, salah satu yang paling efektif adalah menghapus pasal-pasal yang berkaitan dengan frasa yang menjadi pasal karet dan mudah diselewengkan untuk kepentingan politis atau kelompok tertentu itu. (M Sunyoto/ant)

Berita terkait