Surabaya - Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final. Itulah kenapa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ingin mengganti Pancasila dengan paham komunis dilarang. Begitu pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara khilafah, juga dilarang.
Walaupun sudah dilarang, dua kelompok itu disebut-sebut masih hidup, memiliki kekuatan dan menjadi ancaman bagi NKRI. Di antara dua kelompok itu, mana lebih berbahaya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Tagar menemui Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, usai audiensi penanganan pengungsi Wamena dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat, 5 Oktober 2019.
KH Marzuki Mustamar menjelaskan perbandingan ancaman antara gerakan PKI dan kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah.
Marzuki bercerita ketika dirinya masuk ke perkampungannya di Malang, Jawa Timur, pada 1994, hanya ada 20 orang yang salat Jumat. Sementara sisanya banyak warga kena wajib lapor. Kartu identitas orang tersebut diberi tanda ex (PKI). Namun hal itu menjadi pantangan bagi NU untuk menyakitinya. NU memberi bimbingan kepada mereka untuk belajar ibadah sesuai agama Islam.
Agamanya apa pun, kalau dia menentang negara itu membahayakan masa depan negara.
Kiai-kiai NU di kampung dengan sabar, pelan-pelan berusaha melupakan kejadian masa lalu untuk menghindari perpecahan, dengan mengajak tahlilan, tasyakuran. Bahkan anak-anak ex PKI itu digratiskan masuk pondok pesantren.
"Hari ini hampir mayoritas mereka sudah mau salat. Jadi bagi kami menyelesaikan eks PKI dengan membina daripada menvonis sana-sini dan merasa paling Islam, paling iman, sementara yang lain dituduh PKI," ujar Marzuki di Surabaya, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Upaya memberikan kasih sayang kepada eks PKI dengan membantu mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Kiai merangkul warga muslim yang belum salat diajak salat. Sementara yang kufur dikuatkan imannya. Upaya tersebut lama kelamaan membuahkan hasil. Sebagian besar mau ikut ajaran Islam. Minimal mereka tidak membenci Islam bagi yang tidak mau mengikuti ajakan kiai.
"Kuncinya, dekati, sayangi, rangkul, jangan disakiti hatinya," ujar Marzuki.
Marzuki mengatakan sikap NU dalam membimbing eks-PKI adalah meniru cara Rasulullah menangani orang-orang kafir yang pernah memeranginya dalam perang Uhud. Rasulullah tidak menyakiti orang-orang kafir dan mengungkit masa lalunya.
"Masalah mereka ada yang mau masuk Islam atau tetap kafir itu hak mereka. Seperti yang diharapkan Nabi Muhammad terhadap kaum kafir adalah tetap bersama," tuturnya.
Sementara ketika disinggung adanya gerakan yang ingin menjadikan Indonesia negara khilafah, apakah sama bahayanya dengan PKI zaman dulu? KH Marzuki mengatakan itu ibarat maling teriak maling.
"Artinya sesuatu yang sebetulnya tidak punya kekuatan dituduh-tuduh akan membahayakan negara, tapi yang teriak-teriak itu kelompok yang justru malah membahayakan negara," tutur Marzuki.
Meski demikian, Marzuki tidak berani mengatakan PKI sudah tidak memiliki kekuatan. Bagi NU yang terpenting adalah mengajak umat muslim yang belum salat untuk salat. Begitu juga halnya yang belum mau mencintai NKRI diajak belajar menyenangi bangsanya sendiri.
"Bagi kami orang non-muslim, asal tidak memusuhi Islam tidak membahayakan Islam. Dan agamanya apa pun, kalau dia menentang negara itu membahayakan masa depan negara," tutur KH Marzuki Mustamar. []
Baca juga: