Anak NTB, Satu Jam Menembus Hutan Menuju Sekolah

Tiga anak itu satu jam menembus hutan di kawasan NTB demi mencapai sekolahnya. Napas mereka terengah-engah, keringat bercucuran.
Ilustrasi - Hutan. (Foto: Pixabay)

Mataram - I Made Sastrawan seorang anak berusia 11 tahun, kelas lima sekolah dasar. Ia berjalan di antara pepohonan di tengah hutan, napasnya terengah-engah, tangan mungilnya mengelap keringat yang membasahi wajah. 

Ia tidak sendirian. Siang itu Jumat 22 Maret 2019 ia bersama dua kawan, I Nyoman Sastrawijaya dan I Nyoman Angga Nugraha.

Mereka berjalan beriringan dengan sepatu sama warna hitam terbuat dari bahan kanvas, kotor bercampur lumpur. 

"Saya berangkat dari rumah jam enam karena takut kesiangan," ucap I Made Sastrawan yang saat ini duduk di bangku kelas 5 SDN I Sajang.

Saya kepingin sekolah terus, bahkan sampai sarjana.

Ia dan dua kawannya tinggal di Kampung Selagolong, Desa Sajang, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, di tengah hutan kaki Gunung Rinjani. 

Ia Made Sastrawan mengaku takut dimarahi guru kalau terlambat, namun keadaan yang membuatnya seperti itu. 

"Tapi guru sudah tahu kok kondisi kami," ujarnya.

I Made Sastrawijaya bercerita, setiap hari ia menunggu teman-temannya untuk berangkat dan pulang sekolah, agar ketika melintasi jalan setapak ada teman untuk berbicara.

"Saya selalu pulang dan berangkat sekolah bersama-sama," katanya.

Ada belasan murid SDN 1 Sajang yang berasal dari Kampung Selagolong tersebut. Terkadang ketika pergi ke sekolah, mereka berjalan bersama-sama meniti jalan setapak membelah kepekatan hutan.

Sorot mata mereka penuh optimis.

"Saya harus jadi orang pintar," kata I Made Sastrawan diamini dua temannya.

Bagi kaki kecil para bocah itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke sekolah. Dari rumah jam enak, sampai sekolah jam tujuh. Di sini waktu sekolah dimulai pukul 07.00 WITA.

Jarak Tiga Kilometer

Jarak antara sekolah dan rumah tinggalnya sekitar tiga kilometer. Jarak itu harus ditempuh dengan melewati jalanan setapak dengan kontur jalan mendaki menurun mengikuti urat pinggiran punggungan bukit.

Hutan di kiri dan kanan sudah menjadi teman sehari-hari, serta melewati satu sungai besar selebar sekitar 50 meter. Melalui jembatan swadaya warga Selagolong yang terbilang rawan pada musim hujan, sering terjadi banjir bandang.

Sungai Besar, mereka menyebutnya. Beberapa tahun lalu banjir bandang dari sungai itu pernah menerjang warga di wilayah Sambalia yang berada di dekat pantai Lombok Timur. Bahkan pernah juga warga di Kampung Selagolong tidak bisa ke luar dari kawasan pemukimannya karena terjebak banjir bandang.

Jika hujan sedang turun deras, mereka terkadang tidak sekolah. Atau sebaliknya jika memaksakan diri, dari rumah mereka membuka sepatu dan dimasukkan dalam kantong plastik. Kemudian beberapa meter menjelang pintu gerbang sekolah, dikenakan kembali sepatunya.

Satu jam berangkat, satu jam pulang. Anak-anak itu berjalan kaki selama dua jam setiap hari sekolah.

"Saya kepingin sekolah terus, bahkan sampai sarjana," ketiganya kompak menjawab saat ditanya cita-cita.

Siang itu saat melintasi rumah penduduk, tiga anak itu ditawari minum oleh seorang warga. I Made Sastrawan dan dua temannya tampak bersemangat. Mereka menusukan sedotan kecil ke plastik penutup gelas mineral. 

Glek… glek… glek..., minuman itu seolah menjadi penyemangat untuk melanjutkan perjalanan.

Mereka berlalu dan siap menembus hutan menuju rumah.

Warga Bali di Lombok

I Wayan Suasana adalah warga Selagolong yang anaknya bersekolah di SDN 1 Sajang. Ia mengharapkan adanya jalan permanen menggunakan beton sepanjang jalan dari jalan raya kabupaten ke tempat tinggalnya.

Ia mengatakan, jalan permanen itu setidaknya bisa membantu anak-anak sekolah serta membawa hasil panen dari kebun.

Ia menceritakan awal mula Kampung Selagolong berdiri pada 1997 saat warga dari Bangli, Bali, merantau mencari perladangan baru ke Lombok.

Warga Bali perantauan kemudian membeli sebidang tanah hingga akhirnya sebanyak 31 kepala keluarga (KK) atau 112 jiwa tinggal di sini. Rumah masing-masing keluarga berjarak antara 100 sampai 150 meter.

Mereka berkebun kopi Arabika, pisang dan hasil bumi lain.

Siapa menyangka, berdasar ceritanya, ternyata di kampung ini banyak anak yang melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi, bahkan ada yang belajar ke Jepang.

Kepala Desa Sajang, Lalu Kanahan dilansir Antara mengatakan sebenarnya pihaknya sudah membuka jalan setapak ke kampung Selagolong hingga bisa memangkas waktu perjalanan ke sekolah.

"Sebelumnya anak-anak berangkat ke sekolah sejak pukul 05.30," katanya.

Ia mengatakan pihaknya terus berupaya membuat jalan yang lebih baik untuk membantu warga Selagolong terutama anak-anak sekolah. [] 

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.