AMAN Tano Batak Sebut KLHK Tak Berpihak pada Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum berpihak pada masyarakat adat.
Aksi masyarakat adat di Polda Sumut menuntut kepolisian menangkap Humas PT TPL yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, 8 September 2020. (Foto: Tagar/Ist)

Medan - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di bawah Menteri Siti Nurbaya belum berpihak pada masyarakat adat.

Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak menyebut, jika terjadi konflik masyarakat adat dengan korporasi seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kawasan Danau Toba, KLHK selalu melindungi pemegang konsesi, dengan dalih perusahaan telah mendapatkan izin dari pemerintah.

Roganda menyebut, guna menghindari dan mengeliminir konflik masyarakat adat dengan korporasi, KLHK melalui kewenangan yang dimilikinya sebetulnya bisa saja mengeluarkan tanah atau hutan adat dari konsesi yang diberikan kepada korporasi.

"Seharusnya KLHK dengan kewenangan yang dia miliki, mengeluarkan wilayah adat dari konsesi perusahaan. Agar konflik antara masyarakat adat dengan pemilik konsesi tidak berkepanjangan. Setidaknya pemilik konsesi tidak mengeluarkan biaya besar untuk menghentikan perjuangan masyarakat adat," kata dia ketika dihubungi, Senin, 21 September 2020.

Lebih jauh kata Roganda, selama ini masyarakat adat sangat rentan terjerat hukum. Apalagi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Perusakan Hutan.

Kemudian dituduh menduduki kawasan hutan negara dan merusak tanaman milik perusahaan tanpa izin

UU ini, kata dia, lebih banyak menyasar masyarakat adat termasuk di Tano Batak. Sampai saat ini data di AMAN Tano Batak sudah ada 15 orang warga adat dikriminalisasi karena aktivitas bertani di wilayah adatnya.

"Mereka (masyarakat adat) tidak tahu dan tidak pernah diminta persetujuan bahwa di atas wilayah adatnya secara sepihak ditunjuk sebagai hutan negara termasuk konsesi PT Tob Pulp Lestari," ungkapnya.

Dikatakan, kepastian hukum atas keberadaan wilayah adat sejauh ini masih diabaikan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah daerah masih lambat untuk mengakui dan melindungi wilayah adat (hutan adat).

"Kami sangat berharap sekali agar RUU terkait masyarakat adat segera disahkan menjadi UU. Dan benar-benar mengakomodir kepentingan masyarakat adat dalam RUU tersebut," katanya.

Dia kemudian mengungkap kejadian di Kabupaten Simalungun, di mana masyarakat adat Buntu Pangaturan, Sihaporas terlbat konflik dengan petugas PT TPL.

Jangan sampai salah sasaran pada rakyat kecil yang sekadar bertahan hidup di sekitar hutan, dengan dalih undang-undang dikriminalisasi

Warga yang melaporkan pihak perusahaan kepada aparat penegak hukum atas aktivitasnya, seperti pencemaran lingkungan (air bersih) akibat penggunaan racun berbahaya dan limbah di wilayah adat, tidak pernah diseriusi oleh apara penegak hukum.

Tetapi sebaliknya, jika pihak perusahaan yang melaporkan masyarakat adat atas tuduhan perusakan, dan lainnya, sangat cepat sekali direspons oleh aparat.

"Padahal masyarakat adat hanya bertani di atas wilayah adatnya. Kemudian dituduh menduduki kawasan hutan negara dan merusak tanaman milik perusahaan tanpa izin," tukasnya.

Kejahatan Kehutanan

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin meminta pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK agar semakin memfokuskan penegakan hukum kejahatan kehutanan yang dilakukan secara terorganisir dan terstruktur.

Berdasarkan data yang dipresentasikan KLHK, terdapat 155 perkara pidana perorangan, 25 perkara pidana kelompok masyarakat dan 20 pidana badan usaha merupakan bukti nyata bahwa kinerja penegakan kejahatan kehutanan masih belum tepat sasaran.

"Kami bisa mengurai Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sangat jelas ruh penegakan hukum pada undang-undang ini untuk mengatasi kejahatan hutan yang terstruktur dan terorganisir yang ditegaskan pada pasal 1 angka 6," kata Akmal dalam siaran pers, Rabu, 9 September 2020 di Jakarta.

Akmal menambahkan, perlu ada evaluasi besar-besaran pada implementasi kinerja KLHK pada bidang penegakan hukum kejahatan kehutanan ini. 

"Jangan sampai salah sasaran pada rakyat kecil yang sekadar bertahan hidup di sekitar hutan, dengan dalih undang-undang dikriminalisasi," katanya. 

Padahal kejahatan yang terorganisir, ujarnya, telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang begitu besar hingga skala negara.

Ia memberikan contoh, salah satu kejahatan besar yang merusak lingkungan skala negara adalah pembakaran hutan, lahan dan illegal logging. 

Kejahatan model seperti ini sangat kecil kemungkinannya dilakukan perorangan. 

Bukan saja merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara. Pada skala makro menimbulkan kerusakan lingkungan hidup secara global atau dunia.[]

Berita terkait
KLHK Dituding Tidak Melindungi Kawasan Hutan dan Masyarakat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilai tidak pro kepentingan melindungi hutan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kejahatan Kehutanan, KLHK Masih Menyasar Rakyat Kecil
Penegakan hukum pelaku kejahatan kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai lebih menyasar rakyat kecil.
Mana Kajian KLHK pada Program Food Estate di Humbahas
DPR RI meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya melakukan kajian dampak lingkungan program food estate di Humbahas.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.