Jakarta- Terkait penegakan hukum pelaku kejahatan kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di bawah Menteri Siti Nurbaya dinilai masih lebih menyasar kelompok kecil masyarakat di kawasan hutan.
Terungkap lewat data yang dipresentasikan KLHK dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada Rabu, 9 September 2020 kemarin.
KLHK mengungkap terdapat 155 perkara pidana perorangan, 25 perkara pidana kelompok masyarakat dan 20 pidana badan usaha yang tengah ditangani.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati kepada Tagar, Kamis, 17 September 2020 menyebut, bahwa kondisi ini sudah sejak lama menjadi kritik masyarakat sipil kepada pemerintah terkait penanganan kejahatan kehutanan.
"Di mana aktor-aktor korporasi sering tidak terjerat hukum," kata wanita yang kerap disapa Yaya tersebut.
Sementara di sisi lain, imbuh Yaya, proses-proses pengakuan akses serta hak masyarakat lokal di dalam kawasan hutan tidak berjalan dengan kecepatan yang diinginkan.
Sehingga masih banyak warga serta kelompok masyarakat yang terkena jerat hukum karena dianggap melakukan aktivitas ilegal, padahal mereka berdiam sudah sejak lama di dalam kawasan hutan tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin, merujuk data yang disampaikan KLHK dalam rapat dengar pendapat, hal ini merupakan bukti nyata bahwa kinerja penegakan kejahatan kehutanan masih belum tepat sasaran.
Dia meminta pemerintah melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK fokus pada kejahatan kehutanan yang dilakukan secara terorganisir dan terstruktur.
"Kami bisa mengurai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sangat jelas ruh penegakan hukum pada undang-undang ini untuk mengatasi kejahatan hutan yang terstruktur dan terorganisir yang ditegaskan pada Pasal 1 Angka 6," kata Akmal, seperti dikutip dari dpr.go.id.
Penegakan hukum di waktu-waktu berikutnya lebih menyasar jaringan-jaringan terorganisir yang telah membuat hutan dan satwa Indonesia menjadi rusak dan punah
Akmal menegaskan, perlu ada evaluasi besar-besaran pada implementasi kinerja KLHK pada bidang penegakan hukum kejahatan kehutanan ini.
Jangan sampai salah sasaran pada rakyat kecil yang sekadar bertahan hidup di sekitar hutan, dengan dalih undang-undang dikriminalisasi.
Padahal kejahatan yang terorganisir telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang begitu besar hingga skala negara.
Ia memberikan contoh, salah satu kejahatan besar yang merusak lingkungan skala negara adalah pembakaran hutan, lahan dan illegal logging.
Kejahatan model seperti ini sangat kecil kemungkinannya dilakukan perorangan. Bukan saja merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara. Pada skala makro menimbulkan kerusakan lingkungan hidup secara global atau dunia.
Politikus PKS asal Sulawesi Selatan ini meminta kepada pemerintah agar upaya memberantas tindak pidana di bidang kehutanan terus dilakukan guna mereduksi dampak negatif yang timbul.
"Saya melihat ada beberapa kendala pada eksekusi penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan. Salah satu faktor penghambat adalah faktor yuridis maupun non yuridis. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut perlu mendapat perhatian pemerintah agar penegakan hukum di bidang kehutanan pada masa mendatang dapat berjalan dengan baik," terang Akmal.
Dia menegaskan kepada pemerintah, jangan ada lagi penegakan hukum yang menyasar rakyat kecil sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan ini perlu pembinaan yang bahkan nantinya akan menjadi garda terdepan melindungi hutan.
"Saya berharap, penegakan hukum di waktu-waktu berikutnya lebih menyasar jaringan-jaringan terorganisir yang telah membuat hutan dan satwa Indonesia menjadi rusak dan punah. Jangan salah sasaran. Rakyat kecil yang mestinya dilindungi jangan sampai ada yang terkriminalisasi," tutur dia.[]