Akankah PPP Terjungkal dalam Pemilu 2019 Setelah Romahurmuziy Ditangkap KPK?

Akankah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terjungkal dalam Pemilu 2019 setelah Romahurmuziy atau Rommy ditangkap KPK?
Pengendara motor melintas di depan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berada di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Jumat (15/3/2019). Suasana di kantor DPP PPP tampak sepi pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Umum PPP Romahurmuziy oleh tim satuan tugas penindakan KPK, di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Jakarta, (Tagar 17/3/2019) - Peneliti dari Seven Strategic Studies Girindra Sandino memprediksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan terjungkal dalam Pemilu 2019. Suara PPP akan berpindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Girindra mengatakan hal itu merupakan risiko dari tertangkapnya Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Rommy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rommy ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Jumat (15/3) di Surabaya Jawa Timur.

Ia kini menjadi tahanan KPK, berstatus tersangka kasus dugaan suap terkait seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama.

"Rommy itu kader muda yang berpengaruh di partainya dan popularitasnya cukup lumayan ada, tapi sayangnya minim elektabilitas di mata pemilih. PPP masih memiliki basis tradisional sejak zaman Orba. Namun, situasi kondisi politik berubah. Suara PPP ini akan berpindah ke PKB," ujar Girindra Sandino kepada Tagar News dalam wawancara tertulis, Sabtu malam (16/3).

"Sebagaimana diketahui sejak Fusi Partai oleh Soeharto, sebagian banyak simpatisan Partai NU. Dulu Partai NU merupakan partai besar nomor 3 dari 170 partai. Itu pada pemilu pertama 1955 dengan raihan suara 45 kursi atau 22,3 persen. Pasca reformasi Partai NU berubah menjadi PKB, dan PPP kehilangan basis tradisionalnya. Dengan Parliamentary Threshold 4 persen dan kasus Rommy, sulit untuk PPP lolos ke Parlemen atau terpental menjadi partai gurem," jelas Girindra.

Sementara itu, kader PPP Provinsi Gorontalo optimis kasus yang menimpa Rommy tidak akan membuat PPP terjungkal dalam Pemilu 2019.

"Kami tetap bekerja normal sebab kerja-kerja partai memang telah terencana dan seluruh kader wajib mencapai target-target pemenangan yang telah disusun," ujar koordinator pemenangan Pemilu PPP wilayah Gorontalo Utara, Alfian Pomalingo, di Gorontalo, Sabtu (16/3) dilansir kantor berita Antara.

Anggota DPRD Provinsi Gorontalo itu mengaku, tidak ingin menanggapi kasus yang dihadapi Romahurmuziy lebih dalam.

"Ini musibah yang perlu disikapi dengan cerdas dan kami di daerah meyakini musibah ini dapat diatasi dengan kebersamaan dan kerja keras, termasuk tetap semangat memenangkan Pemilu 2019," ujar Alfian.

Ia pun meminta, agar seluruh kader PPP di Gorontalo tetap solid dan bekerja keras untuk meraih kemenangan pada Pemilu 2019 termasuk memenangkan calon presiden dan calon wakil presiden 01, yang kemenangannya diyakini signifikan akan diraih.

Kader PPP lainnya yang juga menjabat anggota DPRD Gorontalo Utara, Matran Lasunte mengatakan musibah yang dialami Romahurmuziy merupakan cobaan yang harus dihadapi PPP di tahun politik ini.

Namun kata ia, paling tidak PPP merasa beruntung sebab musibah itu tidak terlalu berpengaruh pada target-target pemenangan.

Mengingat partainya memiliki struktur kepengurusan yang sangat kuat dan kader-kader PPP sudah teruji, termasuk dalam upaya memenangkan Pemilu.

Ia bahkan optimistis, jumlah kursi PPP di DPRD Kabupaten dan Provinsi Gorontalo akan bertambah, termasuk optimistis mampu meraih kursi di DPR RI dari Gorontalo.

Mengenal PPP Lebih Dalam

Partai Persatuan Pembangunan PPP adalah sebuah partai politik di Indonesia. Pada saat pendeklarasiannya pada tanggal 5 Januari 1973 partai ini merupakan hasil gabungan dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Parmusi. Ketua sementara saat itu adalah Mohammad Syafa'at Mintaredja. Penggabungan keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.

Pada 5 Juli 1966, Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengesahkan Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Isi ketetapan itu berupa perintah sederhana dan ringkas: "Pemerintah bersama-sama DPR-GR segera membuat Undang-undang jang mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan jang menudju pada penjederhanaan."

Penyederhanaan organisasi politik dinilai sebagai jawaban atas ketidakstabilan politik Indonesia yang berlangsung pada 1950-an. Herbert Feith menuliskan dalam Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) bahwa demokrasi parlementer dengan sistem multipartai dianggap sebagai suatu kegagalan dan banyak orang menganggapnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Satu kelemahannya yang sering tampak adalah ganti kabinet akibat tidak mampu mengatasi tekanan politik yang dilancarkan partai-partai. Dimana dari tahun 1950 hingga 1959 kabinet berganti sebanyak tujuh kali. Lhasil, dukungan masyarakat kepada sistem demokrasi parlementer pun turun.

Mengatasi masalah besar itu, Presiden Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin sejak 1959, dan pada tahun 1960 terjadi pemangkasan partai, dari 40 hingga akhirnya menjadi 10 partai saja. Partai Masyumi dan PSI menjadi bagian partai yang dibubarkan akibat terlibat Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Ketiadaan Masyumi membuat penyuaraan aspirasi kelompok Islam lewat partai berkurang. Dimana pada saat itu partai berhaluan Islam hanya Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Tarbiah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Mengikuti Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966, Anasir Masyumi mereorganisasi diri pada 1968 dengan membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Empat partai Islam ini yang kemudian ikut pemilu perdana di era Orde Baru pada 1971, dan dan pada 5 Januari 1973 lahir Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang meproklamirkan diri sebagai "Rumah Besar Partai Islam".

Terdapat lima tokoh yang sangat berperan penting dalam proses deklarasi partai ini yaitu ketua umum PB Nadhalatul Ulama Idham Chalid, ketua umum partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Mohammad Syafaat Mintaredja, ketua umum PSII, Anwar Tjokroaminoto, ketua umum partai Islam Perti Rusli Hali dan ketua kelompok persatuan pembangunan di Fraksi DPR Mayskur.

Sejarah mencatat pada orde baru, partai PPP dengan terpaksa berpindah haluan dari partai Islam menjadi partai berasas Negara Pancasila. Logo yang digunakan adalah lambang Ka'bah yang dianggap menjadi simbol kuat.

Mengusung ideologi Islam PPP menyatakan dukungan untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang dimuat pada pasal 5 anggaran dasar PPP dan ditetapkan pada Muktar VII Bandung 2001.

Dalam pasal itu menegaskan bahwa tujuan partai ini berdiri adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dibawah ridho Allah Subhanahu Wata'ala.

Ketua Umum dari Zaman ke Zaman

Ketua Umum pertama PPP adalah Mohammad Syafaat Mintadiredja seorang politisi dan pejabat pemerintahan yang berkiprah terutama pada masa Orde Baru. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penyelenggaraan Hubungan antara Lembaga Tinggi Negara dan Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan I dan II, serta Duta Besar Indonesia di Turki pada masa pemerintahan Presiden Suharto.

Dia juga pernah menjadi pimpinan partai politik Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan Partai Persatuan Pembangunan serta tergabung dalam beberapa organisasi diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Muhammadiyah.

Setelah dia kemudian diisi oleh Djaelani Naro, yang lebih populer dengan nama HJ. Naro atau John Naro yang lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 3 Januari 1929 adalah seorang mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Indonesia.

Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR/MPR selama dua periode, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru.

Politisi itu kemudian digantikan oleh Ismail Hasan Metareum. Pria yang lahir di Sigli, Aceh, Indonesia pada 4 April 1929, dan kemudian meninggal di Jakarta, Indonesia pada usia 75 tahun. Dia adalah mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan periode 1989—1998. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR/MPR.

Partai PPP kemudian dipimpin oleh  Dr. H. Hamzah Haz, M.A., Ph.D. Pria yang lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940. Dia adalah Wakil Presiden Republik Indonesia kesembilan yang menjabat sejak tahun 2001 bersamaan dengan naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam kepartaian, Hamzah Haz menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1998–2007.

Lanjut dipimpin oleh Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si, lahir di Jakarta pada 19 September 1956. Dia adalah Menteri Agama Indonesia dari 22 Oktober 2009 hingga 28 Mei 2014. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada Kabinet Indonesia Bersatu.

Pada Februari 2007, Suryadharma terpilih sebagai Ketua Umum PPP dan menggantikan Hamzah Haz. Kepengurusan periode kepemimpinannya didampingi oleh Wakil Ketua Umum Chozin Chumaidy, Irgan Chirul Mahfiz (Sekretaris Jenderal), Suharso Monoarfa (Bendahara), Bachtiar Chamsyah (Ketua Majelis Pertimbangan Pusat), KH Maemoen Zubair (Ketua Majelis Syariah), dan Barlianta Harahap (Ketua Majelis Pakar).

Pada 23 Mei 2014 Suryadharma Ali dinyatakan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana haji. Menghadapi proses hukum yang menunggunya, Suryadharma Ali menyatakan mundur dari jabatannya pada Senin, 26 Mei 2014 dan resmi mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Mei 2014.

Pria yang lahir di Sleman, Yogyakarta 10 September 1974, Ir. H. Muchammad Romahurmuziy, M.T. Dia adalah anggota DPR RI periode 2014-2019 dari Partai Persatuan Pembangunan mewakili Jawa Tengah VII.

Ir. H.M Romahurmuziy, MT menjabat sebagai Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2011-2015 yang terpilih dalam Muktamar VII PPP tahun 2011, Romahurmuziy duduk sebagai Ketua Komisi IV DPR RI mewakili Fraksi PPP. Komisi IV membidangi masalah pertanian, perkebunan, kehutanan, pangan, kelautan, dan perikanan.

Pria yang kerap disapa Rommy itu adalah anak dari KH. Prof. Dr. M. Tolchah Mansoer, SH, yang merupakan pendiri IPNU (Ikatan Pelajar NU), anggota DPR-GR mewakili Partai NU DIY zaman Orde Lama dan Rois Syuriah PBNU 1984-1986. Romy juga cucu Menteri Agama ketujuh RI KH. Muhammad Wahib Wahab.

Pada Bulan Oktober 2014, Ir. H.M. Romahurmuziy, MT terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2014-2019 menggantikan Suryadharma Ali dalam Muktamar VIII PPP tahun 2014 di Surabaya. []

Baca juga:

Berita terkait