Oleh: Syaiful W. Harahap
Banjir di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) merupakan air permukaan dari Puncak yang dibawa Sungai Ciliwung. Banjir yang rutin melanda Jakarta merupakan konsekuensi dari letak Jakarta yang dialiri Sungai Ciliwung dari hulu di kawasan Puncak melewati Bogor dan Depok. Tapi, mengapa banjir besar baru terjadi belakangan ini?
Berdasarkan Kepress No 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur luas kawasan Bopunjur 52.470,14 hektar, yaitu di Kabupaten Bogor seluas 24.549 hektar dan di Kabupaten Cianjur 27.921 hektar.
1. DAS Ciliwung untuk Manjaga Konservasi Air Tanah
Daerah aliran sungai (DAS) Sungai Ciliwung merupakan daerah tangkapan hujan (catchment area) yang terdiri atas hutan lindung. Cataran Forest Watch Indonesia (FWI), kondisi hutan di DAS Ciliwung yang tersisa hanya 12 persen dari luas hutan kawasan DAS Ciliwung seluas 29.000 hektar. Kerusakan hutan juga terjadi pada kemiringan di atas 40% yang beralih fungsi sehingga tidak lagi jadi catchment area untuk menjaga fungsi hidrologi tanah.
Aliran Sungai Ciliwung dengan bantaran yang sekarang jadi permukiman warga (Foto: researchgate.net)
Aliran Sungai Ciliwung yang berawal dari kawasan Puncak melewati wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok sampai ke Jakarta sepanjang 120 km. Dari kawasan Bopunjur mengalir dua sungai yaitu Ciliwung dan Cikundul. Ciliwung dengan 12 anak sungainya bermuara ke Teluk Jakarta. Sedangkan Cikundul masuk ke Sungai Citarum yang bermuara di Waduk Cirata.
Kerusakan hutan terjadi karena alih fungsi lahan yang menyalahi aturan. Hutan DAS Ciliwung adalah hutan lindung sehingga tidak ada alasan untuk alih fungsi lahan. Sejak zaman Belanda kegiatan di DAS Ciliwung diamanatkan harus tetap jadi kawasan yang menjamin konservasi air dan tanah tetap berjalan alamiah. Kondisi ini diperlukan untuk menjamin ketersediaan air tanah dan air permukaan yang juga sebagai bagian dari penanggulangan banjir di sepanjang aliran Sungai Ciliwung.
Pemerintah sendiri sudah menjaga kawasan Puncak yang kemudian disebut Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) sebagai daerah tangkapan air hujan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 3 tentang Penertiban Baru Sepanjang Jalan antara Jakarta-Bogor-Cianjur. Perpres ini sebagai upaya untuk menjaga Bopunjur yang sangat strategis dari aspek ekonomi. Pemandangan alam yang indah dan iklim yang sejuk jadi tujuan liburan warga terutama dari Jakarta. Bopunjur juga merupakan jalur lalu lintas utama yang menghubungkan wilayah barat, seperti Banten dan Jakarta, ke kawasan Bandung dan sekitarnya.
Laju pembangunan menyebabkan alih fungsi lahan di kawasan Bopunjur merusak lingkungan karena hutan lindung jadi lahan pembangunan sektor permukiman, industri, pariwisata dan pertanian. Lahan yang dicaplok adalah lahan DAS Ciliwung yang merupakan hutan lindung.
Hulu Sungai Ciliwung di Telaga Saat, Puncak, Bogor, Jawa Barat. (Foto: asiangames.antaranews.com)
2. Cakupan Kawasan Bopunjur
Berdasarkan Keppres No 114 Tahun 1999, kawasan Bopunjur mencakup 22 kecamatan yaitu:
1. Kabupaten Bogor 14 kecamatan: Ciawi, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Sukaraja, Parung, Kemang, Gunung Sindur, Cisarua, Megamendung, Bojonggede, Ciseeng, Babakan Madang dan Ranca Bungur.
2. Kabupaten Cianjur 3 kecamatan: Cigenang, Pacet, dan Sukaresmi.
3. Kecamatan Depok 3 kecamatan: Cimanggis, Sawangan dan Limo.
4. Kabupaten Tanggerang 2 kecamatan: Ciputat dan Pamulang.
Kawasan Bopunjur tidak hanya dibatasi oleh batas administratif, tapi juga dibatasi kawasan DAS, yaitu: Ciliwung, Cisadane, Cidurian dan Kali Bekasi.
Alih fungsi lahan DAS Ciliwung yang merusak fungsi hutan lindung jadi penyebab erosi, banjir, longsor dan banjir bandang. Sebagai daerah tangkapan hujan DAS Ciliwung akan menghambat laju air hujan yang jadi air permukaan sehingga air hujan meresap ke dalam tanah.
Tapi, ketika fungsi daerah tangkapan hujan beralih fungsi jadi permukiman, industri pariwisata, dan lahan pertanian palawija air hujan pun jadi air permukaan (run off). Curah hujan di kawasan Bopunjur antara 2.428 - 4.053 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian antara 14,8 ° C - 26,6 ° C.
Bendung Katulampa, Bogor (Foto: facebook.com/ciliwungnationalpark)
Di zaman Belanda di sepanjang DAS Ciliwung di beberapa titik dibangun situ atau danau-danau kecil. Ketika air hujan dari hulu DAS Ciliwung mengalir melebihi volume normal air sungai dialirkan ke situ di sepanjang aliran Sungai Ciliwung sehingga sampai ke hilir (baca: Jakarta) air sungai tidak lagi besar sehingga tidak terjadi banjir besar. Situ-situ jadi area penguapan air. Beberapa area penguapan air yang dibangun di zaman Belanda, seperti Kelapa Gading dan Cengkareng, sudah beralih fungsi.
3. Lahan Terbuka untuk Resapan Air Hujan
Selain situ dibangun pula bendung Katulampa pada tahun 1911. Bendung ini berguna menahan laju air Ciliwung. Di musim hujan bendung ini dilewati air dengan debit 630.000 liter per detik dengan skala ketinggian air 250 cm. Kondisi ini terjadi pada tahun 1996, 2002, 2007 dan 2010. Skala pemantauan ketinggian air jadi petunjuk debit air yang akan mengalir ke Depok dan Jakarta. Jarak waktu kecepatan air dari Katulampa ke Jakarta diperkirakan sekitar 5-6 jam.
Pembuatan situ itu sangat beralasan karena laju air sungai dari hulu sangat cepat karena perbedaan ketinggian yang diukur dari permukaan air laut (di atas permukaan air laut/dpl). Bogor, misalnya, 246 meter. Sedangkan Jakarta pada titik terendah 5 meter. Dengan perbedaan tinggi ini tentulah kecepatan air yang dipicu gravitasi dari Bogor yang mengalir melalui Sungai Ciliwung sangat cepat.
Jika di Jakarta turun hujan lebat dan dengan durasi yang lama air hujan meresap ke bumi. Tapi, karena alih fungsi lahan di Jakarta tidak diawasi dengan ketat daerah-daerah terbuka untuk resapan beralih jadi permukiman, industri, dll. Akibatnya, air hujan tidak meresap ke tanah karena tidak ada lagi tanah sebagai area terbuka.
Sebenarnya ada ketentuan setiap peruntukan lahan minimal 20 persen harus lahan tanah terbuka sebagai areal resapan air hujan. Sekarang berbagai bangunan, bahkan bangunan pemerintah, luas lahan terbukanya nol persen. Diperkirakan luas lahan terbuka yang bisa jadi resapan air hanya 18% dari luas wilayah Jakarta.
Ketika air hujan di DAS Ciliwung jadi run off yang dibawa Sungai Ciliwing sampai ke Jakarta dan air hujan yang turun di Jakarta tidak meresap ke dalam tanah, maka banjir besar pun terjadi seperti yang melanda kawasan Jabodetabek pada malam pergantian tahun dari 2019 ke 2020. []