Timika, (Tagar 24/2/2018) – Jika tidak ada hujan selama satu minggu, penduduk akan kelimpungan. Bagi warga di kampung-kampung, air sungai berwarna cokelat pun akan ditenggak.
Suku Asmat di Papua, dulu dikenal dunia akan keganasannya karena kanibalisme dan keindahannya. Saat itu mereka masih menjalani tradisi perang antarkampung, memenggal kepala musuh, bahkan memakan bangkainya beramai-ramai dalam pesta kemenangan.
Budaya perang dan kanibalisme itu mulai sirna ketika misionaris datang dan membangun pos misi di Asmat pada 1953. Kontak pertama Suku Asmat secara aktif dengan dunia luar.
Para pastor mengenalkan nilai-nilai Kristiani untuk saling mengasihi, tidak saling membunuh sesama manusia, dan melahirkan perdamaian antarkampung. Selain mengajarkan nilai-nilai keluhuran agama, para pastor juga mengenalkan peradaban pada suku yang sejatinya adalah peramu.
Belakangan, salah satu kebutuhan masyarakat Asmat yang sulit terpenuhi adalah air bersih. Mereka butuh teknologi pengolahan air payau --campuran air asin dan air tawar-- untuk kebutuhan dan konsumsi masyarakat setempat.
Bupati Asmat Elisa Kambu mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asmat sudah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan sumber air bersih, termasuk melakukan penggalian sumur bor hingga ratusan meter. Namun, semua upaya belum menunjukkan hasil memuaskan.
Tidak heran, sampai saat ini masyarakat Asmat hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber satu-satunya untuk menunjang kehidupan.
"Kami meminta bantuan semua pihak kalau memang ada teknologi yang tepat untuk mengolah air bersih. Kami memang sangat membutuhkan teknologi yang tepat untuk bisa mengolah air dari sungai-sungai yang ada agar bisa layak menjadi air minum," ujar Bupati Kambu saat dihubungi dari Timika, Sabtu (24/2).
Pemkab Asmat, kata dia, sudah berupaya menghubungi berbagai lembaga Perguruan Tinggi, termasuk Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar bisa menyediakan fasilitas dan teknologi pengolahan air bersih.
"Teman-teman dari Perguruan Tinggi juga kami minta bantuan. Sedangkan Litbang Kementerian PU-PR sekarang sudah ada di Asmat," jelas Bupati Kambu.
Melalui dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, Bupati Kambu berharap kelak warga Asmat tidak lagi mengalami kesulitan mendapatkan air bersih atau air tawar.
"Kita sedang berjuang bersama-sama. Kalaupun ada teknologi yang cukup mahal untuk bisa mengolah air payau menjadi air tawar, kita tetap membutuhkan itu. Yang terpenting azas manfaatnya bisa bertahan untuk jangka waktu yang lama," kata orang nomor satu di Pemkab Asmat itu.
Sulit Digarap
Kekayaan alam Papua dengan hutan lebat dan sungai-sungai sesungguhnya dapat menjamin kelangsungan hidup. Suku Asmat begitu dimanjakan oleh alam Papua.
Suku Asmat yang tinggal di hutan dan rawa-rawa adalah peramu sejati yang menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam dalam menyediakan sumber makanan.
Suku Asmat hidup dengan meramu berbagai tumbuhan dan berburu binatang yang ada di hutan. Ketika lapar, mereka akan ke hutan mencari sagu, memburu babi, atau menombak ikan.
Konsep meramu dan berburu Suku Asmat belum hilang, masih ada hingga saat ini (2018), khususnya bagi penduduk yang tinggal di kampung-kampung. Rumah-rumah bivak yang terbuat dari kayu pohon dan daun-daun rumbia sebagai atap pun masih bisa ditemui.
[caption id="attachment_45206" align="aligncenter" width="712"] KEHIDUPAN MASYARAKAT ASMAT: Seorang ibu dan anak membawa sayur mayur di dermaga Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1). Masyarakat Asmat merupakan masyarakat pemburu-peramu yang sangat bergantung kepada hasil alam. (Foto: Ant/M Agung Rajasa)[/caption]
Budaya warisan nenek moyang Suku Asmat masih dijalankan dan mengisi kehidupan sebagian masyarakat. Hanya saja, wilayah Asmat yang berupa rawa-rawa dengan tanah lumpur menjadi sulit untuk digarap sebagai lahan pertanian. Jalur antardistrik dan kampung hanya lewat sungai dan mengandalkan perahu membuat sulit dijangkau.
Air bersih pun bergantung pada air hujan.
Ada satu sumur bor yang dibangun di Kota Agats berlokasi dekat muara. Pipa harus ditancapkan pada kedalaman 200 meter untuk menghasilkan air baku, itu pun masih payau kekuningan dan hanya 0,3 liter per detik. Kerja sumur bor juga terbatas hanya tiga jam, lewat dari itu yang keluar hanya air belerang dan lumpur.
Satu-satunya harapan ialah pada air hujan. Rumah-rumah, perkantoran, dan penginapan di Kota Agats benar-benar memanfaatkan air hujan dengan memasang talang air di setiap tepi atap rumah dan mengalirkannya ke penampungan sebagai simpanan air bersih.
Di Kota Agats, air hujan itu dicuri dengan memotong pipa saluran dari penampungan.
Hidup Dekat Penyakit
Di masa silam lelaki Suku Asmat sibuk berperang. Mereka mengukir patung, pekerjaan yang dinilai perkasa dan bermartabat tinggi. Sementara para ibu bertugas mencari makan di hutan dan mengurus anak.
Pembagian tugas untuk perempuan itu hingga kini masih dijalani. Kaum perempuan menjadi tulang punggung keluarga.
Sebuah kisah dikemukakan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats Riechard Mirino. Ia menceritakan, hampir seluruh pasien ibu hamil yang ditangani memiliki kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang rendah.
Kondisi paling parah, Hb ibu hamil hanya empat-lima gram per desiliter dari kondisi normal yang seharusnya di atas 11 gram per desiliter. Hal semacam ini yang mengakibatkan ibu mengalami pendarahan luar biasa saat melahirkan, melahirkan anak dengan gizi buruk, atau bahkan kematian pada ibu dan bayinya.
Di Asmat, perempuan masih ada yang memiliki anak sampai 13. Atau ibu muda berusia 25 tahun yang sudah melahirkan anak ke delapan, dan hanya enam anak yang bertahan hidup.
Mengetahui kondisi seperti itu, tak terelakkan masyarakat Asmat hidup berdekatan dengan penyakit.
Ditambah lagi lingkungan berupa rawa-rawa yang menjadi tempat tinggal nyamuk anopeles penyebab malaria. Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk pun terjadi yang menewaskan 72 anak.
Makanya, kehadiran negara di Asmat mutlak dibutuhkan, bahkan sampai ke pelosok pedalaman kampung tanpa listrik untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Pemerintah pusat dan daerah harus bergotong- royong menyediakan air bersih sebagai kubutuhan dasar, akses sanitasi yang layak, ketersediaan pangan, layanan kesehatan, pendidikan, dan edukasi tentang perilaku hidup yang sehat.
Seperti dikatakan para menteri, penanganan masalah di Asmat harus dilakukan secara menyeluruh, berkesinambungan, dan bergotong royong. Masalah kesehatan di Asmat tidak akan selesai hanya dengan mengirimkan petugas kesehatan yang mengobati, tapi juga harus mengajari tentang menjaga kesehatan dengan perilaku hidup yang bersih dan sehat.
Jangan biarkan hanya untuk memperoleh air bersih saja, air hujan pun harus mereka curi. (ant/yps)