Ahok Jadi Menteri BUMN Melawan Hukum

Pakar hukum tata negara Prof Dr Muhammad Fauzan menegaskan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak bisa menjadi Menteri BUMN.
Presiden Jokowi bertemu Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kilang TPPI. (Foto: Instagram/basukibtp)

Jakarta - Pakar hukum tata negara Prof Dr Muhammad Fauzan menegaskan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak bisa menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ataupun menempati pos menteri apapun yang terdapat di Indonesia. Hal tersebut menjawab santernya kabar Komisaris Utama PT Pertamina tersebut akan naik pangkat menjadi Menteri Kabinet Indonesia Maju. 

Hal utama yang menjegal Ahok menjadi menteri lantaran ia telah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana dalam kasus penistaan agama beberapa tahun silam.

Yang bersangkutan berarti terbukti melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun

Fauzan mengatakan aturan tersebut merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 22 huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Adapun syarat untuk diangkat menjadi menteri yang termaktub di dalam pasal tersebut berbunyi:

'Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih'.

Sementara, kata Fauzan, Ahok telah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun, dengan demikian dapat dikatakan cacat hukum tak bisa melenggang jauh. Berikut bunyinya:

'Setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun'.

"Terlepas pidana yang dijatuhkan hanya 2 tahun, yang bersangkutan berarti terbukti melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun, dan oleh karenanya menurut pendapat saya, dia tidak dapat diangkat menjadi menteri," ujar Fauzan kepada Tagar, Minggu, 5 Juli 2020.

Isu reshuffle menteri tengah menggelinding setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi meluapkan amarah kepada bawahannya di Kabinet Indonesia Maju saat rapat di Istana Merdeka Jakarta pada 18 Juni 2020. Nama Ahok lantas dispekulasikan masuk bursa menteri.

Menurut Wakil Sekjen DPP PPP Achmad Baidowi, kinerja Ahok selama menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina belum terlihat maksimal. Dia memberikan contoh ihwal usulan penurunan harga BBM bersubsidi bakal meringankan beban masyarakat yang terkena imbas pandemi Covid-19, tetapi tak mendapat sambutan Ahok yang saat ini menjadi bos di perusahaan pelat merah.

Baca juga: Isu Bongkar Pasang Kabinet Jokowi, Ahok Jadi Menteri?

Buku AhokBasuki Tjahaja Purnama hadir dalam acara peluncuran buku berjudul "Panggil Saya BTP" dalam acara Ngobrol Tempo pada Senin, 17 Februari 2020. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

"Sebagai contoh harga BBM yang tidak turun meskipun harga minyak dunia turun. Walaupun itu otoritas direksi, lalu fungsi komisaris di situ apa? Bukankah dalam rangka pengawasan?" ucapnya.

Menurut Baidowi, sebaiknya Ahok membuktikan terlebih dahulu ke publik terkait kinerja-kinerjanya sebagai petinggi BUMN sebagai pengelola minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. 

Namun, Baidowi mengatakan sah-sah saja jika Ahok dipasang di kabinet oleh Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif pengangkatan dan pelengseran menteri.

"Parameter yang dilakukan terhadap figur yang hendak diangkat sebagai menteri tentu mutlak kewenangan presiden," tuturnya.

Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud Md juga sempat menjawab pertanyaan ihwal kemungkinan bisa atau tidaknya Ahok mengisi posisi penting di pemerintahan. 

Senada dengan Fauzan, Mahfud menyebut Ahok tidak dapat menjadi menteri lantaran pernah dinyatakan bersalah di pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

"Tidak bisa. Kalau untuk presiden dan calon presiden itu tidak bisa. Dia dihukum 2 tahun, dalam satu tindak pidana yang diancam dengan 5 tahun atau lebih itu sudah pasti tidak bisa, menjadi menteri juga tidak bisa," kata Mahfud seperti dikutip Tagar dari YouTube KOMPASTV yang diunggah 26 Juni 2018 lalu.

Kasus hukum yang melilit Ahok itu bermula pada 27 September 2016. Kala itu, mantan Bupati Belitung Timur itu melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Saat berpidato, mantan suami Veronica Tan itu menyinggung soal surat Al Maidah ayat 51. 

“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, enggak bisa pilih saya, ya, dibohongin pake surat Al-Maidah surat 51 macam-macam gitu lho. Itu hak bapak ibu. Ya. Jadi kalo bapak ibu, perasaan, enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa," tutur Ahok.

Persoalan pidato Ahok itu menjadi ramai kala pemilik akun Facebook bernama Buni Yani menyebarkan potongan video pidato Ahok sepanjang 31 detik dari durasi asli 1 jam 48 menit pada 6 Oktober 2016. 

Berselang satu hari setelah video tersebut tersebar, Ahok dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri atas tuduhan penistaan agama. Tak hanya satu laporan, ada sejumlah orang yang melakukan pelaporan atas Ahok. Selain di Bareskrim, Ahok dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Aksi 212Ratusan massa aksi 212 yang melakukan akasi demonstrasi melakukan salat ashar berjamaah di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jumat, 21 Februari 2020. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)



Majelis Ulama Indonesia pun mengeluarkan pendapat keagamaan mengenai pernyataan Ahok pada 11 Oktober 2018. Lembaga yang dipimpin oleh Maruf Amin pada saat itu menilai ucapan Ahok memiliki konsekuensi hukum, yaitu menghina Alquran dan atau menghina ulama. 

Selanjutnya, pada 4 November 2016, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) menggelar aksi besar-besaran untuk menuntut agar Ahok segera dihukum. Ratusan ribu orang dari berbagai organisasi masyarakat Islam membanjiri Jakarta.

Aksi ini kemudian berujung ricuh di depan Istana Kepresiden karena mereka merasa gagal menemui Presiden Joko Widodo. Aksi Persaudaraan Alumni atau PA 212 adalah cikal bakal dari sejumlah aksi bertema bela Islam lainnya, yang paling terkenal adalah Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 alias Aksi 212.

Baca juga: Demo Tolak RUU HIP Jilid 2 Lebih Besar dari Ahok? 

Sekitar dua pekan pasca-aksi besar-besaran 411, Bareskrim Polri menetapkan status tersangka atas Ahok. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dijerat Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana juncto UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Akhirnya, majelis hakim memvonis Basuki Tjahaja Purnama dengan hukuman dua tahun penjara dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Cipinang pada 9 Mei 2017. []

Berita terkait
Novel Bamukmin Sarankan Ahok Jadi Gubernur Papua
Novel Bamukmin menyatakan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) lebih tepat memimpin Provinsi Papua, Bangka Belitung (Babel), atau Bali.
Isu Bongkar Pasang Kabinet Jokowi, Ahok Jadi Menteri?
Isu reshuffle menteri menggelinding setelah Presiden Jokowi marah. PPP menanggapi Ahok yang digosipkan masuk bursa menteri pengganti.
Demo Tolak RUU HIP Jilid 2 Lebih Besar dari Ahok?
Persaudaraan Alumni (PA) 212 berencana kembali menggelar aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) jilid 2.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.