Judul Asli: Memaksa Teks Keluar dari Konteksnya
Oleh: Sukron Makmun*
Ada asumsi bahwa teks (narasi) yang sudah berada di ruang publik berarti menjadi milik umum, bukan lagi milik pengarangnya (author). Teks bukan hanya narasi tertulis yang ada dalam kitab suci, melainkan, apa pun yang bisa ditafsirkan, dapat diperlakukan sebagai teks (Lockyer). Teks selalu multi makna dan tafsir (polisemik), tidak pernah bermakna tunggal. Meskipun demikian, bukan berarti pembaca (reader) dapat menafsirkan (teks) dengan seenaknya, bebas sesuai kepentingannya. Kenapa demikian? sebab, makna itu dibawa oleh kata, konvensi, genre bagaimana teks itu ditulis, konteks (sosial, kultural, historis dan ideologis) yang melingkupi teks tersebut. semuanya menyatu mengantarkan makna teks secara utuh.
Terkait kasus dugaan penodaan agama Permadi Arya (PA) alias Abu Janda yang ada narasi "Islam arogan"nya perlu ditelusuri teksnya. Apakah arogan itu penistaan? Faktanya, ada salah satu pengurus ormas Islam saat debat (depan kamera tv) menyiram muka lawan bicaranya dengan air minum. FYI, yang disiram secara usia lebih tua dan dari kalangan non-mainstream. Mengganggu fasilitas umum untuk aspirasi politik "mayoritas" bukankah itu bentuk arogansi?
Jika Anda berpikir adil, maka, ketika narasi PA dipaksa menjadi ranah hukum, seharusnya TZ juga sama-sama diproses. Karena suatu teks bisa ditelusuri hanya dengan membaca teks lain yang gaya dan formatnya sama (intertekstualitas).
Apa motifnya? setelah melihat video klarifikasi dari PA, dapat dipahami bahwa narasi tersebut ditujukan untuk meng-counter twitt-an Tengku Zulkarnain (TZ) yang dinilai sangat provokatif karena menuduh minoritas arogan.
Sebuah teks tidak pernah muncul tiba-tiba, berdiri di atas ruang hampa (a text never exist in an empty space). Twit-war antar keduanya bisa dilihat, agar tahu konteks dan kronologisnya (asbabu al-wurud).
Tak disangka, counter text dari PA menjadi kontraproduktif, bahkan off-side. PA terpancing. Ia lupa bahwa sebuah narasi keagamaan adalah adonan instan yang siap untuk digoreng. Aroma kopi politiknya sangat harum, hingga respons dari berbagai parpol sangat cepat dan kompak, sepaduan suara. It's time untuk panjat politik dan panjat sosial, termasuk bagi orang-orang tipe populis-oportunis. Teks ditafsirkan sesuai nalar politiknya. Padahal seharusnya, arti teks itu menjadi otoritas penulisnya (the author), bukan milik pembaca (reader). Jika tidak, maka interpretasi menjadi lebih luas, jauh dari maksud si pengarang. Menjadi liar.
Narasi yang dibangun PA di-highlight secara sepotong (snapshot) lalu diviralkan. Sengaja, teks/ narasinya dikeluarkan dari konteksnya (framing).
Jika Anda berpikir adil, maka, ketika narasi PA dipaksa menjadi ranah hukum, seharusnya TZ juga sama-sama diproses. Karena suatu teks bisa ditelusuri hanya dengan membaca teks lain yang gaya dan formatnya sama (intertekstualitas).
Counter-text harus memperhatikan co-text. Yang lebih penting lagi adalah memperhatikan konteks kenapa teks tersebut tertulis (maktub/ mantuq)?
*Intelektual Nahdlatul Ulama, penulis buku "Moderatisme Islam dalam Konteks Indonesia Kekinian"