Jakarta - Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan terkait pemberian dana Jaminan Hari Tua (JHT) bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Kebijakan yang mengharuskan peserta BPJS Ketenagakerjaan menunggu sampai berusia 56 tahun untuk mencairkan dana JHT, dinilai tidak tepat dan merugikan para pekerja.
“Perlu ditinjau ulang. Perlu diskusi dengan para pekerja, apakah mereka setuju atau tidak. Pemerintah jangan ambil kebijakan sendiri,” kata Abraham di Jakarta, Rabu, 16 Februari 2022.
Sebagaimana diketahui, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) telah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Pasal 3 dari Permenaker menyebutkan peserta JHT harus menunggu sampai peserta berusia 56 tahun untuk bisa mencairkan dana JHT.
JHT untuk pegawai swasta, biarkan bisa diklaim setelah satu bulan usai pekerja mengundurkan diri dari tempat bekerja Permenaker baru itu direvisi dengan memberlakukan kepada PNS saja.
Padahal, dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, disebutkan JHT bisa diklaim setelah satu bulan usai pekerja mengundurkan diri dari tempat bekerja.
- Baca Juga: Polemik JHT, KSPI Nilai Menaker Ida Fauziah Telah Melawan Presiden
- Baca Juga: Menko Airlangga: Pemerintah Akan Melindungi Pekerja dengan JHT dan JKP
Abraham mengusulkan aturan baru dari Menaker ini bisa berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang baru pensiun di usia 56 tahun atau sesudahnya. Alasannya, mereka tidak akan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah jalan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.
Namun bagi pegawai swasta, aturan itu sulit dilakukan. Pasalnya, pegawai swasta bisa pensiun sebelum usia 56 tahun. Hal itu terjadi jika terjadi PHK oleh perusahaan. Atau sang karyawan mengundurkan diri karena pindah kerja ke luar negeri.
“Kalau seseorang kena PHK di usia 40 tahun, apakah masih harus cairkan JHT di usia 56 tahun? Kalau dia dapat kerja lagi, bagus memang pembayaran premi JHT dilanjutkan. Namun kalau tidak dapat pekerjaan lagi, misalnya memilih wiraswasta, apakah dia harus dipaksa untuk meneruskan bayar JHT? Kalau tidak mampu bayar, gimana? Maka sebaiknya, yang pegawai swasta, kembali ke aturan lama saja,” jelas Abraham.
Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini setuju alasan dari pemerintah bahwa pencairan JHT di usia 56 tahun agar dana yang diterima nilainya besar daripada diterima di tengah jalan atau sebelum pensiun. Artinya, dana JHT itu sebagai investasi di masa tua dari para pekerja.
Namun tujuan besar itu hanya tercapai bagi mereka yang terus bekerja hingga usia 56 tahun. Bagi yang pensiun sebelum 56 tahun atau di PHK sebelum usia 56 tahun, haknya harus segera diberikan.
Penyebabnya, sang pekerja bisa saja lupa mengurus setelah usia 56 tahun. Bisa juga sang pekerja sudah meninggal sebelum usia 56 tahun. Atau bisa juga berkas persyaratan telah hilang karena sudah tidak bekerja.
“Masalah-masalah teknis ini harus dipikirkan pemerintah. Kalau berkas sudah hilang, karena sudah tidak bekerja lagi, siapa yang tanggung jawab? Apakah masih bisa dicairkan JHT-nya kalau ada persyaratan tidak terpenuhi? Karena ngurus pencairan dana BPJS persyaratannya banyak,” kata Abraham.
- Baca Juga: Menaker: Kena PHK Tak Perlu Cairkan JHT, Ada JKP
- Baca Juga: Airlangga Hartarto: Pekerja Dilindungi JKP dan JHT Sekaligus
Ia berharap pemerintah tidak perlu ikut campur mengatur JHT, terutama untuk karyawan swasta. Alasannya, JHT adalah uang para pekerja yang disimpan ke BPJS Ketenagakerjaan. Artinya tidak ada kepentingan pemerintah di JHT tersebut, kecuali bagi PNS yang gajinya dibayar negara.
“Jadi, JHT untuk pegawai swasta, biarkan bisa diklaim setelah satu bulan usai pekerja mengundurkan diri dari tempat bekerja. Permenaker baru itu direvisi dengan memberlakukan kepada PNS saja,” ucap Abraham. []