Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Pelestari Seni dan Budaya

Seorang abdi dalem Keratoon Yogyakarta, KRT Purwodiningrat mengalihaksarakan naskah kuno keraton agar bisa dipelajari khalayak umum.
KRT Suryodiningrat, keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang melestarikan budaya dan seni. (Foto: Tagar/Ist/kratonjogja.id)

Yogyakarta – Kumis yang mayoritas sudah berwarna putih menghiasi wajah bersahaja KRT Purwodiningrat, seorang maestro seni dan kebudayaan Jawa. Berbalut surjan (pakaian adat khas Jawa) dan blangkon (penutup kepala khas Jawa) dan kacamata, dia duduk di belakang mesin ketik manual.

Beberapa buku tebal tergeletak di atas meja, tepat di samping mesin ketik, bersama sejumlah peralatan tulis menulis. Wajahnya terlihat serius menatap kertas yang terselip di mesin ketik.

Pada foto lain, KRT Purwodiningrat tampak duduk di belakang kendang. Jemarinya terlihat sedang menabuh alat musik tradisional tersebut.

Dilansir laman resmi Keraton Yogyakarta, nyaris sepanjang hidupnya, KRT Purwodiningrat yang merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI dari garis ayah dan cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari garis ibu ini mengabdi kepada kebudayaan Jawa. Adat istiadat keraton mendarah daging dalam dirinya.

KRT Purwodiningrat pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Balai Penelitian Bahasa. Setelah pensiun, ayah empat anak ini memilih untuk terus memberi manfaat kepada masyarakat luas. Dia mengikuti jejak sang ayah yang merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta. KRT Purwodiningrat mendaftar sebagai abdi dalem di departemen kesenian Keraton Yogyakarta, KHP Kridhomardowo.

Selama mengabdi di departemen kesenian keraton ini, KRT Purwodiningrat yang ahli dalam bidang tari dan karawitan aktif menghidupkan kesenian tersebut.

Namun, tak lama berselang, KRT Purwodiningrat diminta untuk menjadi Penghageng Kalih atau Wakil Kepala  Widyabudaya yang mengurusi upacara adat keraton seperti seperti Labuhan, Garebeg dan Siraman Pusaka.

Ditarik ke sini (Widyabudaya) karena saya juga menyukai bahasa dan kebudayaan.

Kemampuan dan keterampilannya yang beragam membuat Kanjeng Purwo, sapaan akrab KRT Purwodiningrat dibutuhkan di berbagai bidang.

Saat mengabdi di Widyabudaya, KRT Purwodiningrat menerapkan disiplin yang tinggi dan membuat jadwal kerja yang rapi. Hal itu menjadi kunci kematangan persiapan upacara. Jadwal yang rapi itu didukung dengan anggota tim yang memang sudah memahami apa yang harus mereka kerjakan.

“Sekarang Widyabudaya sudah bagus kerjanya, sudah berjalan sendiri, sudah tahu sendiri tugasnya, misalnya kalau Garebeg ini (yang disiapkan),” jelasnya, seperti dilansir laman kratonjogja.id.

Berbekal aturan dan unggah-ungguh (tata krama) yang terbiasa dilaksanakannya sejak kecil membuat Kanjeng Purwo tidak pernah mengalami kesulitan berarti dalam menjalankan tugas.

Alihbahasa Naskah Kuno

Saat ini, menjadi koordinator pelaksanaan upacara adat di lingkungan keraton, KRT Purwodiningrat juga melakukan alihbahasa naskah-naskah kuno keraton, dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Sebelum naskah-naskah itu dialihbahasakan, terlebih dahulu dia mengalihaksarakannya dari aksara Jawa ke aksara latin.

Menurutnya, pengalihaksaraan dan pengalihbahasaan karya sastra tersebut merupakan hal yang penting, agar karya-karya tersebut dapat dipelajari oleh khalayak luas, mengingat tidak semua orang familiar dengan aksara dan bahasa Jawa. Sekitar empat naskah telah diselesaikannya dan dicetak.

“Kalau sudah alih aksara, akan dialih bahasa. Untuk menolong yang tidak bisa berbahasa Jawa. Karena ini isinya tembang (Jawa),” tuturnya melanjutkan.

Cerita Seniman Keraton 2KRT Suryodiningrat saat menabuh kendang. (Foto: Tagar/Ist/Dok kratonjogja.id)

Sebagian besar naskah-naskah kuno yang telah dialihaksarakan memuat tembang macapat dari segala jenis, misalnya sinom, dhandhanggula, pangkur, megatruh dan lain sebagainya.

Keterlibatan KRT Suryodiningrat dalam pengembangan budaya, khususnya kebudayaan keraton telah dilakukan jauh hari sebelum dia resmi menjadi abdi dalem pada tahun 2007.

Sejak muda KRT Suryodiningrat aktif menari dan ngrawit –memainkan gamelan—untuk acara-acara keraton. Kepiawaiannya dalam dua bidang tersebut tidak perlu diragukan. Hal itu dapat dilihat dari kegiatannya keliling dunia pada sekitar tahun 1970-an. Kala itu KRT Suryodiningrat bersama tim kesenian Among Beksa pentas di sejumlah negara, di antaranya China, Inggris, Jerman, Italia, Belgia, Hongkong dan Jepang.

Misi kesenian bersama tim kesenian Among Beksa tersebut menurut Kanjeng Purwo sangat berkesan. Siswa Among Beksa adalah salah satu perguruan tari klasik di luar tembok keraton. Kanjeng Purwo aktif menjadi pengurus di Among Beksa sejak perguruan itu berdiri pada 1952.

Lokasi perguruan ini pun terletak di kompleks Ndalem Kaneman, Jl. Kadipaten, yang merupakan kediaman Kanjeng Purwo. Namun, pada 2007 beliau memilih undur dari kepengurusan untuk memberi kesempatan pada penerus yang lebih muda.

“Apa-apa baru, disediakan makanan, dikasih uang. Koper baru, jarik, iket baru. Di sana hotelnya bagus. Diberi gaji. Itu yang paling berkesan.”

Ditambahkan, misi tim duta budaya tersebut dalam rangka menjalankan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengibarkan seni klasik Yogyakarta ke pentas dunia. “Yang didhawuhi (diperintahkan oleh) Ngarsa Dalem (Sultan) IX itu Siswa Among Beksa.”

Pelestari Seni dan Tradisi

Meski telah undur diri dari Among Beksa pada tahun 2007, kiprah KRT Suryodiningrat di dunia seni tak surut. Hingga di usianya yang ke-80 tahun ini, KRT Suryodiningrat tetap menjadi tempat rujukan bertanya bagi para mahasiswa seni.

Kanjeng Suryo bahkan masih menjadi dosen luar biasa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan karawitan, khususnya keahlian ‘tabuh satu’ (instrumen yang ditabuh seperti saron, bonang, dan sebagainya).

“Saya sering ngladeni mahasiswa ISI kalau mau penelitian atau ujian S1, S2, S3. Saya sering disuruh menguji. (Sekarang) saya disuruh tidak perlu datang. Murid yang ke tempat saya,” kata KRT Suryodiningrat menambahkan.

Kepiawaian KRT Suryodinigrat di bidang seni tidak mengherankan. Darah seni mengalir dalam diri Kanjeng Purwo diturunkan oleh orang tua dan kakeknya. Sang ibu yang merupakan penari keraton menurunkan bakat tari pada Kanjeng Suryo. Sementara bakat memainkan gamelan menurun dari sang kakek, yakni KRT Wiroguno yang merupakan empu karawitan Yogyakarta.

Hingga saat ini sudah tak terhitung pertunjukan yang telah dijalani oleh KRT Suryodiningrat, seiring dengan beragam penghargaan yang diperolehnya. Kanjeng Purwo ingat setidaknya tiga kali dinobatkan sebagai pemain kendang terbaik dalam Festival Sendratari.

Bukan hanya sebagai pemain, Kanjeng Suryo pun telah berkali-kali menjadi juri lomba karawitan hingga lupa berapa kali persisnya.

Kini, setelah tak lagi pentas di atas panggung, Kanjeng Purwo meneruskan pelestarian budaya lewat keraton. Nyaris setiap hari beliau berangkat bekerja. Selain menunaikan tugas pokoknya, beliau melayani pertanyaan pengunjung serta memberi materi gendhing kepada para pengrawit. Lewat cara-cara seperti inilah beliau membagikan ilmu dan wawasan yang dimiliki.

Dukungan keluarga sangat besar bagi kiprahnya. Anak tertuanya dan salah satu cucunya bahkan mengikuti jejaknya menjadi Abdi Dalem. Bekerja di keraton beliau akui menjadi cara untuk hidup sehat, 

“Tidak bengong, ada yang dikerjakan, tidak nganggur, menghambat kepikunan karena dipaksa berpikir. Batin (saya) semeleh (bersandar), tidak kemrungusung (gelisah).” []

Berita terkait
Elang Buta Terancam Kelaparan Karena Pandemi di Kulon Progo
Sebanyak 152 ekor satwa yang sedang direhabilitasi di Wild Rescue Center (WRC) Jogja terancam kelaparan dan tak terawat akibat pandemi.
Bisnis Kuliner yang Tidak Bikin Capek di Sleman
Pandemi membuat sebagian pelaku usaha banting setir. Salah satu usaha yang dinilai berpeluang adalah usaha kuliner.
Mie Ayam Yogyakarta Racikan Bule Belanda di Bekas Garasi
Seorang bule dari Belanda membantu suaminya menjual mie ayam menjadi viral di Yogyakarta. Ini cerita lengkap Charlotte tentang usahanya.