Semarang, (Tagar 28/4/2018) - Mahasiswa terpapar paham radikal, Perguruan Tinggi harus melakukan moderasi narasi dan kontraideologi.
Hal itu disampaikan Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Gatot Edy Pramono dalam seminar nasional bertema Strategi Perguruan Tinggi Menangkal Radikalisme dan Terorisme di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (28/4/2018).
Menurutnya peran Perguruan Tinggi (PT) sangat vital dalam membendung dan meminimalisir penyebaran radikal di kalangan intelektual muda.
"Bahwa radikalisme dan terorisme adalah tantangan bagi kita semua. Unwahas melakukan kegiatan ini sangat bagus karena peran mahasiswa, PT sangat penting," kata Gatot dihadapan 600 mahasiswa dibawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
Gatot mengungkapkan penelitian Alex P Schmid dan Albert J Jongman yang menyatakan bahwa dari 109 definisi terorisme ditemukan 83,5 % mengandung unsur kekerasan, 65 % berisikan tujuan politik dan 51 % untuk menimbulkan rasa takut dan teror.
Dan penelitian dari Wahid Foundation bahwa 7,7 % masyarakat Indonesia sudah terpapar radikalisme.
Bahkan, lanjut dia, Kepala BIN Budi Gunawan menyampaikan hasil riset BIN yang menunjukkan 39 % mahasiswa di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24 % mahasiswa dan 23,3 % pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad, untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.
"Ini tugas kita bersama untuk meminimalisir. Salah satu tujuan kegiatan ini (seminar) adalah itu, untuk meminimalisir agar paham radikal tidak berkembang di tengah masyarakat. Kalau dibiarkan tentu akan berbahaya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa," tegasnya.
Yang perlu dilakukan civitas akademika adalah mendeteksi ada tidaknya penyebaran paham radikal di masing-masing kampusnya.
Ketika ditemukan radikalisme di kalangan mahasiswa segera lakukan antisipasi lewat moderasi narasi dan kontraideologi. Termasuk melibatkan kementerian agama, kalangan ulama dan ormas keagamaan yang benar-benar memahami isi Alquran, ajaran Islam serta Islam moderat.
"Moderasi narasi, contohnya ketika ada pemahaman jihad, bom bunuh diri itu benar dengan ayat-ayat seperti ini maka para kiai, ulama, ustad menjelaskan ayat-ayat yang ini lho yang yang sebenarnya. Sedangkan kontraideologi dilakukan dengan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila," jelasnya.
Rektor Unwahas Prof Mahmutarom mengatakan seminar kontraradikalisme dan kontraterosime didasari adanya keprihatinan mahasiswa PT NU atas situasi keamanan nasional. Dimana paham radikal menyasar mahasiswa dan pelajar untuk menyebarkan idiologi mereka. Seminar tersebut sekaligus menjadi penanda dimulainya kongres BEM PT NU se-Nusantara ke-VI.
"Jauh sebelum organisasi NU berdiri, para ulama telah membentengi warganya dari paham radikalisasi dengan deradikalisasi Aswaja (ahlussunnah wal jamaah)," tuturnya.
Ketua Presidium BEM PT NU, Bustoni Aftoni mengaskan intoleransi bukan budaya bangsa Indonesia, sehingga segala bentuk radikalisme dan terorisme tidak sesuai dengan ideologi bangsa.
"Sebagai generasi penerus, para mahasiswa PT NU yang sejak dini telah dibekali paham Aswaja diharapkan mampu menjadi pelopor untuk menolak dengan tegas paham tersebut," tegasnya. (ags)