TAGAR.id – Beberapa negara dengan perekonomian besar ingin menyelesaikan rencana menjelang KTT iklim PBB pada tahun 2024 ini untuk menghentikan pendanaan baru sektor swasta untuk proyek batu bara. Ini menurut lima sumber yang mengetahui langsung masalah tersebut kepada Kantor Berita Reuters.
Jika disetujui, proposal rancangan dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) akan menjadi langkah awal lembaga multilateral dalam membatasi pembiayaan batu bara. Batu bara merupakan salah satu penyebab terbesar perubahan iklim karena menghasilkan lebih banyak emisi karbon dioksida dibandingkan minyak atau gas ketika dibakar untuk energi.
Rancangan rencana tersebut bertujuan untuk menetapkan kebijakan "standar emas" bagi lembaga keuangan dalam menangani batu bara. Rencana tersebut mengarahkan investor, bank, dan perusahaan asuransi untuk menghentikan pembiayaan baru terhadap proyek batu bara yang sedang berjalan atau yang direncanakan, serta mengakhiri pendanaan untuk perusahaan yang membangun infrastruktur batu bara, menurut sumber tersebut.
Berdasarkan rencana tersebut, lembaga keuangan akan mendanai penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU), dibandingkan melakukan divestasi dari aset-aset tersebut. Dan penutupan awal fasilitas PLTU harus diimbangi dengan pembiayaan energi ramah lingkungan untuk menggantikan kapasitas batu bara yang hilang.
Pinjaman dan penjaminan bank komersial kepada industri batu bara berjumlah $470 miliar antara Januari 2021 dan Desember 2023, kata LSM Urgewald dalam sebuah laporan pada bulan lalu.
Negara-negara OECD, yang terdiri dari 38 anggota termasuk sebagian besar negara demokrasi terbesar yang berorientasi pada pasar di dunia, sedang mempersiapkan masukan terhadap proposal tersebut. Proposal ini akan diajukan untuk konsultasi publik sebelum diadopsi secara resmi menjelang KTT iklim COP29 PBB di Azerbaijan pada November.
Kebijakan OECD tidak mengikat, tetapi bertujuan untuk menetapkan standar internasional yang digunakan oleh dewan perusahaan dan pemegang saham.
Pedoman OECD sebelumnya – misalnya, mengenai pekerja anak – diadopsi oleh beberapa perusahaan multinasional, yang menetapkan standar dalam menangani negara-negara yang tidak memiliki undang-undang formal tentang pekerja anak.
Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Uni Eropa termasuk di antara pendukung proposal tersebut, yang merupakan bagian dari inisiatif “Akselerator Transisi Batubara” yang digagas oleh Perancis pada KTT iklim COP28 pada tahun lalu, kata sumber tersebut.
Proyek tersebut, yang juga berfokus pada pengurangan biaya modal untuk investasi energi ramah lingkungan, didukung oleh negara-negara berkembang yang bergantung pada batu bara, termasuk Indonesia dan Vietnam – yang keduanya menjalin kesepakatan bernilai miliaran dolar dengan negara-negara donor untuk mengurangi ketergantungan mereka pada batu bara.
Penolakan terbesar terhadap proposal OECD datang dari Jepang, kata tiga sumber. Jepang adalah importir batu bara terbesar ketiga di dunia dan memperoleh lebih dari seperempat energinya dari batu bara.
Anggota OECD menyetujui pedoman baru melalui konsensus.
Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang tidak segera membalas permintaan komentar Reuters.
Beberapa sumber mengatakan bahwa usulan tersebut masih bisa dipermudah, misalnya dengan hanya menghentikan pendanaan untuk proyek-proyek tertentu tetapi tetap memberikan pinjaman untuk tujuan korporasi, atau dengan menargetkan investasi pada pembangkit listrik saja daripada semua infrastruktur batu bara.
Para pemimpin negara-negara G7 – di antaranya Prancis, AS dan Jepang – diperkirakan akan membahas upaya mereka untuk menghentikan penggunaan batu bara pada pertemuan puncak di Italia pada minggu depan. Dua sumber mengatakan hasil KTT G7 dapat mempengaruhi tujuan kesepakatan OECD.
Pemerintah, termasuk G7, telah melarang atau membatasi pendanaan publik untuk PLTU dalam upaya mereka mencapai tujuan iklim, sehingga sebagian besar pendanaan batu bara kini berasal dari sektor swasta.
Menurut S&P Global, hanya seperempat lembaga keuangan yang saat ini memiliki kebijakan untuk membatasi pembiayaan batubara mereka. Kapasitas PLTU global mencapai lebih dari 2.000 gigawatt, dengan tambahan 500 gigawatt kapasitas baru yang sedang dikembangkan, sebagian besar di China.
Pemilik proyek batu bara dapat menghadapi kondisi ekonomi yang rumit karena harus menutup pembangkitnya lebih awal.
Bagi negara-negara berkembang yang memiliki PLTU yang masih muda, seperti India dan Vietnam, pensiun dini dapat menjadi hal yang rumit jika investasi di muka yang diperlukan untuk membangun pembangkit listrik tersebut hanya akan dibayar kembali selama masa hidup pembangkit listrik tersebut – biasanya sekitar 40-50 tahun. (ah/ft)/Reuters/voaindonesia.com. []