Jakarta – Puluhan ribu orang berunjuk rasa di seluruh kota di Myanmar pada hari Minggu, 7 Februari 2021, untuk memprotes kudeta yang dilakukan oleh junta militer dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi. Aksi unjuk rasa itu adalah protes terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang berpengaruh pada proses reformasi demokrasi Myanmar.
Para demonstran mengenakan kaos merah, bendera merah dan balon merah, warna Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). “Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!" teriak mereka.
Warga Myanmar memegang foto pemimpin Aung San Suu Kyi setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta di Myanmar,2 Februari 2021. (Foto: voaindonesia.com - REUTERS/Jorge Silva)
Pada Minggu, 7 Februari 2021 sore, sebagaimana dilansir dari Reuters, junta mengakhiri pemblokiran internet. Pemblokiran tersebut sebelumnya mengakibatkan kemarahan masyarakat yang dimulai sejak kudeta pada 1 Februari semakin berkobar. Kudeta dianggap menghentikan proses transisi demonstrasi di Myanmar.
Kerumunan demonstran terlihat memenuhi jalan saat mereka menuju Pagoda Sule di jantung kota Yangoon.
Sederet polisi bersenjata dengan perisai anti huru hara mendirikan barikade, tetapi tidak mencoba menghentikan demonstrasi. Beberapa demonstran menghadiahi polisi dengan bunga sebagai tanda perdamaian. Para pengunjuk rasa memberi hormat dengan tiga jari yang telah menjadi simbol protes terhadap kudeta.
Aksi unjuk rasa di Mandalay, Myanmar, 4 Februari 2021 (Foto: voaindonesia.com/AFP)
“Kami tidak ingin kediktatoran untuk generasi berikutnya,” kata Thaw Zin, 21 tahun. “Kami tidak akan menyelesaikan revolusi ini sampai kami membuat sejarah. Kami akan berjuang sampai akhir."
Suu Kyi, 75, menghadapi dakwaan mengimpor enam walkie-talkie secara ilegal dan ditahan untuk penyelidikan hingga 15 Februari 2021. Pengacaranya mengatakan dia belum diizinkan untuk menemuinya (ah)/Reuters/voaindonesia.com. []