Tremor Gunung Slamet Meningkat, Imbas Gempa Banten?

Aktivitas kegempaan di kawasan Gunung Slamet, Jawa tengah terpantau mengalami peningkatan sejak beberapa hari terakhir. Imbas Gempa Banten?
Alat seismograf di Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah merekam aktivitas vulkanik‎ Gunung Slamet, Senin 5 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Pemalang - Aktivitas kegempaan di kawasan Gunung Slamet, Jawa tengah terpantau mengalami peningkatan sejak beberapa hari terakhir. Kendati begitu, status gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa itu masih berada di level normal.

Nur Kholis, Petugas Pengamat di Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang mengungkapkan, gempa bumi yang terjadi di wilayah Banten Jumat 2 Agustus 2019 maupun letusan Gunung Tangkuban Perahu Jumat 26 Juli 2019 tidak berpengaruh pada aktivitas vulkanik Gunung Slamet.

"Gempa Bumi (Banten) yang terjadi kemarin maupun aktivitas Gunung Tangkuban Perahu tidak mempengaruhi aktivitas Gunung Slamet. Status sampai hari ini masih normal," kata Nur Kholis kepada Tagar, Senin, 5 Agustus 2019.

Gempa Bumi (Banten) yang terjadi kemarin maupun aktivitas Gunung Tangkuban Perahu tidak mempengaruhi aktivitas Gunung Slamet.

‎Menurutnya, peningkatan aktivitas yang terekam hanya berupa gempa hembusan yang kemudian disertai gempa tremor. Peningkatan terjadi sejak 26 Juli 2019 hingga saat ini.

"Bulan Juni aktivitas gempa tremor yang terekam 200 kali selama 24 jam. Sejak 26 Juli ada kenaikan menjadi 900 sampai 1.000 kali," kata Nur Kholis.

"Aktivitas gempa vulkanik yang bisa memicu letusan berdasarkan pengamatan belum ada. Jadi status masih di level normal," ujarnya.

Parameter lain yang bisa menjadi landasan ditingkatkannya level status, Nur Kholis menjelaskan, juga belum terjadi. Antara lain kenaikan suhu air di Obyek Wisata Pemandian Air Panas Guci, Kabupaten Tegal dan perubahan warna asap yang keluar dari puncak gunung dari putih tebal menjadi coklat tebal.

"Asap yang keluar masih berwarna putih dengan ketinggian 50 sampai 100 meter dari bibir kawah. Jadi kami masih belum menaikan status dari normal ke waspada," ujar dia.

‎Ia juga mengatakan, pemantauan aktivitas vulkanik Gunung Slamet dilakukan selama 24 jam menggunakan sejumlah alat di antaranya seismograf dan depormasi EDM. Jika terjadi kenaikan aktivitas vulkanik yang bisa memicu letusan, status baru dinaikkan dari level normal ke waspada.

"Kami juga akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan menyampaikan larangan kepada warga untuk tidak beraktivitas dalam radius dua kilometer dari puncak gunung. Termasuk penutupan seluruh jalur pendakian," ucapnya.

Terpisah, salah satu relawan Palang‎ Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Tegal yang bersiaga di jalur pendakian Gunung Slamet via Guci, Abdul Khalik mengatakan, pendaki dari berbagai daerah masih banyak yang berdatangan untuk melakukan pendakian.

"Terutama kalau weekend (akhir pekan) jumlahnya sekitar 20 pendaki per hari," kata Khalik, Senin 5 Agustus 2019.

Menurutnya, selama belum ada larangan pendakian terkait peningkatan aktivitas vulkanik ‎Gunung Slamet, jalur pendakian Guci masih dibuka.

"Terakhir kali jalur pendakian ditutup karena Gunung Slamet erupsi pada tahun 2014. Penutupan dilakukan selama satu bulan lebih," kata dia.

Diketahui, Gunung Slamet terakhir kali mengalami kenaikan aktivitas vulkanik pada ‎tahun 2014.

Gunung berketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut itu sempat dinaikan statusnya menjadi siaga (level III) pada‎ 12 Agustus 2014 sebelum kemudian diturunkan ke waspada (level II) pada 5 Januari 2015 dan diturunkan lagi ke normal (level I) pada 8 September 2015. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.