Perempuan Pencetus Kampung Ramah Lingkungan di Bogor

Seorang perempuan mantan jurnalis menjadi penggerak untuk pembuatan kampung ramah lingkungan di Bogor, Jawa Barat. Ini kisahnya.
Lahan yang dimanfaatkan warga RW 16 untuk budidaya tanaman dan budidaya ikan. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

Bogor- Batang-batang pohon ramping bak penari yang melenggang tenang dan penuh pesona. Gemerisik daun bambu yang tertiup angin tak jauh dari pepohonan itu memainkan orkestra musik alam. Kerik jangkrik dan gemercik air saling bersahutan turut meramaikan suasana. Sejuk dan tenang, dua kata yang tepat untuk menggambarkan atmosfir siang itu, Jumat 11 Desember 2020.

Di sebelah timur, pekarangan rumah warga berderet menghadap ke barat, berhias beragam tanaman. Berhadapan dengan rumah-rumah itu, beberapa warga menyantap makanan di atas bangku bambu, yang didudukkan tepat di atas kolam ikan.

Puluhan ikan di bawah bangku bambu berkejaran, seolah menggoda warga yang menyantap makanan siang itu untuk mengejarnya.

Pemandangan dan suasana itu bukan terdapat di pedesaan atau tempat yang jauh dari kota, melainkan di kawasan RW 16, Perumahan Bojong Depok Baru 2 Kelurahan Sukahati, Cibinong, Bogor. Warga di sana mampu menyulap lingkungan perumahannya menjadi asri.

Perempuan Penggerak

Seorang perempuan dengan rambut terurai sebahu mempersilakan duduk, kemudian dia duduk membelakangi pepohonan rindang. Yuliana Rini, perempuan itu, memulai kisahnya sebagai pegiat lingkungan.

Cerita Kampung Ramah Lingkungan (2)Yuliana Rini, pegiat Kampung Ramah Lingkungan di Perumahan Bojong Depok Baru 2 RW 16. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

Yuliana mengaku hatinya tergerak untuk peduli terhadap lingkungan saat dirinya masih bekerja di salah satu media massa. Dia pun menjadi penggerak untuk mewujudkan kampung ramah lingkungan di wilayahnya.

Selama bergabung di perusahaan media bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang), dia sering terjun langsung ke lapangan untuk melakukan riset mengenai potensi daerah dan lingkungan.

Berbagai pengalaman liputan, membuatnya tersadar akan pentingnya kelestarian lingkungan. Rini pernah melakukan survei mengenai sampah warga. Saat itu ada yang mengganjal di hatinya saat melihat sampah warga yang tak pernah menumpuk, padahal tak ada pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang mengangkut sampah warga.

Saya kaget, ternyata sampah-sampah tersebut langsung dibuang ke Sungai Ciliwung.

Peristiwa banjir besar yang melanda Jakarta pada tahun 2012, mengingatkannya pada orang yang membuang sampah sembarangan ke sungai. Akhirnya, dia membuat gebrakan berupa ‘Bank Sampah Gaul’ serta pemilahan sampah organik dan nonorganik di lingkungan perumahannya.

Mengajak warga untuk peduli terhadap lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai protes dan penolakan sudah Rini hadapi. Tak sedikit warga yang menolak mentah-mentah dan memandang sebelah mata akan idenya tersebut.

“Ada yang protes ‘ngapain milah-milah sampah, kan sudah bayar, biar petugas kebersihan saja yang bertugas," katanya sembari menirukan bentuk protes warga.

Padahal, petugas kebersihan hanya diberi upah sebesar Rp 650 ribu per bulan. Mereka juga tak memiliki tunjangan tambahan jika tiba-tiba sakit. Rini berpendapat, akan lebih baik jika warga turut memudahkan tugas mereka.

Pelbagai halang rintang tak membuat tekad Rini menurun. Dia terus berusaha untuk membentuk kawasan yang ramah lingkungan. “Saya terus mencari siapa tokoh masyarakat yang punya pengaruh. Kalo sudah tahu penggeraknya siapa, pasti semua program akan berjalan,” ujarnya.

Wanita lulusan Universitas Gadjah Mada ini menyadari bahwa untuk membenahi masalah lingkungan, terutama sampah, takkan terwujud tanpa ada bantuan pihak lain. Lalu, dia menggandeng ketua RW dan RT, untuk merealisasikan tekadnya.

Konsep yang diusungnya berbasis kolaborasi pentahelix antara akademisi, dunia bisnis, pemerintah, komunitas, dan media.

"Dahulu posisi saya sebagai media, setelah keluar dari media, posisi saya saat ini bisa sebagai komunitas bisa juga sebagai akademisi," katanya.

Mulai dengan Bank Sampah

Yuliana pun mengawali pergerakannya dengan program bank sampah, yang saat itu dilakukan hanya di satu RT. Setelah berjalan beberapa bulan RT lain tertarik, berlanjut ke tingkat RW, hingga lintas kelurahan.

Cerita Kampung Ramah Lingkungan (4)Salah satu warga RW 16 sedang memilah sampah organik (hijau) dan non organik (kuning). (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

Antusias warga semakin menunjukkan peningkatan, yang tadinya hanya sekitar 158 nasabah, kini sudah bertambah menjadi 250 nasabah.

Selain menerima barang bekas seperti kaleng minuman bekas, botol plastik, dan beberapa barang lain, bank sampah yang dibentuknya juga melakukan kegiatan pembuatan kerajinan tangan dari barang bekas.

Untuk memudahkan warga dalam melakukan program pilah sampah, setiap rumah di RW 16 diberi dua tong sampah yang sudah dicat hijau dan kuning. Tong berwarna hijau diisi sampah organik, sedangkan tong berwarna kuning diisi dengan sampah nonorganik.

Awalnya, beberapa warga sempat mengaku kebingungan saat memilah mana jenis sampah organik dan mana yang termasuk jenis sampah nonorganik. Namun, akhirnya warga terbiasa untuk memilah sampah. Hal ini semakin memudahkan proses pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir. Tumpukkan sampah organik dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk.

Saat ini Kampung Ramah Lingkungan juga sudah dibimbing oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup, Koperasi dan PUPR.

Selanjutnya, wanita yang juga aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi ini melanjutkan perjuangannya, salah satunya dengan membentuk konsep taman edukasi di RW 16 pada tahun 2014.

Perjuangan yang dilakukannya tidak sia-sia. Dia pernah mendapat hibah dari Koperasi KSB berupa instalasi hidroponik yang tak terpakai. Instalasi hidroponik itu kemudian digunakan untuk budidaya tanaman dalam rumah kaca (green house).

Mulanya green house tersebut terletak di sebelah pos sekretariat RW 16. Namun, budidaya tanaman saat itu hanya bertahan selama setahun.

Lalu, ketua RW 16 Trijoko, menawarkan lahan taman RW 16 untuk dijadikan tempat budidaya tanaman. Dari sini lah Taman Edukasi terbentuk. “Taman itu seperti etalasenya RW 16, harapannya warga dapat merawat fasilitas tersebut dengan baik,” ucap Rini.

Bermacam-macam tanaman menghiasi taman itu. Mulai dari tanaman obat, tanaman hias hingga sayuran. Setiap tanaman di taman itu dilengkapi dengan papan yang bertuliskan nama ilmiah tiap tanaman. Sehingga, memudahkan warga untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang ada.

Saat ini Rini sedang bekerja sama dengan Kementerian Parekraf (pariwisata dan ekonomi kreatif) sebagai tim ahli. Dia membuat konsep eduwisata dan sedang mendampingi beberapa desa wisata di Cigombong, Kampung Lengkong, dan Sukmajaya.

Cerita Kampung Ramah Lingkungan (3)Taman Edukasi menyambut tamu yang akan memasuki wilayah Kampung Ramah Lingkungan RW 16. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

“Saya harap kampung ramah lingkungan RW 16 juga bisa mejadi kawasan eduwisata,” harap Rini.

Rini mengaku akan berkolaborasi dengan Posyandu RW 16 untuk mendorong warga gemar menanam pada tahun 2021. Meski, tanpa program itu pun sudah banyak warga yang menanam tanaman di pekarangan rumah.

Yuni, selaku ketua posyandu RW 16, berpendapat bahwa kegiatan pelestarian lingkungan yang dilakukan warga sangat positif. Dia juga senang bahwa nantinya posyandu dilibatkan dalam pelaksanaan program selanjutnya.

“Gambaran program yang natinya akan dilaksanakan berupa lomba ketahanan pangan, warga diharapkan bisa mengolah tanaman di rumah sebagai bahan pangan keluarga,” ujarnya.

Yuni juga berharap bahwa ke depannya kampung ramah lingkungan RW 16 dapat menginspirasi orang banyak dan tentunya tujuan awal dari kegiatan yang dilaksanakan bisa tercapai.

Hal yang ingin ditonjolkan Rini adalah menggali potensi dan kreativitas warga. Dia ingin para warga tak hanya menanam saja, tapi mampu mengolah apa yang mereka tanam. “Misalnya ada warga yang menanam bayam, nah bayam itu bisa diolah menjadi keripik, saya lihat warga di sini punya potensi kuat,” katanya.

Sementara, Trijoko, Ketua RW 16 menjabarkan beberapa kegiatan yang sudah terealisasikan sehingga diklaim sebagai kampung ramah lingkungan, yaitu pemilahan sampah organik dan nonorganik, pengangkutan sampah dengan kendaraan roda 4, koperasi kelola sampah berdikari, Bank Sampah Gaul, dan fasilitas UMKM warga.

“Saya berharap program ini terus dilanjutkan dan harus berhasil untuk mengurangi masalah sampah,” ucapnya berharap.

Dukungan terhadap program-program peduli lingkungan juga ditunjukkan oleh para remaja di situ. “Di masa muda kayak gini harus lebih aktif, nambah wawasan, bosan di rumah terus cuma main gadget,” ujar Rizky, salah satu remaja masjid.

Warga RW 16 juga memiliki fasilitas budidaya ikan yang nantinya bisa dijadikan bisnis untuk warga sekitarnya. Tambak ikan kian bertambah, saat ini terdapat kurang lebih 10 kolam yang berisi ikan nila, bawal, dan lele.

"Di sini mau ikut budidaya ikan bawal, malu minta uang terus ke orang tua, mau usaha kecil-kecilan, siapa tau kan bisa menghasilkan uang dari budidaya ini," kata Rizky. []

(Nabila Tsania)

Berita terkait
Seniman Wayang Orang Jadi Penjual Tape Ketan di Cilacap
Nasiyem, 65 tahun, seorang pembuat tape ketan di Cilacap, Jawa Tengah, dulunya sempat malu berjualan karena sering pentas tempatnya menjual.
Cara Pembuat Tahu Hadapi Penurunan Omzet saat Pandemi
Seorang pembuat tahu di kawasan Jakarta Timur mengaku omzetnya menurun hingga 50 persen sejak pandemi. Dia beternak lele untuk menambah penghasilan
Perjalanan Hidup Pedagang Abu Gosok 13 Anak di Bekasi
Seorang pedagang abu gosok di Bekasi, Wagiono, mengisahkan perjalanan hidupnya. Wagiono mengaku pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama.
0
5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membeli Hunian di Sentul
Selain Bekasi dan Tangerang Selatan, Bogor menjadi kota incaran para pemburu hunian di sekitar Jakarta. Simak 5 hal ini yang perlu diperhatikan.