Sutan Gunung Mulia Harahap, Orang Kristen Pengganti Ki Hadjar Dewantara jadi Menteri Pengajaran

Tak banyak yang mengenal nama Todung Sutan Gunung Mulia Harahap ini. Presiden SBY pernah menyebut Gunung Mulia sebagai tokoh pendidikan terkemuka.
Todung Sutan Mulia Harahap (Foto: Wikipedia)

Jakarta, (Tagar 2/5/2018) - Tak banyak yang mengenal nama Todung Sutan Gunung Mulia Harahap ini. Namun, tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut Gunung Mulia sebagai tokoh pendidikan terkemuka yang turut mengembangkan kurikulum pendidikan nasional pada awal kemerdekaan.

“Di masa jabatannya yang relatif singkat sebagai Menteri Pengajaran dari tahun 1945 hingga tahun 1946, beliau memimpin perbaikan sarana dan prasarana pendidikan di tengah berkecamuknya revolusi fisik,” kata SBY.

Ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, mungkin tokoh pendidikan yang selalu diingat adalah Ki Hadjar Dewantara. Mungkin juga adalah nama tokoh pendidikan lainnya seperti Sumantri Brojonegoro, Daoed Joesoef, atau Fuad Hasan, menteri di zaman Soeharto.

Tak banyak yang mengingat Todung Sutan Gunung Mulia Harahap. Padahal dia adalah menteri pengajaran (pendidikan) kedua di Indonesia. Ia menggantikan Ki Hadjar Dewantara. Pria kelahiran 21 Januari 1896 di Padang Sidempuan, Sumatera Utara ini menjabat sebagai Menteri Pengajaran pada 14 November 1945 hingga 12 Maret 1946 pada Kabinet Syahrir I.

Masa jabatannya memang terbilang singkat. Namun, bersama Ki Hadjar Dewantara, Gunung Mulia dikenal sebagai salah seorang peletak dasar pendidikan yang berwawasan kebangsaan.

Ia menjabat menteri pengajaran saat Indonesia baru saja merdeka. Tak heran jika ia menyusun kurikulum untuk membangun identitas diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Karena itu tidaklah berlebihan jika instruksi menteri saat itu pun berkaitan dengan upaya memompa semangat perjuangan dengan mewajibkan sekolah untuk mengibarkan Sang Merah Putih setiap hari di halaman sekolah dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Selain melanjutkan kurikulum berwawasan kebangsaan, Mulia juga memiliki program untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan. Juga menambah jumlah pengajar yang masih sangat minim pada masa itu.

Todung Sutan Gunung Mulia Harahap lahir dari keturunan bangsawan Batak yang beragama Kristen. Ia kerap dipanggil dengan nama Mulia.

Mulia masih punya hubungan darah dengan Amir Syarifuddin Harahap, yang kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia (3 Juli 1947-29 Januari 1948). Amir sendiri merupakan keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas, yakni Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949). Pada tahun 1926, Mulia dan Amir sama-sama belajar di Universitas Leiden, Belanda.

Di Universitas ini, Mulia mengambil jurusan hukum. Entah apa pertimbangannya mengambil jurusan ini. Padahal, sewaktu remaja ia berkeinginan menjadi guru. Di Belanda, ia banyak bertemu aktifis-aktifis Kristen. Dari pergulatan pemikiran di kampus serta pergaulannya dengan teman-temannya itu, Mulia mulai menemukan jati dirinya. Baik itu berupa jati diri pribadi, maupun jati diri kebangsaannya.

Mulia kerap melakukan pertemuan-pertemuan dengan para aktifis Kristen di Belanda. Berkat pergumulannya tersebut, Gerry van Klinden menyebutnya sebagai orang yang progresif. 

Salah seorang sahabat dan “gurunya” adalah Hendrik Kraemer. Ia adalah seorang misiolog, teolog awam, dan tokoh ekumenis Hervormd, Belanda. Di Universtitas Leiden, Mulia dan Hendrik banyak berdiskusi tentang masa depan gerakan Kristen. Pada tahun 1930-an, Hendrik dan Mulia bersama-sama terlibat dalam perjuangan mendirikan gereja-gereja Kristen di pelbagai daerah di Nusantara.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden, tahun 1919 Mulia kembali ke kampung halamannya. Ia kemudian menjadi guru. Setahun kemudian, Mulia diangkat menjadi kepala sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Selain sebagai pendidik, Mulia juga mulai membangun jaringan dengan para aktifis gereja di wilayah Sumatera. Berkat pengalaman yang ia timba dari Belanda dan dukungan jaringan yang meluas, secara perlahan, orang menaruh simpati akan kecerdasan dan keuletannya dalam memperjuangkan dunia pendidikan. Ia pun kemudian ditokohkan.

Pada periode 1920an ini, Mulia sudah terlibat dalam pergerakan nasional. Ia menjadi aktifis Jong Sumatranen Bond (JSB). JSB pada mulanya didirikan pada 9 Desember 1917 dengan tujuan untuk mempersatukan apa yang disebut Nasion Sumatera. 

Organisasi ini awalnya didominasi oleh kaum Muslim yang berasal dari Minangkabau. Mohammad Jamin, Mohammad Hatta, Tengku Mansoer adalah tokoh-tokoh utama JSB. Dalam perkembangannya, JSB kemudian menjadi organisasi yang semakin membesar, meliputi seluruh wilayah Sumatera. Mendengar ada sebuah organisasi pribumi, Mulia beserta rekan-rekannya dari Batak kemudian bergabung. Ia bersama Sanusi Pane dan Amir Syarifuddin, sepupunya, mulai terjun menjadi aktifis JSB.

Namun, perkembangan JSB pada kurun waktu 1922-1925 mengalami kemunduran yang cukup berarti. Hanya segelintir tokoh yang masih aktif di JSB. Di sisi lain, terjadi ketidakpuasan yang meluas, khususnya di kalangan suku Batak. Dimotori oleh Sanusi Pane, kalangan Batak kemudian merintis organisasi Jong Batak. Dalam hal ini, Mulia kemudian bergabung dengan Jong Batak dan pada tahun 1922 ia mewakili suku Batak menjadi anggota Volksraad. 

Mulia menjadi anggota Volksraad dalam masa sidang 1922-1927 dan 1935-1942. Selain menjadi anggota Volksraad, Mulia tetap aktif di CSP. Tahun itu pula, ia menerbitkan sebuah majalah mingguan, Zaman Baroe (New Era). Sebuah media untuk menampung gagasan dan pemikiran kalangan Kristen pada saat itu.

Pengalaman masa-masa perjuangan kemerdekaan menjadi narasi penting dalam kehidupan Todung Sutan Gunung Mulia. Ia terlibat aktif dalam sejumlah organisasi politik dan pendidikan, serta menjadi anggota Volksraad. Dalam rentang waktu yang panjang menuju kemerdekaan itu, Mulia juga dikenal sebagai aktifis gereja. Puncaknya, pada tahun 1928 Mulia pernah mengikuti Konferensi Pengkabaran Injil Sedunia di Jerusalem. Di Konferensi itu, ia bertemu dengan Hendrik Kraemer, yang merupakan sahabat dan gurunya ketika belajar di Universitas Leiden.

Usai mengikuti konferensi itu, banyak ide dan gagasan yang berkecamuk di hati dan kepala Mulia. Dapat ditebak, ia mempunyai keinginan untuk memperluas jaringan pendidikan (Kristen), memperbanyak dan menerjemahkan Alkitab, serta mendirikan organisasi politik (resmi) untuk menampung suara kaum Kristen. Keinginannya tersebut tercapai satu tahun kemudian, yakni dengan mendirikan partai politik Kristen (1929). Nama partai tersebut adalah CEP (Christelijk Etische Partij) yang merupakan partai politik Kristen pertama di Indonesia. CEP kemudian diganti menjadi CSP (Christelijk Staatkundige Partij). 

Pandangan politik CEP saat itu adalah mendukung gagasan perwalian, yakni bahwa hubungan kolonial adalah kehendak Tuhan dalam sejarah yang memberi kewajiban kepada Negeri Belanda untuk membimbing rakyat pribumi menuju kemandirian tanah jajahan yang tetap terikat dengan Negeri Belanda.

Jalan politik pro-kolonial itu tidak memuaskan kalangan progresif Kristen Indonesia, termasuk Mulia, karena mereka mendukung perjuangan kemerdekaan. Karena itu, kalangan “Kristen pribumi” dalam CSP memisahkan diri. 

Pada rentang waktu berikutnya, pada Oktober 1932, pemuda Kristen Batak mengadakan konferensi yang bertempat di Padalarang. Konferensi ini menghasilkan wadah bagi pemuda-pemuda Batak yang dinamakan NKB (Naposobulung Kristen Batak). 

Tujuan NKB itu sendiri adalah untuk menuntun para pemuda Kristen Batak dalam kehidupan Kristiani. Mulia mempunyai peran penting dalam perjalanan NKB, hingga terbentuknya jemaat HKBP Bandung. 

Aktifitas Mulia di dunia pendidikan dan politik terus berlanjut hingga kemerdekaan. Ketika Indonesia memulai babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara, Mulia tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga memainkan peran penting pada masa awal kemerdekaan.

Menjadi Menteri

Keterlibatan Mulia dalam dunia politik terus berlanjut. Pada 18 November 1945, Mulia dan rekan-rekannya mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Empat hari setelah pendirian Parkindo, tepatnya 14 November 1945, Mulia ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Pengajaran menggantikan Ki Hadjar Dewantara. Mulai saat itulah, Mulia bergelut membangun dunia pendidikan kita yang kacau balau sejak pemerintahan Hindia Belanda hingga Jepang.

Mulia menjabat sebagai menteri cukup singkat, yakni dari 14 November 1945 sampai 2 Oktober 1946. Rentang waktu satu tahun, tentu saja merupakan waktu yang singkat untuk menerjemahkan pemikiran dan gagasan Mulia ke dalam kebijakan-kebijakan pendidikan sesuai dengan pengalaman dan harapan masyarakat banyak. 

Namun, patut dicatat sejak menjabat menjadi menteri, Mulia memiliki akses yang cukup luas untuk menghidupkan pendidikan-pendidikan, terutama yang berorientasi dan berlatar belakang agama (Kristen). Pengalaman akan hal tersebut tentu sangat menguntungkannya. Sebab, di kemudian hari setelah purna jabatan, Mulia dan rekan-rekannya dalam komunitas Kristen mulai membangun jaringan pendidikan Kristen yang diakui sangat kuat dan berkualitas hingga saat ini.

Mulia memang seorang aktifis pendidikan. Kendati sudah purna jabatan menjadi Menteri Pengajaran, ia tetap fokus bekerja untuk membangun dunia pendidikan. Tahun 1951, Mulia menjadi Guru Besar Universitas Darurat Indonesia dan Universitas Indonesia. Kemudian pada tahun 1950, ia menjadi pendiri dan ketua pertama Dewan Gereja-Gereja Indonesia (sekarang PGI) tahun 1950-960. 

Pada tahun itu pula, Mulia bersama Mr. Yap Thiam Hien, Benjamin Thomas Philip Sigar, mendirikan sebuah universitas, yang dikenal sebagai Universitas Kristen Indonesia.

Pada 20 Oktober 1966, Vrije Universiteit di Amsterdam menganugerahi Doktor Honoris Causa dalam ilmu theologia. Pada 11 November tahun yang sama, ia wafat di kota tersebut. Jenazah diterbangkan ke tanah air dan dikebumikan di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, Mulia adalah ketua Badan Pengurus Sekolah Tinggi Theologi di Jakarta. 

Sepak terjang Mulia semasa hidup akan dikenang oleh sejarah. Kiprah Gunung Mulia dalam bidang politik, pendidikan, dan kekristenan membuat namanya kemudian diabadikan sebagai nama penerbitan Kristen, BPK (Badan Penerbitan Kristen) Gunung Mulia.

Universitas Kristen Indonesia (UKI), Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, serta sejumlah lembaga keagamaan (Kristen) adalah warisan berharga yang ditinggalkannya. (Fet/dari berbagai sumber)


Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.