Sungai Citarum, Awal Kisah Cinta Sangkuriang

Citarum awalnya dikuasai kerajaan Tarumanegara
Sungai yang tampak meliuk-liuk bagaikan ular itu berawal dari kisah cinta Sangkuriang. (Foto: instagram/friskamt28)

Jakarta, (Tagar 20/2/2019) - Nama Citarum awalnya dikenalkan oleh kerajaan Tarumanegara. Citarum yang berasal dari dua kata, yaitu Ci yang berarti sungai, dan tarum merupakan nama tumbuhan penghasil warna nila, sekaligus tanaman yang tumbuh disekitaran sungai.

Citarum awalnya dikuasai kerajaan Tarumanegara, ketika leluhur mereka mendarat di muara sungai yang ditumbuhi tanaman nila atau taram.  

Semenjak saat itu orang-orang dari kerajaan itulah yang membuat nama sungai tersebut menjadi Citarum. Kemudian mereka membangun pemukiman disepanjang sungai dan menjadikan tanaman taram atau nila sebagai bahan pewarna pakaian.

Melihat tingginya nilai ekonomis tanaman tersebut, kawula kerajaan Tarumanegara giat membudidayakan tanaman tarum disepanjang sungai, dan menjadikan salah satu ladang perdagangan ekspor dari Tarumanegara. Sebab tarum atau nila adalah bahan pewarna biru yang sering digunakan untuk mewarnai jubah kebesaran para bangsawan, di antaranya kaisar Tiongkok.

Tidak hanya untuk warna biru, tanaman itu juga digunakan untuk menghasilkan warna kuning, dan merah. Pada jaman itu menjadi warna favorit kebangsaan. 

Ketiga warna itu memiliki makna tersendiri, seperti warna biru adalah lambang langit sekaligus menjadi warna yang paling sakral sehingga dipakai pada acara-acara ritual keagamaan para kaisar saja, seperti saat menerima tamu. Warna merah lambang besi sebagai kekuatan digunakan pada saat berperang, dan sementara warna kuning adalah lambang tanah yang melambangkan kebijakan.

Menurut penelitian orang-orang Belanda, kualitas bahan pewarna tarum atau nila sungai Citarum (indigofera tinctoria), mengungguli bahan pewarna sejenis dari Italia, dan hanya kalah dari tanaman nila India.

Berkat tanaman tiram atau nila, kerajaan Tarumanegara berkembang dan menjadi makmur, hingga luas wilayah tambah luas menjangkau bagian Jawa Barat, bahkan sampai Lampung. Namun itu tidak berlangsung lama karena pada 1896 Masehi ditemukan pewarna kimia.

Namun melihat dari sisi legendanya, sungai yang tampak meliuk-liuk bagaikan ular itu berawal dari kisah cinta Sangkuriang yang jatuh cinta pada ibu kandung, yang dikaitkan dengan terbentuknya gunung Tangkuban Perahu, dan cerita itu yang sudah tidak asing ditelinga.

Alkisah, pada jaman kerajaan, saat itu sepanjang sungai dihuni oleh  pemeluk agama Hindu yang memuja dewa Brahmana. Sehingga secara rutin melakukan sesaji kurban di puncak gunung berapi di utara lembah Bandung. 

Bukan hanya Brahmana, Dewi Uma istri Batara Guru, konon, datang  untuk mandi disungai Citarum yang jernih airnya. Bagi para bidadari, sungai Citarum merupakan sungai suci, karena para bidadarilah yang menanam tarum disepanjang sungai Citarum.

Tidak hanya mandi, para bidadari sering mengunjungi sungai untuk memanen Citarum untuk dibawa ke suralaya yang akan diubah menjadi bahan pewarna biru, membatik kain dan baju para bidadari dengan aneka motif dan corak dominasi warna biru.

Suatu ketika terjadilah musibah yang menimpa Dewa Brahma. Ketika Dewa Brahma sedang melakukan kunjungan kerja seperti biasanya mendatangi Lembah Bandung, tiba-tiba tanpa sengaja Dewa Brahma melihat Dewi Umma dengan pengiringya sedang mandi di Sungai Citarum. Tentu saja mereka mandi  tanpa mengenakan selembar benang pun yang menutupi tubuh molek Sang Mahadewi dan pengiringnya.

Mengingat Brahmana dikenal dengan kenakalan terhadap perempuan, lupa dan terpesona akan kecantikan Sang Mahadewi Uma, hingga membuatnya marah. Akhirnya Sang Dewi pun langsung mengutuk Dewa Brahmana, yang dinamainya Si Tumang.

Dewi Uma kembali ke kahyangan sementara Si Tumang menjadi penunggu sungai tersebut, dipinggiran lembah Bandung yang luas dan indah.

Kisah dan legenda Sungai Citarum seakan tenggelam, keindahannya mulai menghilang. 2007 menjadi salah satu sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. 

Banyak berdiri deretan pabrik, memenuhi pinggiran sungai, tiga waduk PLTA dibangun, dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu, hingga sekarang masih menjadi membutuhkan penanggulangan. []

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.