Sukses Jatuhkan Ahok, Angka 212 Dipatenkan untuk Bisnis Politik

Aksi massa menggunakan angka-angka tertentu sering dilakukan, angka 212 yang dipatengkan. Seberapa kuat pengaruhnya?
Peserta aksi reuni 212 di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12/2018). (Foto: Antara/Galih Pradipta)

Jakarta, (Tagar 21/2/2019) - Gelombang massa tanggal 2 bulan 12 tahun 2016 adalah bagian aksi yang berhasil menjatuhkan Ahok, tersungkur dari kontestasi Pilkada DKI Jakarta, berakhir di penjara. Tamat sudah karier politik Ahok.

Sejak itu 212 seperti angka keramat, dipakai untuk aksi-aksi berikutnya, bahkan dilembagakan menjadi Persaudaraan Alumni (PA) 212 untuk bisnis politik.

Hal itu disampaikan Kapitra Ampera mantan pengacara Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Tagar News.

Kapitra mengatakan angka 212 telah dipatenkan. Ia yang menguruskannya.  

Jargon-jargon agama semacam gerakan salat berjamaah dipakai untuk penguatan konsolidasi politik massa akar rumput. 

Setelah gerakan salat Subuh berjamaah dan salat Jumat berjamaah, hari ini gerakan salat Magrib berjamaah yang dibungkus dalam nama Malam Munajat 212.

Rizieq Shihab tidak di Indonesia, namun sejak 13 Februari 2019 ia menyerukan pengikutnya meramaikan acara bertajuk Malam Munajat yang akan berlangsung di silang Monas, Jakarta.

"Di kota suci Mekkah Almukaromah, kita bersama-sama menyerukan kepada seluruh umat Islam, kepada seluruh muslim-muslimin, kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersama-sama untuk menyukseskan acara Malam Munajat 212 yang Insya Allah akan digelar pada Kamis, malam Jumat, yaitu pada tanggal 21 Februari 2019," kata Rizieq melalui keterangan videonya yang diunggah di YouTube kanal FRONT TV.

Mengikuti arahan Imam Besarnya yang kini masih berada di Arab Saudi, Ketua Umum GNPF-Ulama Yusuf Muhammad Martak mengatakan panitia acara Munajat 212 akan mengundang sejumlah tokoh politik yang terkait dengan gerakan perjuangan 212, beserta sejumlah ulama dan habaib di tanah air. Salah satu pihak yang diundang dalam acara tersebut adalah capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, acara keagamaan bertajuk Malam Munajat 212 yang akan berlangsung Kamis (21/2) malam di Monas, erat kaitan kepentingan politik, agenda dilaksanakan mendekati momen Pilpres 2019.

Wasisto menerangkan bahwasannya terdapat beban tersendiri bagi ulama yang kadung dicap sebagai salah satu pendukung capres. Sebab, ulama yang selama ini membawa kedok agama ke ranah politik tentu saja memiliki konsekuensi yang cukup besar di hati publik. Terlebih bila capres yang ngotot diusung dengan kedok agama, justru keok dalam kontestasi pilpres yang akan berlangsung pada April mendatang.

Maka itu bagi dia, berbagai upaya akan terus dilakukan, salah satunya dengan menggenjot massa melalui narasi-narasi politisasi agama demi kepentingan politik. Meskipun hal tersebut ia katakan amat rentan berpotensi melanggar aturan pemilu, karena tajuk utama 212 adalah bermunajat.

"Ketika ulama terlabelisasi pendukung capres tertentu, konsekuensinya adalah harus menang. Karena terkait dengan legitimasi ulama. Nah bilamana kalah, tentu berpotesi merusak silaturahmi yang justru mencoreng kredibilitas ulama," ucapnya.

"Itu jelas pelanggaran pemilu karena itu sama saja mengulangi kembali narasi politisasi agama untuk kepentingan politik. Saya pikir dari sudut pandang etika saja sudah salah. Monas itu adalah kawasan nasional yang harusnya untuk kepentingan bersama dan bukan politik praktis. Kalaupun itu esensinya doa bersama, identitas 212 itu dilepas dan cari tempat lain," ujar Wasisto dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar News, Kamis (21/2) dini hari, di Jakarta.

Menurut dia pada pilpres ini semestinya publik sudah bisa melihat secara jeli, mana ulama yang benar-benar berperan membimbing umat, dengan kaum agamais yang menjadi komoditas kepentingan politik.

Mengingat, Indonesia adalah negeri yang heterogen. Di dalamnya terdapat bermacam suku, agama, ras antar golongan, yang tentu saja bukan hanya berkiblat ke Islam saja, tetapi semua yang tinggal di Indonesia harus berfondasikan pada Pancasila.

"Pilpres ini mungkin saat yang tepat untuk menilai mana ulama yang menjadikan agama sebagai komoditas, dan mana ulama yang menjadikan agama sebagai pembimbing umat. Kita bukan bangsa yang mengatasnamakan Islam sebagai fondasi, tapi Pancasila. Jelas, kalau ada masih seperti ini (kedok agama) justru mengkerdilkan Islam," urainya.

"Ya, kalaupun Tengku Zul, Habib Rizieq, dan Babe Haikal itu mendukung Prabowo, itu hak konstitusional mereka. Namun, apabila terlabel ulama pendukung Prabowo dan kalaupun kalah, tentu legitimasi sebagai ulama akan berkurang drastis, karena ternyata selama ini berdakwah untuk kedok politik," kata Wasisto.

Maka itu ia menegaskan, tak tepat rasanya bila membawa-bawa narasi agama ke dalam politik praktis. Sebab, agama sejatinya adalah pedoman hidup. Ironisnya, di Indonesia, ia menilai agama justru dijadikan substansi hawa nafsu dunia.

"Tidaklah elok bawa-bawa agama ke dunia politik praktis, yang itu justru mendesakralisasi makna agama sebagai pedoman hidup. Beragama sekarang ini justru alpa pada soal-soal substansi agama itu sendiri. Artinya, pengejaran nafsu duniawi dengan agama malah justru nantinya menghancurkan agama itu sendiri dari dalam," tandasnya. []

Berita terkait
0
Yang Harus Dilakukan Karyawan Holywings Menurut Wagub DKI
Setelah 12 outlet Holywings dicabut izinnya, serentak 3.000 karyawannya kehilangan pekerjaan. Ini yang harus mereka lakukan menurut Wagub DKI.