Suami Tidak Tanggung Jawab Picu Angka Perceraian di Medan Melonjak

Dari faktor lain yang menyebabkan perkara cerai talak di Kota Medan.
Ilustrasi perceraian. (Foto: Pixabay)

Medan, (Tagar 9/3/2019) - Sepanjang tahun 2018, Pengadilan Agama Medan Kelas I-A menangangani ribuan perkara perceraian. Dari mulai cerai talak (cerai yang diajukan oleh pihak suami/laki-laki), cerai gugat (cerai yang diajukan oleh pihak istri/perempuan).

Permasalahan terbesar di Pengadilan Agama (PA) adalah cerai gugat, di mana jumlah perkara selama tahun 2018 sebanyak 2.620. Namun, dari jumlah tersebut, di pertengahan jalan perkara ada yang dicabut pihak pemohon, ditolak karena berkas tidak lengkap, atau dicoret dari register

Dicabut pihak pemohon misalnya, ada sebab pemohon atau yang mengajukan gugatan cerai berkeinginan kembali kepada termohon (suami atau istri) dengan berbagai sebab.

Dari jumlah 2.620, perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama berkisar 2.238. Sedangkan untuk perkara cerai talak sejumlah 755 dan yang ditangani sebanyak 623 perkara.

Dua ribuan perkara yang masuk dan ditangani Pengadilan Agama Medan Kelas I-A ini kebanyakan ditenggarai tidak adanya kecocokan kedua belah pihak (suami-istri), permasalahan ini mencapai 2.011 perkara. 

Kemudian diteruskan dengan tidak ada tanggung jawab dari pihak suami 245, permasalahan ekonomi 128, menyakiti jasmani (suka memukul/ringan tangan) terhadap istri atau anak 36, krisis moral dari suami atau istri sebanyak 36, poligami tidak resmi, cacat biologis, dihukum, adanya gangguan pihak ketiga dan lain-lain.

Tingkat perkara yang masuk dan ditangani oleh Pengadilan Agama Medan Kelas I-A ini, jauh lebih besar dari tahun sebelumnya (2017). Di mana tingkat perkara yang ditangani untuk cerai gugat sebanyak 1.951 dari 2.292 perkara yang masuk. Sedangkan perkara cerai talak itu ditangani 516 dari 604 perkara.

Perceraian akibat gangguan pihak ketiga 

Dari berbagai perkara yang ditangani Pengadilan Agama Medan Kelas I-A ini memang ditenggarai dengan permasalahan tidak adanya kecocokan. Fakta terungkap bahwa pada tahun 2018, angka perceraian karena gangguan pihak ketiga (selingkuhan, mertua dan sebagainya) mengalami penurunan drastis. Di mana tahun 2018 perceraian karena gangguan pihak ketiga nol perkara, tetapi pada tahun 2017 sebanyak 34 perkara.

Selain itu, perkara krisis moral pada tahun 2018 juga menurun dari tahun 2017. Pada tahun 2018 sebanyak 36 perkara, sementara 2017 mencapai 64 perkara.

Panitera Pengadilan Agama MedanPanitera Pengadilan Agama Medan Kelas I-A, Drs Muslih MH bersama dengan Panitera Muda Hukun Husna Ulfa SH dan Penitera Muda Permohonan H Sabri SH diruangan kerjanya (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

Narkoba dan media sosial jadi pemicu perceraian

Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga menjadi pemicu tingginya angka perceraian sepanjang tahun 2018 di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A. Permasalahan itu timbul karena beberapa faktor lainnya. Akhir-akhir ini lagi mencuat yaitu perkara narkoba dan maupun media sosial (medsos).

Misalnya, seorang suami atau istri melakukan komunikasi atau bahkan jadi selingkuh melalui Facebook, Whatsapp dan sebagainya. Lalu, karena seorang suami menjadi pemakai (pecandu) narkoba. Sehingga keluarga jadi tidak harmonis.

Faktor narkoba dan medsos masuk ke dalam golongan krisis moral yang mencapai 64 perkara pada tahun 2018, dan 36 perkara di tahun 2017.

Kepala Pengadilan Agama Medan Kelas I-A melalui Panitera Pengadilan Agama Medan, Drs Muslih MH didampingi dengan Panitera Muda Hukun Husna Ulfa SH dan Penitera Muda Permohonan H Sabri SH mengakui angka perceraian meningkat sepanjang tahun 2018.

Menurut Muslih, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian dan paling banyak disebabkan karena tidak adanya keharmonisan dalam keluarga.

Di antaranya poligami tidak sehat, krisis moral, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, menyakiti jasmani, dihukum, cacat biologis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan dan lainnya.

Ditunjang dari penyebabnya, Muslih menjelaskan sejumlah indikator, di antaranya poligami tidak sehat yaitu pihak suami atau istri menikah lagi secara diam dan sembunyi (tanpa diketahui), sementara krisis moral adalah suami suka bermain judi dan mabuk, cemburu yaitu kedua belah pihak memiliki hubungan dengan pihak lain secara sembunyi, dan cacat biologis yaitu hubungan seks suami istri tidak harmonis.

"Jadi kita (di Pengadilan Agama) ini selalu melakukan mediator agar pemohon atau penggugat dan tergugat untuk rujuk kembali atau agar tidak bercerai," ujar Drs Muslih MH kepada Tagar News.

Menurut Muslih, mediator selalu dilakukan berulang-ulang agar perceraian tidak terjadi. Tetapi jika mediator tidak berhasil, maka akan dilaporkan ke hakim kemudian dijadwalkan sidang.

"Dalam sidang majelis hakim juga selalu melakukan mediator agar tidak bercerai, sampai terjadilah putusan sidang," ungkapnya.

Semasa persidangan berjalan, apabila pemohon dan termohon ingin rujuk dengan berbagai hal. Maka pengadilan tetap akan memenuhi keinginan pemohon dan termohon.

Orangtua dan tokoh agama berkontribusi turunkan angka perceraian

Muslih MH menuturkan orangtua dan tokoh agama bisa menjadi faktor penentu berkurangnya angka perceraian di Kota Medan. Muslih menilai, Pengadilan Agama memiliki tupoksi memediasi perkara masuk dan memutuskan perkara yang tidak bisa dimediasi lagi.

"Jadi pertama orangtua dari kedua belah pihak (pemohon dan termohon) selalu kita ambil keterangannya sebagai saksi. Setiap permasalahan pasangan suami dan istri pastinya orangtua mengetahui, jadi orangtua bisa mencegah agar tidak terjadi perceraian. Sedangkan pemuka agama melalui ceramah bisa memberikan pemahaman terkait dampak dari perceraian," tandas Muslih.

Baca juga: Ketidakharmonisan Menjadi Penyebab Terbanyak Perceraian di Siantar

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.