Untuk Indonesia

Siswi SD Dihukum Push Up 100 Kali Karena Belum Bayar SPP

Suatu hari seorang temanku dengan wajah marah mengatakan akan pergi ke sekolah anaknya. - Tulisan Denny Siregar
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Oleh: Denny Siregar*

"Mau ke mana?" Tanyaku pada seorang teman.

"Ke sekolah anakku." Jawabnya dengan nada kesal. 

"Kenapa kamu marah?" Tanyaku lagi heran melihat raut mukanya yang marah.

"Aku mau menghadap kepala sekolahnya. Anakku pas UAS ini mau dipisahkan dari teman-teman sekolahnya, disuruh ujian di ruang berbeda sendirian, karena aku belum bayar sekolahnya. Mau kubilang ke Kepseknya, hei dengar ya, urusan bayar sekolah urusan saya bapaknya. Urusan anak saya adalah belajar, bukan ngurusin bayaran!!"

Itu peristiwa sekian tahun lalu.

Dan percakapan itu muncul kembali dalam memoriku ketika membaca berita seorang siswi di SD Bojonggede Bogor, disuruh push up 100 kali (demmm) oleh Kepseknya karena orang tuanya belum bayar SPP 10 bulan.

Ini jelas bentuk kekerasan.

Seorang anak - apalagi dia seorang siswi - dipaksa push up 100 kali itu sungguh keterlaluan. Bagaimana kalau dia kelelahan dan kemudian meninggal? Layakkah SPP 10 bulan itu mengganti nyawanya?

Apa pun kisahnya, apa yang dilakukan Kepsek SD di Bogor itu jelas kesalahan besar. Banyak cara yang bisa dilakukan supaya ada jalan tengah, daripada mengorbankan psikis seorang siswi yang akhirnya trauma dan tidak mau lagi ke sekolah untuk belajar.

Komisi Perlindungan Anak KPAI pun marah besar mendengar berita ini. Bagaimana bisa seorang Kepsek yang jelas berpendidikan menghukum siswinya dengan hukuman yang tidak mendidik?

Anak tugasnya belajar, bukan mengurus bagaimana membayar sekolah tiap bulan dan segala macam pembayaran lainnya. Sudah seharusnya ada larangan keras kepada seluruh Kepala Sekolah di seluruh Indonesia oleh Dinas Pendidikan untuk menagih SPP ke anak didiknya.

Sekarang sudah zaman WhatsApp. Bikin grup sekolah dengan orangtua untuk urusan pembayaran dan lain-lain. Jangan menyiksa mental seorang anak didik dengan masalah selain pelajaran. Apalagi membuat dia malu di depan teman-teman lainnya.

Anak adalah masa depan bangsa. Sudah seharusnya mereka dijaga dari model-model trauma seperti bullyan baik dalam bentuk kata apalagi tindakan seperti hukuman push up 100 kali yang tidak bermoral itu.

Saya pun akan seperti teman saya, jika anak saya di sekolah mendapat perlakuan seperti itu. Saya akan gertak kepala sekolahnya, kasus ini akan saya bawa ke dinas pendidikan. Sayang, tidak banyak orangtua seberani teman saya. Mereka biasanya diam, mungkin karena malu, dan akhirnya anaknya lah yang menjadi korban..

Semoga kasus kekerasan ini menjadi pelajaran bagi kita untuk menjaga anak dari semua kekerasan baik fisik dan psikis karena itu akan sangat berpengaruh untuk perkembangan jiwa mereka ke depan.

Seruput kopinya.

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Kesehatan dan Hak Reproduksi Adalah Hak Dasar
Membatasi akses aborsi tidak mencegah orang untuk melakukan aborsi, hal itu justru hanya membuatnya menjadi lebih berisiko mematikan