Jakarta - Sosiolog Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis menjelaskan klaim Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, memiliki pola yang sama seperti kelompok yang berusaha membentuk aliran kepercayaan baru tetapi menggunakan bentuk lain untuk mendapatkan kredibilitas dan menghindari label sesat.
"Ini pendekatannya bukan sosiologis administratif tapi supranatural dan spiritual. Jadi dasar dia mengklaim sebagai kerajaan adalah dia mungkin mendapat insight (wawasan) berupa kekuatan supranatural tertentu atau dia mendapat akses dengan katakanlah sumber-sumber supranatural tertentu katakan lah seperti benda atau kitab," ujarnya di Jakarta pada Selasa, 14 januari 2020.
Jadi itu bercampur baur dengan orang yang mungkin punya keyakinan bahwa dia punya akses supranatural tertentu.
Menurutnya, pendiri Keraton Agung Sejagat, Totok Santosa Hadiningrat mencari alternatif harapan di tengah situasi kehidupan, hal itu yang menyebabkan ratusan orang tertarik menjadi pengikutnya.
"Ini bukan proses tiba-tiba. Ini pasti proses yang panjang, saya yakin bisa bulanan bahkan bisa tahunan. Dia bisa mulai dari keluarga, dari istri, anak, kemudian teman anaknya, tetangganya," kata dia.
Keraton Agung Sejagat adalah sebuah kelompok yang dibentuk oleh Totok Santosa Hadiningrat di Kabupatan Purworejo, Jawa Tengah.
Dia sendiri dipanggil sebagai 'Sinuwun' dengan istrinya mendapat panggilan 'Kanjeng Ratu'. Masyarakat mulai membicarakan keberadaan keraton itu usai kelompok bentukan Totok menggelar wilujengan dan kirab budaya.
Keterangan sementara terdapat sekitar 450 orang yang menjadi pengikut keraton yang mengklaim sebagai kekaisaran dunia dan merupakan penerus Kerajaan Majapahit.
Menurut Rissalwan Habdy Lubis proses politik dan ekonomi mungkin berpengaruh terhadap masyarakat yang berada di akar rumput dan membuat mereka mencari harapan di tempat lain.
"Di bawah ini mereka mencari alternatif-alternatif lain dan itu suatu hal yang wajar. Jadi itu bercampur baur dengan orang yang mungkin punya keyakinan bahwa dia punya akses supranatural tertentu," katanya.
Selain itu, kata dia, ada kemungkinan pendiri Keraton Agung Sejagat juga ikut mencampur konteks historis dan budaya sebagai bungkus untuk menarik pengikut.
Hal itu diikuti dengan konteks supranatural saat kelompok tersebut mengaku sebagai penerus dinasti Majapahit dan menjadi pemilik kekuasaan tertinggi di dunia.
Pola pembentukannya sendiri, kata Rissalwan, serupa dengan pendiri aliran kepercayaan baru yang sempat menghebohkan Indonesia seperti kelompok LIa Eden dan Gafatar, yang bahkan sempat memiliki ribuan pengikut.
Yang membedakan kelompok Totok dengan pendahulunya, kata dia, adalah tidak mengklaim unsur agama, tetapi menggunakan metode formal seperti pembentukan kerajaan, keraton atau negara.
Sampai saat ini kepolisian setempat masih mendalami alasan berdirinya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, meski wakil dari kelompok tersebut membantah mereka adalah aliran sesat yang bisa meresahkan masyarakat. []