Sisi Gelap Piala Dunia, Upah Rendah Buruh Sepatu Adidas dan Nike

Sisi gelap Piala Dunia, upah rendah buruh sepatu Adidas dan Nike, eksploitasi dan penderitaan yang ekstrem.
Sisi Gelap Piala Dunia, Upah Rendah Buruh Sepatu Adidas dan Nike | Sebanyak 83 orang anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia beserta jaringan mengggelar demonstrasi di Kedubes Jerman, Jakarta, Pusat, Kamis 15/3/2018. (foto: infogsbi.org)

Jakarta, (Tagar 3/7/2018) - Di balik gemerlap Piala Dunia ada jeritan buruh pembuat sepatu Adidas dan Nike, dua sponsor Piala Dunia. Para buruh sepatu pada dua merek itu dikabarkan mendapat upah rendah, kontradiktif dengan bayaran para pemain bola yang mahalnya fantastis. 

Dilansir Reuters, Clean Clothes Campaign (CCC) mendesak produsen Adidas dan Nike untuk memastikan upah yang adil bagi pekerja Asia yang membuat sepatu untuk pemain Piala Dunia.

CCC adalah aliansi serikat buruh dan organisasi non-pemerintah industri garmen terbesar. Kampanye masyarakat sipil berfokus pada peningkatan kondisi kerja di industri garmen dan olahraga. Dibentuk di Belanda pada tahun 1989, CCC mengadakan kampanye di 15 negara Eropa, yaitu Austria, Belgia (Utara dan Selatan), Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Italia, Irlandia, Belanda, Norwegia, Polandia, Spanyol, Swedia, Swiss dan Kerajaan Inggris. CCC bekerja dengan jaringan mitra lebih dari 250 organisasi di seluruh dunia.

CCC menyerukan klub olahraga raksasa Adidas dan Nike - dua sponsor utama Piala Dunia - harus memastikan pekerja di pabrik pemasok Asia mereka dibayar dengan upah yang adil karena bagian mereka dari biaya produksi berkurang.

Bagian dari apa yang Adidas dan Nike habiskan untuk membuat sepasang sepatu yang masuk ke kantong pekerja telah jatuh sejak awal 1990-an, kata CCC, mengutip pergeseran manufaktur dari China ke negara-negara lebih murah seperti Indonesia.

"Bagian dari biaya produksi sepatu Nike dan Adidas yang berakhir di kantong pekerja sekarang mengejutkan, 30 persen lebih rendah dibandingkan pada awal 1990-an (2,5 persen pada 2017 untuk sepatu Nike dibandingkan dengan 4 persen pada tahun 1995)," kata CCC.

"Merek-merek memutuskan untuk menghabiskan uang mereka untuk pemain sepak bola daripada para pekerja menjahit baju dan sepatu mereka," lanjut pernyataan itu.

Adidas dan Nike, yang mengeluarkan 22 dari 32 tim di turnamen sepak bola di Rusia, telah memindahkan sebagian besar sumber mereka ke Indonesia, Kamboja dan Vietnam, di mana upah lebih rendah dan pelanggaran tenaga kerja meluas, kata CCC.

Di tiga negara, gaji rata-rata pekerja garmen adalah 45 hingga 65 persen di bawah apa yang disebut 'upah hidup' yang akan memungkinkan mereka untuk menutupi kebutuhan dasar keluarga mereka, kata koalisi global serikat pekerja, pekerja dan kelompok hak asasi manusia.

Kata Nike

Merek AS Nike mengatakan pemasoknya harus membayar karyawan mereka setidaknya upah minimum lokal atau upah yang berlaku, termasuk premi untuk lembur yang bekerja dan tunjangan yang diwajibkan secara hukum.

"Kami tetap berinvestasi dalam percakapan dengan pemerintah, produsen, LSM, merek, serikat pekerja, dan pekerja pabrik untuk mendukung perubahan sistemik yang tahan lama," kata juru bicara Nike.

Kata Adidas

Adidas Jerman mengatakan mereka mematuhi kondisi kerja yang aman dan upah yang adil di seluruh rantai pasokannya, dan mewajibkan pemasok untuk membayar setidaknya upah minimum yang diwajibkan oleh hukum.

"Upah bulanan rata-rata pekerja produksi dalam fasilitas yang Adidas bekerja dengan di Indonesia saat ini jauh di atas upah minimum saat ini," kata seorang juru bicara Adidas.

Eksploitasi Ekstrem

Sebagian besar pakaian olahraga Adidas dan Nike dibuat di Indonesia, di mana 80 persen pekerja pada sektor garmen adalah wanita dan beberapa lainnya hanya memiliki 86 euro ($ 102) per bulan sementara yang lain tidak mendapatkan upah minimum resmi, menurut CCC.

Upah mingguan seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan memberi mereka penghasilan tambahan untuk memperbaiki hidup mereka agar terhindar dari "terjebak dalam siklus kemiskinan", menurut Martin Buttle dari Ethical Trading Initiative (ETI).

"Merek seperti Nike dan Adidas perlu mengambil tanggung jawab mereka dengan serius, dan membayar pemasok dengan harga yang adil," Buttle mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation. 

"Kegagalan melakukan itu sering dapat mengakibatkan gaji rendah dan kondisi buruk," tambahnya.

Setelah menandatangani perjanjian pada 2011 tentang hak-hak serikat pekerja di Indonesia, Nike dan Adidas sekarang harus menindaklanjuti janji mereka untuk menangani keamanan kerja dan upah hidup, kata CCC.

"Ini adalah masalah jangka panjang upah tingkat kemiskinan, merek menekan harga yang kemudian berdampak pada pekerja," kata Anannya Bhattacharjee dari Aliansi Penghasilan Lantai Asia (AFWA), sebuah kelompok yang mewakili pekerja garmen.

"Sepak bola adalah olahraga yang menginspirasi tetapi apa yang perlu diingat oleh setiap orang adalah bahwa tenaga kerja yang berjalan di belakang layar untuk pakaian olahragawan yang inspiratif adalah eksploitasi dan penderitaan yang ekstrem," kata Bhattacharjee. "Itulah yang harus kita hentikan."

Piala Dunia 2014

Empat tahun lalu tepatnya pada momen Piala Dunia 2014 Adidas dan Nike bagaimana mereka memperlakukan para buruhnya, juga mendapat sorotan dunia, khususnya Indonesia. 

Gabungan Serikat Buruh Indonesia(GSBI) membuat siaran pers di laman resminya, menyatakan bahwa Piala Dunia disponsori oleh buruh murah dan mudah dipecat.

"Ayo tebak, siapa pemenang Piala Dunia 2014? Siapa tim favorit Anda di Piala Dunia 2014 yang akan dilangsungkan di Brazil?" ujar siaran pers itu.

Piala Dunia ajang bergengsi, para pemain kelas dunia adu kekuatan dan unjuk kebolehan. Piala Dunia 2014 disponsori oleh dua merek ternama, Adidas dan Nike.

Di ajang Piala Dunia, dua sponsor tersebut bertarung merebut para konsumen. Untuk menggaet konsumen, Adidas telah mengontrak pemain sepakbola asal Argentina, Lionel Messi. Sementara Nike membayar bintang sepakbola asal Brazil, Neymar. Hebat bukan?

Piala Dunia merupakan ajang mencetak laba, sebanyak-banyaknya. Sejauh ini Nike maupun Adidas meraup keuntungan lebih dari 5 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 57 triliun per tahun. Dari ajang Piala Dunia, CEO Adidas Herbert Hainer mengatakan, menargetkan penjualan 2 miliar euro atau 2,8 miliar dollar AS.  Sementara Nike akan mengantongi laba sebesar Rp 2 miliar dolar AS.

Dari mana dan bagaimana keuntungan Adidas dan Nike diperoleh? Jika tidak ada manusia yang merakit bahan baku dan menggerakkan mesin, apakah pakaian olahraga Nike dan Adidas dapat diperdagangkan? Untuk siapa keuntungan tersebut?

Dari harap-cemas pemenang Piala Dunia 2014, dari hiruk pikuk dukung-mendukung pemenangan calon presiden 2014, mari rehat sejenak. Mari melihat ke pojok pabrik, dalam kontrakan-kontrakan kumuh dan sempit, dalam wajah kumal makhluk Tuhan yang dinamai buruh. Mereka yang membuat pakaian olahraga Nike dan Adidas. Setiap detik diancam dengan ketidakpastian kerja dan pendapatan serta mahalnya barang-barang kebutuhan pokok.

Contoh mencolok keadaan di atas dialami oleh buruh di PT Panarub Dwikarya Tangerang Banten. Di antara produk PT Panarub Dwi Karya adalah Adidas. 12 Juli mendatang,  genap dua tahun penderitaan dan penyiksaan yang dialami. Dua tahun lalu, protes terhadap kesulitan mendapatkan cuti dan waktu istirahat yang cukup, bahkan untuk keperluan ibadah dan minum, berbuah penyingkiran. 

Kami juga protes terhadap pembayaran upah minimum yang tidak sesuai dengan peraturan upah minimum. Buruh dibayar Rp 1.300.000 padahal ketetapan upah minimum Rp 1.682.000. Di setiap line produksi, dua orang buruh dipaksa menghasilkan 140 pasang sepatu per jam. Dalam delapan jam, dua orang buruh menghasilkan 1.120 pasang sepatu. Ini baru di satu pabrik. Silakan dikalikan dengan ribuan pabrik yang ada di Indonesia dan ditambah di Asia.

Tahukah Anda, jika buruh tidak mampu memenuhi target? Mereka akan dibentak, dicacimaki, dan dibuang. Layaknya barang usang. Masuk tong sampah.

Berkali-kali mengadu kepada perwakilan Adidas Indonesia. Apa yang dikatakannya. Departemen sosial dan lingkungan grup Adidas, Adelina Simanjuntak mengatakan, "Tidak hari ini, besok atau tahun depan, Adidas sudah tidak akan ikut campur dalam masalah buruh Panarub Dwikarya."

Dan benar hingga sekarang persoalan 1.300 buruh PT Panarub Dwi Karya terkatung-katung tanpa penyelesaian. Seperti pada Kamis 15 Maret 2018 sebanyak 83 orang anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia beserta jaringan mengggelar demontrasi di Kedutaan Besar Jerman di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka menuntut penyelesaian kasus 1.300 buruh PT Panarub Dwi Karya. (af)

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.