Sembalun yang Mempesona Kini Bagai Kota Hantu

Sembalun yang mempesona kini bagai kota hantu. Petani tidak berani ke ladang. Warga yang semula bekerja kehilangan nafkah. Hotel dan penginapan lumpuh ditambah dengan kondisi bangunan yang retak-retak.
Seorang anak menangis dipelukan ibunya di Posko pengungsian korban gempa bumi Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (2/8/2018). Pengungsi di daerah tersebut mengaku membutuhkan bantuan obat-obatan dan perlengkapan serta tenaga medis yang selalu siaga di posko pengungsian Desa Sajang. (Foto: Ant/Ahmad Subaidi)

Mataram, (Tagar 22/8/2018) – Siluet Gunung Rinjani dan Bukit Pegasingan terlihat samar seusai hujan sepanjang Selasa (21/8) sore hingga malam, menambah kesenduan Sembalun yang dulu selalu ramai oleh hilir mudik para pendaki gunung dan kini senyap setelah diguncang gempa.

Nama Sembaluna tidak asing bagi para pelancong khususnya pendaki gunung, yaitu kawasan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan pintu masuk menuju jalur pendakian ke Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 Meter di atas permukaan laut (Mdpl).

Terlebih lagi pada setiap Juli dan Agustus yang merupakan musim pendakian. Tempat itu selalu dipenuhi para pendaki bahkan tidak jarang para pendaki harus tidur di jalanan dengan menggunakan matras atau tenda akibat kamar hotel atau penginapan sudah habis dipesan tamu sebelum mereka mendaki ke Gunung Rinjani.

KORBAN GEMPA BERTAHAN DI PENGUNGSIANRelawan memijat kaki korban gempa di tenda Posko Pengungsian Desa Madayin, Sambelia, Selong, Lombok Timur, NTB, Sabtu (4/8/2018). Korban gempa bumi di hari keenam pasca gempa di Kecamatan Sambelia dan Sembalun masih bertahan di posko pengungsian karena trauma dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih bergantung pada bantuan. (Foto: Ant/Ahmad Subaidi)

Pasca-gempa 6,4 Skala Richter (SR) pada 29 Juli 2018 yang berujung evakuasi ratusan pendaki dari gunung tersebut, pesona Desa Sembalun itu berbalik seratus delapan puluh derajat bak menjadi kota hantu. Terlebih lagi dengan berulang kali gempa susulan di antaranya gempa terbesar pada 5 Agustus 2018 dengan kekuatan 7 SR dan 19 Agustus 2018 dengan 6,9 SR.

Jalan aspal mulus yang menyambung dari Kecamatan Sambalia, Lombok Timur, kini sepi yang ada hanya sesekali kendaraan motor milik warga atau mobil pengangkut logistik dari relawan. Hotel dan penginapan lumpuh sama sekali karena ketiadaan pengunjung ditambah dengan kondisi bangunan yang sudah retak-retak.

Petani juga tidak berani ke ladang mengingat tanah masih labil setelah perbukitan di daerah itu juga longsor. Sebagian warga yang semula bekerja sebagai pembawa barang sekaligus pemandu menuju Taman Nasional Gunung Rinjani juga kehilangan nafkah.

Saat ini, Sembalun menjadi kota mati. Cuaca pun terasa semakin muram dengan suhu yang menembus angka 10 derajat celcius.

"Tidak ada pengunjung, sekarang kita pun jadi pengungsi. Biasanya Juli dan Agustus ini puncak pendakian. Banyak turis lokal dan asing," kata Fia, pedagang makanan di Sembalun.

Siklus Gunung Rinjani sudah terjadwal setiap tahunnya, yakni dari Januari sampai Maret, pendakian ke gunung itu ditutup kemudian dibuka pada 1 April sampai Desember. Khususnya Juli dan Agustus merupakan musim liburan yang ditandai dengan banyaknya pendaki.

Banyaknya pendaki, berarti menambah denyut nadi kehidupan masyarakat setempat. Warga mengandalkan kehidupan dari dunia pariwisata minat khusus itu. Untuk mengisi ditutupnya pendakian ke Rinjani pada Januari sampai Maret, para warga menawarkan paket pendakian ke Bukit Pegasingan, Bukit Anak Dara dan Bukit Selong serta Bukit Telaga. Namun kembali lagi, harapan mendapatkan sampingan terkubur setelah terjadinya longsoran di kedua bukit itu pasca gempa.

"Kami sekarang butuh bantuan terpal dan beras atau sembilan bahan pokok lainnya," kata Mumuh salah seorang guide.

Beras atau sembako, menjadi kebutuhan penting juga karena mereka sudah tidak memiliki uang.

"Sudah sebulan tidak mengantar turis ke Rinjani, uang sama sekali tidak ada," kata Mumuh.
Sementara itu, Koordinator Publikasi Sembalun Community Development Centre (SCDC) Rosidin Sembahulun menyebutkan keluhan warga atas berkurangnya pendapatan sudah dirasakan sejak gempa 6,4 SR pada 29 Juli 2018.

"Banyak warga yang menggantungkan hidup dari Gunung Rinjani, semuanya saling berkaitan dengan pemilik hotel/restoran, warung makanan, sampai petani," kata Rosidin.

Dengan adanya kondisi bencana alam seperti ini, kata dia, banyak yang menjadi penganggur dan lebih sibuk menyelamatkan keluarganya masing-masing. "Rekan-rekan paling-paling saat ini membantu relawan yang akan menyumbangkan bantuan kepada korban bencana," ujarnya.

Dia menceritakan bagaimana jatuh bangun membangun dunia pariwisata pendakian gunung Rinjani bersama tokoh pemuda setempat yang menjadi Ketua SCDC, Royal Sembahulun.

"Setelah Gunung Rinjani mendapatkan award sekitar 2002 atau 2003 sebagai gunung terbersih dan terindah dari lembaga dunia, jumlah pengunjung ke Gunung Rinjani meningkat," jelasnya.

"Boomingnya terjadi pada 2008 hingga Bang Royal mendirikan SCDC itu," imbuhnya.

Pada 2007, dirinya bersama Ketua SCDC mengantarkan salah seorang pemilik LSM/NGO di Amerika Serikat yang kemudian berlanjut menawarkan apa keinginan dari warga Sembalun untuk pengembangan wisata daerah tersebut.

“Mengingat sebelumnya warga AS itu, menilai Sembalun itu kotor primitif," ucapnya.

Keinginan dari tokoh pemuda itu, yakni ingin mengembangkan masyarakat Sembalun dari sektor pariwisata terutama guide karena sebelumnya kebanyakan guide berasal dari luar Sembalun. Hingga dibentuk upaya membangun sumber daya masyarakat setempat melalui pelatihan Bahasa Inggris dan bidang Teknologi Informasi.

"Awalnya yang ikut pelatihan bahasa Inggris saja ada 15 guide, sekarang sudah tumbuh sampai ratusan orang," tuturnya.

Bahkan warga pun berinisiatif membuka paket pendakian di luar Gunung Rinjani jika ditutup oleh pengelola TNGR, yakni pendakian Bukit Pegasingan, Bukit Anak Dara dan Bukit Selong serta Bukit Telaga.

Kini, warga yang menggantungkan hidup dari Gunung Rinjani menunggu berakhirnya guncangan gempa, dan mereka tetap optimistis bahwa pariwisata di daerahnya tidak akan mati.

Mereka akan bangkit menata kembali potensi alam yang bisa ditawarkan sebagai obyek wisata untuk menghidupi keluarganya. (Riza Fahriza/ant)

Berita terkait