Seknas Jokowi: Pasal Penghinaan, Penghina Jokowi yang Sebenarnya Takut

"Saya menangkap kesan, para pembenci dan politisi anti Jokowi lah yang ketakutan sendiri jika pasal penghinaan diberlakukan di dalam KUHP yang baru," ujar Dedy.
Presiden Joko Widodo (Foto: Gilang)

Jakarta, (Tagar 11/2/2018) - Rencana pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan KUHP disertai dengan “delik umum” langsung menuai kontroversi.

Banyak kalangan ahli, politisi dan aktifis HAM menolak kembalinya pasal penghinaan itu. Mereka menolak setidaknya ada dua alasan. Pertama, karena sejarah kelam pasal karet ini sejak zaman penjajah Belanda hingga zaman rezim Orde Baru. Kedua, pasal tersebut bisa jadi senjata penguasa untuk membungkam sikap kritis masyarakat.

Dedy Mawardi, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Sekretariat Nasional Jokowi (Seknas Jokowi) menilai kekhawatiran itu bisa dimaklumi jika dikaitkan dengan pelaksanaan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

"Namun jadi tidak rasional jika kembalinya pasal penghinaan itu diolah oleh para pembenci (haters) dan politisi seperti Fadli Zon atau Fahri Hamzah dan dikaitkan langsung dengan Presiden Jokowi," kata Dedy dalam siaran pers yang diterima Tagar News, Minggu (11/2).

Menurut Dedy, kembalinya pasal penghinaan itu dikesankan karena perintah Presiden Jokowi dan dikesankan seolah-olah Presiden Jokowi takut dikritik dan anti kritik.

"Padahal sejatinya tidak seperti itu. Bahkan saya menangkap kesan, para pembenci dan politisi anti Jokowi lah yang ketakutan sendiri jika pasal penghinaan diberlakukan di dalam KUHP yang baru," ujar Dedy.

Dia menambahkan para pembenci Jokowi takut tidak bisa lagi dengan bebas menghina, mem-bully, mencaci-maki dengan oral maupun gambar Presiden Jokowi dan keluarganya sebagaimana yang mereka dilakukan selama ini.

"Apakah dengan cara menghina dan mengkritik yang sudah diluar batas etika dan kesopanan itu membuat Presiden Jokowi marah?

Faktanya kan tidak," tambahnya.

Menurut Dedy, Presiden Jokowi menjawab semua hinaan dan kritik itu dengan jiwa kenegarawannya, dijawab dengan santun, dengan senyum bahkan terkesan cuek, malah hinaan itu dijadikan bahan guyonan.

"Walaupun sudah dihina dan dikritik, namun tidak ada perintah Presiden Jokowi untuk menangkapi dan mengirim para pengkritik dan para pembencinya itu ke LP Nusakambangan seperti zaman Orde Baru dulu," kata Dedy.

"Menurut saya, kembalinya pasal penghinaan di dalam RKUHP itu didasarkan pada kenyataan selama tiga tahun terakhir ini. Dimana penghinaan terhadap Presiden Jokowi dan pejabat publik lainnya sudah di luar batas etika, kesopanan dan kewajaran bahkan penghinaan itu sudah mengarah kepada perpecahan bangsa dan negara."

Menurutnya tidak ada yang keliru jika negara atau pemerintah membatasi penggunaan hak kebebasan demi keteraturan dan ketertiban masyarakat.

"Pemerintah hanya ingin melindungi lambang dan simbol Negara RI dari kebebasan berpendapat yang membabi buta," tutupnya. (Fet)

Berita terkait
0
Relawan Samatri Kota Bekasi Gelar Fogging Basmi Nyamuk DBD
Samatri adalah salah satu relawan militan pendukung Plt Wali Kota Bekasi Tri Adhianto dalam mensukseskan progam-program masyarakat.