Segera! Akhiri Kekerasan Anak di Siantar

Segera! Akhiri kekerasan anak di Siantar. “Karena angka kejahatan terhadap anak terus meningkat, penegakan hukumnya sangat lemah,” kata Arist Merdeka Sirait.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait. (Foto: Ist)

Pematangsiantar, (Tagar 16/3/2018) - Peristiwa pelanggaran hak anak di Kota Siantar akhir-akhir ini cukup mengundang keprihatinan dan kemarahan mendalam.

Data yang dikumpulkan Kantor Lembaga Perlindungan Anak (LPA) sebagai kantor Mitra Kom Perlindungan Anak di Pematangsiantar, Sumatera Utara menyebutkan, peristiwa-peristiwa pelanggaran hak anak di kota ini angkanya terus meningkat. Sebaran kasusnya juga merata, terjadi dari lorong ke lorong, dari satu kelurahan ke kelurahan lainnya, dan dari sekolah ke sekolah lainnya pula.

Ironisnya, fakta menunjukkan para predatornya atau pemangsanya justru datang dari sekitar lingkungan terdekat anak, baik di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan sosial anak bahkan rumah, panti atau pondok-pondok sosial anak yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menjaga dan melindungi anak.

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, dari data yang dikumpulkan dan dilaporkan kepada Komnas Perlindungan Anak perwakilan Siantar menunjukkan bahwa 52% dari kasus-kasus yang dilaporkan didominasi kasus kekerasan seksual, baik yang dilakukan secara perorangan oleh orang terdekat korban yang juga dilakukan dengan cara bergerombol (geng rape) dengan perlakuan sadis.

Penegakan Hukum Lemah

Arist menggambarkan, lingkungan rumah, tempat bermain anak bahkan lingkungan sekolah tidak lagi memberikan rasa nyaman dari ancaman kejahatan terhadap anak.

Menurut Arist, aksi untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak di Siantar sudah tiba saatnya untuk segera dilakukan oleh semua komponen masyarakat lintas profesi dan latar belakang.

“Karena angka kejahatan terhadap anak terus meningkat dan tak henti, sementara penegakan hukumnya sangat lemah dan tidak membuat efek jera serta berkeadilan bagi korban,” ujar Arist.

Dari tahun 2017, kata Arist, Komnas Perlindungan Anak mendapat laporan 69 kasus pelanggaran hak anak di kota ini, di mana 39 kasus adalah kasus kekerasan seksual baik yang dilakukan secara perorangan dalam lingkungan terdekat anak yakni rumah dan sekolah. Kemudian, sepanjang dua bulan di tahun 2018 Januari-Februari dilaporkan 12 kasus didominasi kasus kekerasan seksual juga.

Sementara penegakan hukumnya masih sangat lemah dan tidak berkeadilan bagi korban. Fakta yang sulit untuk tidak dibantah kasus kejahatan seksual yang terjadi di tahun 2017 yang diajukan di Pengadilan Negeri Siantar, putusannya sangat menyakitkan.

“Dua pelaku kasus di antaranya dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan satu kasus penganiayaan dan penghilangan hak hidup secara paksa anak balita di daerah Tomuan Siantar juga dinyatakan bebas hanya karena kurang bukti. Dari minimnya bukti yang diajukan penyidik tersebut membuktikan lemah sumberdaya penyidik untuk kasus-kasus anak di Siantar,” jelas Arist.

Dia juga mengungkapkan, dari pengamatan Komnas Perlindungan Anak selama memberikan pendampingan bagi korban kasus kekerasan seksual anak, penanganan kasus-kasus anak tersebut belum dilakukan dalam pendekatan sensitif anak sebagai korban.

Di samping keterbatasan tenaga penyidik khusus anak baik di tingkat Polres maupun polsek di wilayah hukum Siantar juga minimnya pemahaman dan keberpihakan aparatur penegak hukum, baik di lingkungan penyidik, penuntut umum, pembela maupun hakim. “Di samping keterbatas polisi sebagai penyidik anak, Jaksa Anak dan Hakim Anak di lingkungan lembaga penegak hukum di Siantar,” tandasnya.

Fakta-fakta dan pengalaman empirik Komnas Perlindungan Anak dalam mendampingi dan memberikan pembelaan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual anak di Siantar, di pandang perlu untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak di kota ini tidak cukup hanya berharap dan menutut aparatus penegak hukum saja.

“Sebab nyata-nyata peran kelembagaan itu sangat terbatas maupun kepada lembaga-lembaga pegiat perlindungan anak saja, namun sudah saatnya tiba diperlukan langkah konkrit dan terukur dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjaga dan melindungi anak mulai dari lorong ke lorong pemukiman penduduk, dari sekolah ke sekolah lainnya, pelibatan lembaga atau istitusi lintas keagamaan dan tokoh adat di Siantar, keterlibatan kalangan akademisi dan kampus, serta peran dan kontrol media massa dengan fasilitasi dan komitmen anggaran pemerintah melalui dukungan wakil rakyat,” paparnya.

Komnas Perlindungan Anak sebagai lembaga independen yang diberi tugas dan fungsi memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, memandang perlu mendorong Dinas Pendidikan kota Siantar yang mengurusi hak anak atas pendidikan untuk segera mewajibkan lingkungan sekolah menjadi lingkungan "zona zero" kekerasan terhadap anak dengan melibatkan orangtua, peserta didik dan komite sekolah serta menciptakan dan mendekleir lingkungan sekolah sebagai tempat pengaduan dan perlindungan anak alternatif di samping kantor polisi, mengingat ketersediaan kantor polisi lebih sedikit dari sekolah atau lembaga pendidikan.

“Akhirnya saya sebagai putra Siantar mengajak segera pemerintah Kota Siantar untuk berkenan segera mengkoordinasi atau mengorganisir kebulatan tekat masyarakat melalui pencanangan Rencana Aksi Masyarakat untuk memutus mata rantai dan mengakhiri Kekerasan terhadap Anak di Siantar,” kata Arist Merdeka Sirait. (yps)

Berita terkait
0
Emma Raducanu dan Andy Murray Optimistis Bertanding di Wimbledon
Raducanu, 19 tahun, akan melakukan debutnya di Centre Court ketika dia bermain melawan petenis Belgia, Alison van Uytvanck